Minggu, 09 September 2007 0 comments

Ramadhan Terapi Wajib dari Tuhan


Suatu ketika seorang pasien pergi ke seorang dokter untuk melakukan ceck up kesehatan. Setelah panjang lebar pasien menceritakan gejala-gejala penyakitnya seperti biasa sang dokter kemudian memberikan secarik resep bertuliskan beberapa jenis obat yang harus diminum oleh sang pasien selama beberapa minggu. Agar si pasien benar-benar sembuh dari penyakitnya sang dokterpun menyarankan si pasien menghindari beberapa hal sebagai pantangan dan menyarankan pasien agar memperbanyak melakukan olahraga, memperbanyak minum air mineral, makan sayur-sayuran, dan mengkonsumsi makanan yang berprotein tinggi.
Seperti itulah sebenarnya gambaran dari ritual puasa yang selama ini kita lakukan. Allah kita ibaratkan sebagai seorang dokter yang memberikan resep dan obat kepada pasiennya. Allah sebagai seorang dokter juga yang memerintahkan pasien untuk melakukan beberapa hal dan menghindari beberapa hal agar penyakit pasien bisa cepat sembuh. Ritual puasa dengan menahan lapar dan haus mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari kita ibaratkan sebagai obat yang tertulis dalam resep dokter. Sedangkan saya dan anda sekalian adalah pasien-pasien yang mendapat terapi wajib dari tuhan. Tentunya anda dapat menebak penyakit apa saja yang biasanya kita derita.
Ramadhan adalah bulan yang dijadikan oleh Allah sebagai bulan wajib cekc up bagi para umatnya. Ramadhan adalah saat yang tepat untuk memeriksakan penyakit-penyakit hati kita dan kemudian mengobatinya. Oleh karena itu sebelum memasuki bulan Ramadhan seharusnya kita mulai mendiagnosa penyakit hati kita karena terkadang kita tidak sadar di dalam hati kita banyak sekali penyakit. Itulah yang nanti akan menjadi tolak ukur kesuksesan ibadah puasa kita yaitu seberapa jauh puasa yang kita lakukan selama bulan Ramadhan dapat mengobati penyakit-penyakit hati yang selama ini kita derita. Puasa seseorang akan dikatakan berhasil apabila setelah bulan Ramadhan seorang terlepas dari penyakit sombong, dengki, hasut, angkuh, malas, suka menentang Allah, kebanyakan ma’siyat, dan lain sebagainya. Kemudian berubah menjadi seorang yang ramah, taat kepada Allah, rendah hati, penolong, hingga pada klimaksnya ia benar-benar telah sampai pada tujuan puasa itu sendiri yaitu menjadi orang yang takut kepada Allah seperti disebutkan dalam al-qur’an “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Kemudian bagaimana caranya agar kita benar-benar bisa sembuh dari penyakit-penyakit tersebut?. Tentunya tidak bisa hanya dengan menahan lapar dan haus saja ibarat seorang yang hanya meminum obat tanpa menjalankan nasihat dan menjauhi pantangan dokter. Begitu juga kita sebagai pasien Allah selain meminum obat yang berupa ritual puasa (menahan lapar dan haus) kita juga harus menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi pantangan-pantangan yang diberikan Allah di bulan Ramadhan.
Mengapa di bulan Ramadhan ini Allah menganjurkan umatnya agar mengisi hari-harinya dengan memperbanyak ibadah, beramal shaleh? Semua itu tidak lain dan tidak bukan adalah agar penyakit yang kita derita dapat cepat sembuh. Di bulan Ramadhan Allah mengajak kita untuk lebih peka dengan fakir miskin itulah mengapa Allah menganjurkan kita untuk banyak bershodaqoh. Kita diajak untuk mengatur waktu kita sebaik mungkin agar terbebas dari kemalasan itulah mengapa Allah menganjurkan kita agar selalu melaksanakan salat berjama’ah. Allah menganjurkan kita untuk memperbanyak waktu berdzikir mengingat Allah agar kita terbebas dari penyakit kita selama ini yang sering lupa akan Allah. Kita dianjurkan untuk solat malam, banyak membaca al-qur’an agar kita terbiasa mentaati perintah Allah dan berhenti dari kebiasaan kita yang sering menentang Allah.
Akan tetapi yang tidak kalah penting dari semua itu adalah proses setelah penyembuhan. Tentunya Allah tidak mengharapkan setelah selesai dari terapi bulan Ramadhan ini penyakit kita kambuh kembali. Bulan Ramadhan berakhir bukan berarti proses penyembuhan kita telah selesai. Akan tetapi kita dituntut untuk terus melanjutkan apa yang telah biasa kita lakukan di bulan Ramadhan. Layaknya seorang pasien yang telah habis obatnya tentunya ia akan tetap melakukan saran-saran dokter dan menjauhi pantangan-pantangan kalau si pasien itu tidak ingin penyakitnya kumat kembali.
Menarik memang saat kita menjadikan pengobatan dokter sebagai perumpamaan dari inplementasi perintah shaum Allah kepada umatnya. Kenyataannya memang keduanya mempunyai banyak persamaan. Setidaknya dari perumpamaan tersebut kita dapat menghayati lebih dalam apa sebenarnya tujuan dari puasa, mengapa Allah mewajibkan umatNya berpuasa di bulan Ramadhan. Jika kita mengerti arti dari semua itu maka kita akan bersyukur dan berterima kasih kepada Allah karena Allah telah memberikan satu bulan khusus untuk kita memperbaiki diri dan mengobati penyakit-penyakit hati kita. Bahkan di dalam sebuah hadits diceritakan nabi Muhammad menangis tersedu-sedu saat akhir bulan Ramadhan ketika seorang sahabat memberanikan diri bertanya kepada nabi mengapa ia menangis, apa jawaban nabi? Beliau bersedih karena bulan Ramadhan akan segera berakhir padahal belum banyak hal yang beliau lakukan, seandainya orang-orang tahu tentang kemuliaan bulan Ramadhan mungkin semua orang akan meminta Allah agar menjadikan semua bulan menjadi Ramadhan.
Tidak sedikit orang yang mengartikan puasa hanya sebatas ritual menahan lapar dan haus atau menahan syahwah al-batn wa al-farj dari matahari terbit hingga terbenam kembali. Orang-orang yang memaknai Ramadhan hanya sebatas menahan lapar dan haus ibarat seorang yang sedang sakit kemudian ia meminum sembarang obat tanpa resep dari dokter. Sebagai seorang pasien jika kita ingin penyakit kita cepat sembuh maka kita harus mematuhi apa yang di perintahkan oleh dokter dan menjauhi larangannya. Jika kita hanya meminum obatnya saja tanpa petunjuk dokter maka yang terjadi tentu akan sia-sia saja. Coba perhatikan di setiap obat yang anda beli dari apotik pasti akan tertulis kata-kata “harus dengan resep dokter”. Begitupun dengan sang shoim yang hanya menahan lapar dan haus saja tanpa menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi apa yang dibenci Allah maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali hanya rasa lapar dan haus saja apalagi sembuh dari penyakitnya. Hal ini sesuai sekali dengan sabda nabi Muhammad dalam sebuah hadits rubba saimin laisa lahu illa al-ju’i wa al-‘athosyi.
Baca SelengkapnyaRamadhan Terapi Wajib dari Tuhan
2 comments

Dari Islam Menuju Demokrasi






A. Prolog
Pemerintahan merupakan posisi yang sangat urgen dalam sebuah negara. Potret pemerintahan ideal yang diharapkan setiap manusia adalah pemerintahan yang menjunjung tinggi asas maslahah bagi rakyatnya. Menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, dan keadilan sosial. Dalam islam potret seperti ini sering diidentikan dengan pemerintahan dimana nabi Muhammad menjadi pemimpin uamt kala itu.
Suasana politik yang aman dan stabil serta hubungan publik yang sinergis antar umat islam dengan agama lainnya terkadang memang membuat kita terhanyut dalam lamunan indah mengenang masa kejayaan dulu. Itupula yang sedikit banyak melatarbelakangi sebagian kelompok yang ingin mengembalikan kejayaan islam dengan mengkiblat pemerintahan pada zaman nabi Muhammad Saw.
Bahkan Gustaf Leboun mengatakan bahwa negara islam pada saat itu
[3] sangat memberikan andil besar dalam perkembangan kebudayaan dan keilmuan di negara-negara barat. Tidak dapat dipungkiri bahwa proyek keilmuan islam pada zaman dulu melalui universitas-universitas yang dibangun di negara-negara islam, berbagai buku yang dikarang oleh para pemikir dan ulama', dan penerjemahan buku-buku yunani pada masa dinasti Abasiyah telah menjadi sumber ilmu sekaligus guru bagi eropa.[4]
Namun seiring dengan berjalannya masa kita telah dihadapkan pada masyarakat yang sangat heterogen dengan varian kebudayaan didalamnya. Suasana dimana dalam satu komunitas terdapat beragam agama, suku, partai, dan aliran meniscayakan satu pemerintahan yang netral dan dapat mengayomi semua golongan. Sentimen kelompok inilah yang saat ini coba diminimalisir dengan sistem baru yang tetap berasas pada kemaslahatan umat tanpa terjadi pendiskriminasian kelompok tertentu.
Demokrasi muncul sebagai alternatif baru untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Akan tetapi bagaimanakah sebenarnya hubungan antara demokrasi dengan islam? Adakah pertentangan diantara keduanya dan apakah demokrasi cukup ideal sebagai badil (pengganti) sistem yang kita inginkan. Semuanya harus melewati tahap uji epistemik yang hati-hati dan rinci agar kemaslahatan umat tidak tergadaikan dengan sebuah sistem.

B. Perjalanan Politik islam
Masa kejayaan islam dapat dipetakan mulai dari awal masa saat islam masih dipimpin oleh nabi Muhammad Saw (1 hijriah/622 masehi). Meskipun masa pemerintahan nabi belum dapat dipastikan nama ataupun bentuk sistem pemerintahan yang digunakan pada saat itu. Hal itu dikarenakan belum adanya epistema tentang sistem pemerintahan politik yang kokoh kala itu. Sehingga ini membuat banyak pakar politik dan pemikir islam berhipotesa ria mengenai bentuk yang sebenarnya digunakan pada zaman nabi dulu.
Ada yang berpendapat bahwa sistem pada zaman nabi dulu lebih dekat dengan gaya teokrasi atau bahkan semi monarki. Ada pula pemikir yang berpendapat bahwa sistem pemerintahan zaman nabi lebih bercorak demokrasi. Hal ini mungkin sangat wajar jika dilihat dari prasyarat-prasyarat demokrasi yang pada saat itu sudah dapat dipenuhi oleh pemerintahan nabi. Seperti terpenuhinya keadilan sosial, terjaminnya hak asasi manusia, hak berpendapat, hak beragama, ditambah dengan sistem yang amat masyhur digunakan sebagai metode pengambilan keputusan kala itu yang langsung bersumber dari teks primer al qur'an "wa amruhum syura bainahum" (surat al syura : 37)
[5]
Setelah mangkatnya nabi Muhammad Saw tampuh kepemimpinan islam dipegang oleh Abu Bakar al-Shiddiq. Proses peralihan kekuasaan dari nabi kepada Abu Bakar pun semakin menguatkan hipotesa bahwa sistem kala itu jauh dari diktator. Berawal dari perkumpulan di Saqifah Bani Sa'idah yang diadakan oleh sekelompok sahabat kaum ansor untuk mengangkat Sa'ad bin Ubadah sebagai khalifah dari golongan mereka. Namun setelah kedatangan Abu Bakar, Umar, serta sebagian sahabat kaum muhajirin mereka berkumpul kembali dan melakukan musyawarah yang akhirnya menghasilakn keputusan untuk membaiat Abu Bakar al-Shiddiq sebagai khalifah pengganti Rasul.[6]
Usia pembaitan Abu Bakar kemudian memberikan sambuatan kepada masyarakat dan sahabat-sahabat yang saat itu hadir " wahai manusia, aku telah menjadi pemimpinmu dan aku tidaklah lebih baik dari kamu sekalian. Maka jika kalian melihat aku berada dalam kebenaran maka ikutilah. Jika kalian menemuakanku berada dalam kesalahan maka janganlah ragu untuk memkritik dan membenarkanku...."[7]
Dr. Musthafa al-Syak'ah mengatakan bahwa Sambutan kenegaraan pertama yang sekaligus sebagai pidato politik Abu Bakar setelah pembaiatan tersebut merupakan bukti betapa islam pasca zaman nabi sangat menjunjung tinggi semangat demokrasi.
[8]
Akan tetapi ada beberapa ulama' tarikh yang berpendapat bahwa benih-benih perpecahan dalam islam mulai terlihat sejak mangkatnya nabi Muhammad saw. hal ini setidaknya dibuktikan dari ketidaksetujuan beberapa sahabat ansor atas pembaiatan Abu Bakar sebagai kholifah. Bahkan Ali bin Abi Tholib sendiri baru membaiat Abu Bakar setelah beberapa hari pembaiatan di Saqifah bani Sa'idah.
Keterlambatan Ali dalam memberikan baitnya kepada Abu Bakar inilah yang dijadikan justifikasi sebagian kalangan tentang perpecahan umat islam.
[9] Tentu saja gejolak politik pada waktu itu sempat memanas karena ada anggapan Ahl al-Bait yang diwakili oleh Ali dan pengikutnya tidak menerima kekhalifahan Abu Bakar. Terlepas dari benar tidaknya pembelotan Ali terhadap kekhalifahan Abu Bakar saat itu yang pasti pada akhirnya Ali juga memberikan baiatnya kepada Abu Bakar. Dengan itu suasana politik pada saat itu untuk sementara mereda.
Di sisi lain ada juga beberapa ulama' yang lebih mementingkan ekspektasi pembaiatan Abu Bakar. Dr. Muhammad Said Ramadhan Buthi dalam bukunya Fiqh al-Syirah an-Nabawiyah mengatakan bahwa keterlambatan Ali dalam memberikan baiat kepada Abu Bakar tidak bisa kita jadikan bukti pembelotan politik Ali dengan begitu saja. Menurut Dr. Buthi keterlambatan Ali dalam memberikan baiatnya lebih dikarenakan kepedulian Ali pada perasaan Fatimah binti Rasul yang masih dalam keadaan shok dan sedih karena ditinggal ayahandanya. Ali khawatir Fatimah belum siap menerima keputusan para sahabat mengenai pembaiatan Abu Bakar. Karena mungkin saja Fatimah beranggapan bahwa kepemimpinan islam adalah sesuatu yang juga harus diwariskan kepada ahli waris nabi.
[10]
Bahkan Ibnu Katsir mengatakan bahwa Ali bin Abi Tholib langsung memberikan baiat kepada Abu Bakar selang satu atau dua hari setelah pembaitan sahabat-sahabat lainnya. Dan Ali tidak melakukan usaha pembelotan kepada pemerintahan Abu Bakar setelah itu bahkan Ali juga ikut turun tangan langsung bersama Abu Bakar dalam menumpas kelompok Ahl Ridah pada masa itu.[11]
Setelah memimpin pemerintahan islam selama kurang lebih dua tahun tiga bulan dan tiga hari Abu Bakar akhirnya meninggal dunia pada usianya yang ke enam puluh tiga tahun.
Sebelum wafat, dalam keadaan sakit Abu Bakar sempat mengumpulkan para ulama' (ahl al-hilli wa al-'aqdi) dan sebagian sahabat
[12] untuk bermusyawarah mengenai siapa yang akan menerima tampuh kekuasaan setelahnya. Dalam musyawarah tersebut para sahabat sepakat untuk mengangkat Umar bin Khattab sebagai khalifah pengganti Abu Bakar.
Namun proses peralihan kekuasaan dari Abu Bakar kepada Umar juga menggunakan sistem yang agak berbeda dengan sebelumnya. Abu Bakar memberikan wasiat (al-'ahdu) yang isinya mengangkat Umar menjadi khalifah. Bahkan sebelum wafat Abu Bakar sempat mengumpulkan masyarakat di sebuah masjid dan mengumumkan hasil keputusan musyawarah sebelumnya.
Dari sini kemudian timbul pertanyaan mengapa Abu Bakar harus ikut campur dengan proses peralihan kekuasaan tersebut? Dan mengapa khalifah seakan-akan sudah ditetapkan sebelum Abu Bakar wafat kemudian Abu Bakar sendiri yang mengangkat Umar sebagai khalifah penggantinya. Hal ini membuat sebagian kalangan menaruh curiga akan motif Abu Bakar.
Dr. Ramadhan Buthi menukilkan pendapat Imam al-Thabari, Ibnu Jauzi, serta Ibnu Katsir tentang modus Abu Bakar melakukan istikhlaf (peralihan kekuasaan) sebelum beliau wafat. Alasan Abu Bakar mengangkat Umar sebelum ia wafat adalah karena Abu Bakar menghawatirkan umat islam akan bercerai berai dan berselisih pendapat karena permasalahan siapa yang harus memimpin umat islam setelahnya.
[13] Mungkin Abu Bakar belajar dari pengalaman sebelumnya saat peralihan kekuasaan dari nabi kepada dirinya. Dan dengan mengangkat atau mewasiatkan seseorang yang akan menggantikan posisinya maka setidaknya umat islam akan terhindar dari perpecahan yang sebelumnya hampir terjadi.
Kemudian disusul dengan peralihan setelahnya yaitu dari khalifah Umar kepada khalifah Utsman bin 'Affan. Pada peralihan ini pun Umar menggunakan sistem yang tidak jauh berbeda dari sistem-sistem sebelumnya. Umar mengangkat enam orang yang disebutnya sebagai ahl-syura.
[14] Keenam orang tersebut kemudian bermusyawarah dan akhirnya menetapkan salah satu dari mereka untuk menggantikan Umar sebagai khalifah. Mereka menepatkan Utsman sebagai khalifah.
Perjalanan politik pada masa Utsman sebenarnya juga penuh dengan gejolak. Kebijakan politik yang saat itu dilakukan Utsman dalam menetapkan nama-nama wazir dan pejabat negara membuat geram pihak-pihak yang berseberangan politik dengannya. Hal itu pula yang menyebabkan seorang keturunan yahudi pengikut Ali bernama Abdullah bin Saba' menghasut masyarakat untuk melakukan pemberontakan kepada pemerintahan Utsman dan mendukung Ali menjadi khalifah.
Setelah Utsman terbunuh sahabat ansor dan muhajirin tidak menunda lama-lama pemerintahan islam tanpa khalifah. Mereka sepakat membaiat Ali bin Abi Thalib untuk menggantikan Utsman bin Affan. Pada saat itu mayoritas sahabat dan ulama' sepakat atas pembaiatan tersebut kecuali Mu'awiyah yang pada saat pemerintahan Utsman menjadi gubernur di daerah Syam.
[15] Dari sini pun tercium ketidaksenangan kelompok Utsman terhadap kelompok Ali bin Abi Thalib.
Puncak kekhalifan pada masa khulafa Rashidin berahir di tangan Ali bin Abi Thalib. Pada masa Ali inilah sentimen golongan mulai muncul yang diawali dengan fitnah al-kubra. Berawal dari perang siffin antara kubu Ali bin Abi Thalib dengan kubu Muawiyah bin Abi Sofyan. Kemudian dengan cerita yang sangat panjang bahkan pasukan Ali hampir berhasil membunuh Muawiyah namun urung terjadi karena ada salah seorang sahabat yang mengangkat mushaf dan meminta arbritasi kepada pihak Ali.
Mengenai Arbritasi ini banyak sekali varian pendapat dari para pemikir dan ulama'. Ada anggapan bahwa pihak Muawiyah menipu kubu Ali dan memanfaatkan arbritasi itu untuk melengserkan khalifah Ali dari kekuasaannya. Dan dengan kecerdikan diplomasi Amr bin Ash (perwakilan kubu Muawiyah) akhirnya kubu Ali dipaksa memberikan tampuh kekuasaannya kepada Muawiyah.
Dari sekelumit perjalan politik masa al-Khulafa al-Rashidin ini kita dapat menyimpulkan bahwa selama masa nabi sampai Ali bin Abi Thalib sistem peralihan kekuasaan menggunkan sistem syura atau bahkan sangat identik dengan sistem demokrasi.
Kemudian setelah masa al-Khulafa al-Rashidin berahir dan berganti dengan masa dinasti inilah sistem syura mulai diganti dengan sistem muluk atau yang saat ini identik dengan sistem monarki absolut.
[16] Kekhalifahan berubah menjadi semacam harta yang bisa diwariskan kepada anak-cucunya. Dan mungkin hanya sebuah pemberontakan yang bisa menghentikan hegemoni kekuasaannya.


C. Demokrasi dan Asas Universal Islam
Demokrasi sebenarnya berasal dari akar kata yunani Demos yang berarti rakyat dan Kratos yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Dari penggalan makna etimologis yang bersumber dari simiotika yunani kuno ini dapat disimpulkan bahwa demokrasi adalah satu pemerintahan yang berasal dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.
[17] Artinya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat atau yang sering kita sebut dengan kedaulatan rakyat. Rakyat mempunyai kekuasaan penuh dalam menentukan arah kebijakan politik suatu negara melalui peran sertanya dalam menentukan pemimpin dan wakil parlemen.
Sistem demokrasi pertama kali dimunculkan pada abad 5 SM. Negara yang pertama kali menggunakan sistem ini adalah negara Athena kuno yang dulu masih berbentuk polis (negara kota). Dalam beberapa catatan kuno dikatakan bahwa sistem demokrasi di Athena dahulu dihadirkan untuk mengimbangi sistem di negara kota lainnya yaitu Sparta yang saat itu menggunakan sistem Oligarkhi.
[18]
Meskipun pada mulanya banyak sekali perbedaan pendapat tentang demokrasi apakah ia sebuah ideolgi belaka ataukah ia sebuah sistem. Namun menurut hemat penulis demokrasi lebih dekat untuk dikatakan sebuah sistem. Meskipun pada dasarnya semua sistem yang ada di dalam dunia ini awalnya pasti merupakan sebuah ideologi yang kemudian bermetamorfosa menjadi sebuah sistem karena kebutuhannya untuk direalisasikan dalam kehidupan. Demokrasipun seperti itu, dari awal kemunculannya yang diusung oleh Periscles pada zaman yunani kuno hingga abad 18 M demokrasi bermetamorfosa dari sistem yang sederhana menjadi sebuah sistem yang lengkap dan komplek seperti yang saat ini banyak digunakan di negara-negara barat.
Seperti yang kita ketahui kita mengenal pembagian kekuasaan dalam demokrasi yang kita kenal dengan istilah Trias Politika. Dalam konsepsi tersebut kekuasaan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Meskipun pada banyak negara ketiga kelompok ini kedudukannya lebih bersifat hirarkis akan tetapi sebenarnya ketiganya mempunyai hubungan yang saling mendukung dan menopang (cek and balance).
Kemudian pertanyaannya adalah bagaimana seandainya demokrasi kita hadapkan dengan islam? Apakah islam bertentangan dengan demokrasi ataukah sebaliknya? Dan mengapa banyak sekali pemikir yang berupaya mendaimakan atau mencoba mengelaborasikan kedua tema ini.
Dalam dunia pemikiran saat ini banyak sekali varian pendapat mengenai wacana (discource) ini. Secara epistemis antara islam dan demokrasi memang dua hal yang berbeda. Keduanya terlahir dari asas primordial yang berbeda. Jika islam berdiri diatas bangunan asas primordial teks otoritatif (al-qur'an dan al-sunnah) sedangkan demokrasi hanyalah buah dari pemikiran manusiayang asas primordialnya lebih bersifat 'aqlani. Jika islam dalam artian asas primordialnya bersifat paripurna dan statis maka demokrasi selalu bersifat dinamis. Setiap saat demokrasi dapat berubah dan disesuaikan dengan kebutuhan kemaslahatan masyarakat tertentu. Dalam demokrasi tidak ada standar kulminasi akhir yang menghentikan gerak dan pertumbuhannya. Bahkan Amerika yang saat ini dikatakan negara yang paling sukses menerapkan demokrasi tidak dapat dikatakan sebagai bentuk akhir dan terbaik dari sistem demokrasi itu sendiri.
[19]
Akan tetapi meskipun dua hal tersebut (islam dan demokrasi) terlahir dari sumber yang berbeda namun bukan berarti keduanya bersifat ambifalen dan tidak dapat dielaborasikan. Ada satu nilai yang dapat mempertemukan antara keduanya. Nilai tersebut adalah nilai universal yang terdapat dalam islam dan demokrasi.
Nilai universal inilah kemungkinan yang menjadi alasan banyak pemikir mengatakan bahwa islam adalah agama yang sangat demokrat, anti diktatorian. Karena kemiripan dan kesamaan tujuan dalam nilai-nilai universal keduanya itulah proyek elaborasi antara islam dan demokrasi masih akan terus bisa diperjuangkan.
Asas yang dijunjung dalam demokrasi adalah kebebasan berpendapat, keadilan yang merata di hadapan hukum, musyawarah, pemberian hak yang sama terhadap warga negara dalam ranah publik, dan penghormatan antar sesama, serta hubungan yang sinergis antar warga negara tanpa membedakan agama, ras, dan kelompok tertentu.
Islam sebagai agama yang paripurna dan penyempurna dari agama-agama samawi sebelumnya tentulah sangat apresiatif dengan semangat yang ada dalam demokrasi. Nilai-nilai universal yang diusung dalam konsepsi demokrasi tidak jauh berbeda dengan semangat dan nilai-nilai universal dalam islam. Islam mengusung semangat musyawarah dalam memutuskan satu pendapat seperti tersebut dalam al-qur'an "wa amruhum syura bainahum". Selain itu islam juga banyak mengangkat semangat-semangat progresifisme seperti persamaan hak, keadilan sosial, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berpendapat, dan lain sebgainya.
[20]
Kesamaan semangat itulah yang seharusnya medorong kita untuk tidak menempatkan keduanya dalam posisi yang bertentangan dan cenderung harus saling mengalahkan. Elaborasi antara keduanya bisa dilakukan dengan menempatkan islam sebagai suplai moral dalam pemerintahan. Sedangkan kita bisa mengambil sistem demokrasi sebagai perangkat kenegaraannya.
Dengan begitu pemerintahan bukan lagi mandataris tuhan yang harus bersih dari salah dan kebal kritik. Pemimpin pemerintahan juga bukan seseorang yang harus datang dari kelompok tertentu
[21] atau terbatasi pada aturan-aturan normatif yang kurang fair. Seorang pemimpin benar-benar dipilih oleh suara rakyat tanpa harus membatasi aturan-aturannya dengan hal-hal yang bersifat misoginis dan feodalistis.
Hubungan antara agama (islam) dan negara bukan berupa hubungan sistematis di dalam pemerintahan akan tetapi lebih pada hubungan suportis dan moralis. Sehingga secara tidak langsung dalam birokrasi dan sistem negara hubungan ini memang benar-benar harus bersifat sekuler.
Pengambilan demokrasi sebagai sistem pemerintahan sebetulnya sama sekali tidak mengurangi kesakralan dan kemuliaan islam baik secara isoterik maupun secara eksoterik. Keparipurnaan islam yang tercermin melalui ayat "al yauma akmaltu lakum dinakum waatmamtu 'alaikum ni'mati wa radhitu lakum al-islama dinan" tetap menunjukkan kesempurnaan islam dalam segala permasalahan yang berhubungan dengan agama. Baik penjelasan al-quran bersifat ijmali maupun tafsili. Namun tentunya ada beberapa permasalahan dunia yang tidak secara langsung disebutkan dalam al-quran dan hadits bahkan sengaja ditinggalkan oleh keduanya.
Bahkan salah satu keistimewaan dan bukti kepedulian tuhan akan hambanya adalah dengan meninggalkan beberapa permasalahan dunia tanpa menyebutnya dalam al-quran secara langsung. Karena tuhan sangat sadar kehidupan di dunia akan selalu berubah dan manusia diberikan kebebasan untuk berfikir tentang hal-hal yang sesuai dengan kebutuhannya sendiri tanpa mengingkari asas-asas pokok islam. Hal ini sesuai dengan apa yang dipesankan oleh nabi Muhammad saw "antum a'lamu bi umuri al-dunyakum".
[22]
Itulah mengapa al-quran tidak menjelaskan secara terperinci sistem apa yang harus digunakan dalam suatu pemerintahan islam. Dengan begitu manusia dibebaskan untuk memilih sistem yang sesuai dengan kondisi geografis, kondisi kultural masyarakatnya sendiri-sendiri. Umat islam dituntut untuk memilih sistem pemerintahan yang membawa asas-asas universal islam. Standar pemilihan tersebut juga harus tetap beredar pada koridor maslahah 'ammah dan menghindari kemadharotan bagi masyarakat.
Secara umum menurut hemat penulis ada tiga point yang membuat sistem demokrasi lebih banyak dipilih oleh negara-negara islam dari pada mengunakan sistem ala islam yang juga masih remang-remang warnanya.

Pertama : Cciri khas dari idealisme kepemimpinan harus bersifat netral.
Untuk mewujudkan satu pemerintahan yang netral dan tidak memihak agama manapun maka dibutuhkan sistem yang netral pula. Sistem yang tidak bercampur dengan epistema dogmatik dari agama manapun. Dan ini sangat cocok dan pas dengan karakteristik demokrasi. Netralitas kepemimpinan akan membantu terbukanya kran kebebasan berfikir dan berpendapat tanpa ada hegemoni mayoritas dan minoritas.
Netralitas seperti ini akan langsung terasa dampaknya jika diterapkan pada negara yang mayoritas penduduknya non islam. Dengan netralitas inilah hak-hak masyarakat akan terlindungi dengan baik tanpa membeda-bedakan agama seseorang. Sering sekali timbul pertanyaan yang lebih bersifat tuduhan dan skeptisme "apakah anda menyangka jika menggunakan sistem islam sikap netralitas itu tidak akan terpenuhi?". Maka tanpa bermaksud meragukan dogama islam bukankah akan lebih baik dan maslahah jika dengan tujuan dan hasil yang sama kita menggunakan alat yang netral dan bersih dari aroma kecurigaan agamisme.
Kedua : Islam hanya memberikan asas global tentang pemerintahan.
Seperti yang telah kita bahas di atas bahwa islam melalui teks primernya (al-quran dan al-hadits) hanya memberikan argumentasi global melalui asas-asas universal tentang pemerintahan. Bahkan tidak ada teks yang menjelaskan dengan rinci tentang aturan perpolitikan, undang-undang perniagaan, undang-undang pemerintahan, dan lain sebagainya. Padahal di sisi lain saat ini negara dituntut untuk menghadirkan satu peraturan yang kompleks mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan publik.
[23]
Maka akan sangat sia-sia jika kampanye penegakan syariat islam tidak diimbangi dengan kesiapan sistem yang memadai dan juga kesiapan masyarakat dalam menjalankannya. Kesiapan sistem dan masyarakat itulah yang nantinya akan membuktikan sukses dan gagalnya suatu pemerintahan dengan sistem yang dipakai. Perdebatan antara kelompok yang pro syariah dengan lawannya sering kali terhenti dalam masalah ini. Yaitu ketika kelompok pro syariah belum siap memberikan gambaran rinci mengenai sistem yang diperjuangkannya.
Ketiga : Suatu pemerintahan yang ideal harus menggunakan sistem yang steril dan tidak diskriminatif.
Jika tujuan akhir dari suatu pemerintahan adalah untuk berhidmat pada msyarakat, maka sudah barang tentu seorang yang dipilih sebagai pemimpin adalah benar-benar keinginan rakyat bukan semata-mata karena faktor religiusitas. Hal itu mengharuskan adanya sistem yang steril dari kepentingan-kepentingan tertentu. Dan suara rakyat tidak boleh dibatasi oleh aturan-aturan yang tidak fair dan terkesan rigid.
Apapun yang menjadi keputusan rakyat harus didukung tanpa terjadi diskriminasi baik dalam segi ras, agama, maupun gender. Nilai inilah yang terkadang absen dari sistem dan dogam beberapa agama. Meskipun sebenranya lebih pada penafsiran manusia yang membaca teks agama tersebut. Jika nilai dalam point ketiga ini belum bisa dipenuhi oleh sistem agama maka mustahil pemerintahan yang berkeadilan sosial, dan menghargai kebebasan berpolitik akan terpenuhi.
[24]

D. Otoritas Agama Dalam Negara
Berawal dari keyakinan bawa hukum Allah yang tersirat dalam kitab sucinya harus diundang-undangkan ke dunia. Banyak kelompok yang secara massif menyuarakan negara islam. Dalam tuntutannya mereka menginginkan negara menerapkan hukum yang telah Allah turunkan dalam al-qur'an. Bahkan secara massif mereka menolak segala bentuk sistem yang tidak bersumber langsung dari al-quran. Penolakan mereka yang dilakukan secara serampangan dan tanpa analisa itu sangat ironis dan disayangkan.
Ada banyak ayat al-quran yang mereka jadikan dalil untuk menerapkan hukum Allah. Diantaranya "waman lam yahkum bima anzala Allah faulaika hum al-kafirun", ".....hum dhalimun", "......hum fasiqun".
[25] Mereka berpendapat bahwa di dunia ini hanya ada hukum Allah. Abu A'la al-Maududhi dalam bukunya Nadhariyah al-Islam al-Salimah dengan terang-terangan menentang hukum negara yang tidak bersumber dari al-quran. Bahkan beliau menolak keras sistem demokrasi yang saat ini banyak dipakai oleh negara-negara islam.[26]
Jika memang dibenarkan bahwa sebagai seorang muslim harus menegakkan hukum Allah maka pertanyaannya sekarang adalah hukum Allah yang mana? Dan apakah islam dalam hal ini al-qur'an memang sudah siap dalam memberikan badil atau solusi pengganti dari sistem yang selama ini kita gunakan?
Setidaknya ada dua faktor penting yang melatarbelakangi ketidakmungkinan membumikan hukum Allah secara eksplisit di bumi.
Pertama : Dalam kenyataannya hukum Allah lebih bersifat fikihisme sentris.
Dalam islam kebanyakan dogma teksnya masih bersifat dhanni (sangkaan) sehingga menyebabkan banyak sekali interpretasi dan ijtihad yang berbeda-beda mengenai hukum-hukum islam. Banyaknya varian pendapat ijtihadi inilah yang pada akhirnya menyebabkan hukum Allah berubah menjadi semacam fikihisme discource.
Contah yang paling mudah adalah mengenai imamah atau kepemimpinan dalam islam. Para ulama' berbeda pendapat mengenai syarat yang harus dipenuhi sebagai seorang pemimpin, masa jabatannya, ke-ishmah-annya. Belum lagi masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan publik. Seperti masalah hukum potong tangan, hukum riba, hukum tekhnis pernikahan dan lain sebagainya.
Yang harus diperhatikan adalah, ketika banyak sekali perbedaan pendapat yang sudah berakar pada satu keyakinan madzhabi maka bagaimana pemerintah bisa menempatkan diri pada posisinya yang netral. Sedangkan satu pemerintahan kemungkinan akan menerapkan hukum publik menurut madzhab pemimpin yang sedang berkuasa. hal ini tentu akan dikhawatirkan akan berdampak pada penutupan hak-hak kebebasan madzhab lain untuk melakukan aktivitas sesuai dengan kepercayaannya.
[27] Kita tentu masih ingat masa dinasti abasiyah dimana otoritas madzhab sering dijadikan alat untuk melegitimasi kekuasaan.
Kedua : Pada kenyataannya belum ada proto tipe ideal sebagai identitas negara islam
Saat ini ada empat negara yang sering disebut sebagai negara yang menerapkan hukum islam. Keempat negara tersebut adalah Saudi Arabia, Iran, Pakistan, Sudan. Yang menarik adalah keempat negara tersebut meskipun menggunakan lebel yang sama (negara islam) akan tetapi berbeda dalam penerapan hukum-hukum publiknya.
[28] Penerapan hukum-hukum islam tidak lebih dari sebuah kompromi politik yang menunggangi kendaraan agama.
Sebagai contoh Saudi Arabia. Negara yang dikatakan sebagai negara islam ini malah jauh dari penerapan nilai-nilai universal islam. Bahkan Saudi lebih dikenal dengan sebutan negara wahabi daripada negara islam. Begitu juga dengan Iran yang lebih bisa dikatakan sebagai negara Syiah dari pada negara islam. Di sinilah dampaknya jika islam dijadikan alat politik. Islam yang seharusnya bersih dan menerima perbedaan menjadi sangat rigid dan kaku saat dikebiri oleh kepentingan kekuasaan tertentu. Seperti yang terjadi di Saudi Arabia dimana kebebasan aliran dan madzhab selain wahabi sangat dibatasi bahkan tidak jarang pemerintahan mengeluarkan fatwa pengkafiran pada aliran-aliran yang tidak senafas dengan aliran pemerintah.
[29]
Kemudian timbul pertanyaan "negara islam seperti apa yang ingin kita dirikan?". Apakah negara islam ala Saudi, ala Khumini, ala Abu A'la al-Maududhi atau malah kita sudah mempersiapkan bentuk baru negara islam yang berbeda dengan propto tipe-prototipe di atas (?).
Ketiga : Ide negara islam lebih bertumpu pada pragmatisme contoh daripada tujuan yang sistematis realistis
Penulis melihat ide awal dari semangat pendirian negara syariah di berbagai negara adalah keinginan untuk kembali pada masa keemasan yaitu masa nabi Muhammad saw. Ini merupakan salah satu kelemahan dari ide ini. Ali mabruk seorang pemikir mesir mengkrikit budaya arab pada hususnya dan islam pada umumnya yang hobi dengan mecomot contoh-contoh yang pragmatis.
[30] Masyarakat arab terkenal malas dalam berproses sehingga menjadikan masyarakatnya bercorak masyarakat taqlidi.
Menyuarakan ide pembumian syariah tanpa adanya sistem yang nyata dan siap uji menurut hemat penulis sam konyolnya dengan terjun payung tanpa parasut. Justru yang lebih aman dan maslahah adalah menimbang asas kebutuhan dan kebaikan rakyat yang prular dan heterogen. Kemudian meramutnya dengan sistem yang anti dogmatis dan tidak diskriminatif, dapat diterima oleh semua kalangan dan menafikan hegemoni mayoritas tanpa ada penindasan minoritas.

E. Epilog
Demikian uraian singkat tentang hubungan demokrasi dan islam serta pembacaan kemungkinan pembumian syariah sebagai sistem negara islam. Kesimpulannya adalah bahwa pemerintahan bukanlah sesuatu yang harus diurusi secara interen oleh agama. Ia lebih bersifat duniawi yang diserahkan urusannya kepada manusia untuk difikirkan dengan sistem yang sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat tersebut. Tepat sekali dengan pesan nabi Muhammad "antum a'lamu bi umuri dunyakum".
Karena asas tertinggi dari pembumian syariah adalah untuk kemaslahatan manusia maka asas itulah yang harus tetap kita perjuangkan dalam masyarakat modern saat ini. Semoga setiap pemikiran tidak akan sia-sia dan semoga setiap amal akan selalu mendapatkan ganjaran yang sama. Wa Allah A'lam.











[1] Makalah dipresentasikan dalam diskusi IKAMARU RAM 2007/2008 tanggal 15 Agustus 2007
[2] Mahasiswa al-Azhar. Usuludhin. Seorang santri yang sedang belajar berfikir
[3] Yang dimaksudkan oleh Gustaf Leboun dengan Negara islam di sini adalah kumpulan pemerintahan islam mulai dari zaman nabi Muhammad saw. Kemudian berlanjut pada masa Khulafa' al Rasyidin empat dan disambung dengan dinasti umayah, dinasti Abasiyah dan kemudian sampai jatuhnya Baghdad ke tangan tentara Tartar.
[4] Gustaf Leboun..Hadhoroh al 'Arb,. Hal 432 di nukil dari buku Al Akhlaq wa al Siyasah, Dr. Muhammad Mamduh 'Ali Muhammad al 'Arabi. Hai'ah al Misriyah al 'Amah .Hal 106.
[5] Dr.Musthofa Syak'ah, Islam Bila Madzahib. Dar al Misyriyah al Lubnaniyah hal 54.
[6] Dr. Ali Ahmad al-Salusi, Ma'a al-Syi'ah al-Itsna 'Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu'. Dar al-Taqwa, hal 29
[7] Dr.Musthofa Syak'ah, Islam Bila Madzahib. Dar al Misyriyah al Lubnaniyah hal 55
[8] Ibid.
[9] Seperti kita ketahui bahwa kelompok Siah (pendukung Ali bin Abi Thalib) menganggap kekhalifahan sebelum Ali adalah tidak sah karena yang berhak menjadi khalifah setelah nabi adalah pewaris dari ahl al-bait yaitu Ali. Bahkan kelompok syiah menganggap sahabat Abu Bakar sampai Utsman sebagai perampas kekuasaan Ali.
[10] Dr. Muhammad Said Ramadhan Buthi, Fiqh al-Syirah an-Nabawiyah. Dar al-Salam, hal 355
[11] Dr. Raghib al-Sarjani. Al-Tarikh al-Islami. Muassasah al-Iqra', hal 67
[12] Diantara sahabat yang ikut dalam musyawarah tersebut adalah Abdurrahman bin 'Auf, Utsman bin Affan, Said bin Zaid, Usaid bin Hudhair, dan beberapa sahabat kaum Ansor and Muhajirin. Ibid
[13] Opcit, hal 353. lihat Tarikh Thabari, juz 3 hal 343, al-BIdayah wa al-NIhayah, juz 6 hal 343, Tarikh al-Khulafa' li al-Shuyuthi, hal 67
[14] Keenam orang yang dipilih oleh Umar adalah Utsman bin 'Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Said bin Abi Waqos, Abdurrahman bin Auf. Selain keenam orang tersebut Umar juga memerintahkan Abdullah bin Umar untuk menjadi penasehat dalam forum musyawarah tersebut.
[15] Dr. Raghib al-Sarjani. Al-Tarikh al-Islami. Muassasah al-Iqra', hal 161
[16] Dr.Musthofa Syak'ah, Islam Bila Madzahib. Dar al Misyriyah al Lubnaniyah hal 57
[17] Aminah Sayyid Hajaj. Al-Dimukratiyah (majalah al-Ahram), hal 194
[18] Dr. Muhammad Mamduh Ali Muhammad al-Arabi. Al-Ahlaq wa al-Siyasah. Haiah Ammah al-Misriyah, hal 55
[19] Dr. Abdul al-Razaq 'Aid. Al-Dimukratiyah baina al-'Ilmaniyah wa al-Islam. Dar al-Fikr al-Mu'ashir, hal 25
[20] Dr. Ahmad Syauqi al-Fanjary. Kaifa Nahkumu bi al-Islam. Haiah al-Misriyah al-Ammah, hal 120
[21] Seperti yang kita ketahui bahwa dalam islam kebanyakan golongan teologis dan para faqih selalu mesyaratkan seorang pemimpin harus dari golongan Quraisy. Hanya khawarij dan mu'tazilah yang menentang syarat tersebut dalam islam. Selain syarat tersebut syarat lain yang banyak digugat oleh para pemikir adalah syarat tentang gender dimana seorang pemimpin Negara diharuskan seorang lelaki.
[22] Opcit, hal 189
[23] Jamal al-BAna. Al-Islam wa Hurriyah al-Fikr. Dar al-Fikr al-Islami, hal 45
[24] Dr. Abdul al-Razaq 'Aid. Al-Dimukratiyah baina al-'Ilmaniyah wa al-Islam. Dar al-Fikr al-Mu'ashir, hal 57
[25] Al-quran suart al-Maidah ayat 44, 45, dan 47
[26] Opcit, hal 23 lihat Nadhariyah al-Islam al-Salimah. Abu A'la al-Maududhi, hal 30
[27] Dr. Muhammad al-Bahi. Al-Fikru al-Islami al-Hadits wa Silatuhu bi al-Isti'mar al-Gharbi. Maktabah Wahbah, hal 197
[28] Dr. Ahmad Syauqi al-Fanjary. Kaifa Nahkumu bi al-Islam. Haiah al-Misriyah al-Ammah, hal 39
[29] Ibid.
[30] Ali Mabruk. Al-Dimukratiyah (majalah al-Ahram), hal 65
Baca SelengkapnyaDari Islam Menuju Demokrasi
0 comments

Mengandaikan Usul Fikih Selingkuh




Melihat kedudukannya sebagai salah satu ilmu metodologi islam yang digunakan untuk membuat produk hukum maka sudah barang tentu usul fikih mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ilmu lainnya yang berhubungan dengan sumber mentah hukum islam (al-qur'an dan al-hadits).
Ilmu usul fikih diartikan tidak lain sebagai kumpulan metodologi fikih secara universal, cara pengambilan dalil, dan bagaimana kedudukan seorang yang mengambil dalil (baca: al-mustadil bih).[1] Hubungannya yang sinergis dengan nash meniscayakan usul fikih memuat satu kaidah-kaidah pendukung yang berhubungan dengan nash tersebut. Seperti ilmu lughoh, nahwu, dan ilmu kalam.[2]
Namun tidak seperti ilmu-ilmu tersebut, hubungan antara usul fikih dengan ilmu tasawuf dianggap sulit untuk diraba. Hipotesa tersebut berawal dari tampilan kasar dan bengis beberapa produk hukum islam baik yang secara tegas disebutkan oleh al-qur'an dan al-hadits maupun hukum-hukum yang keluar melalui proses istinbat oleh para ulama' klasik. Ilmu tasawuf yang merepresentasikan wajah humanis seakan tak terlihat menghiasi produk hukum islam. Hal itulah yang mengilhami sebagian orang untuk mengandaikan usul fikih selingkuh dengan tasawuf. Sampai pada klimaksnya memunculkan satu gagasan untuk mentajdid kembali usul fikih.
Perdebatan mengenai mungkin dan tidaknya melakukan tajdid terhadap usul fikih akhirnya menjadi salah satu topik yang hangat dalam pemikiran islam kontemporer hari ini. Bukan hanya karena topiknya yang terkesan progesiv dan dekonstruktif melainkan juga karena tajdid dianggap sebagai jalan yang bisa mengubah wajah islam secara umum.
Salah satu faktor yang menyebabkan usul fikih menjadi sasaran amandemen adalah faktor teologis. Konsekuensi teologis seorang muslim yang meyakini atas kebenaran mutlak al-qur'an dan hadits sohih serta ketidakmungkinan mengamandemen sumber utama tersebutlah yang pada akhirnya menggiring kita untuk menyalahkan usul fikih. Karena tidak mungkin mengamdemen sumber hukum maka cara lainnya adalah dengan mengamandemen metodologi yang digunakan untuk memproduksi hukum dari sumber tersebut.
Jika dilihat dari segi historisitas usul fikih, bisa kita pahami kemungkinan melakukan tajdid. Pertanyaannya adalah apakah ilmu usul fikih terbentuk atas dasar tuntutan zaman (ikhtiyari) sejak kemunculan nash primer islam, ataukah ia muncul sejak diprakarsai oleh karya monumentalnya imam besar syafii dengan al-risalahnya.
Jika kita sepakat dengan argumen yang pertama dalam artian awal kemunculan usul fikih merupakan tuntutan dari nash yang membutuhkan satu metodologi untuk menerjemahkan hukum-hukum yang dikandungnya, maka kemungkinan untuk mendekonstruksi usul fikih turats dan menggantinya dengan usul fikih yang baru sangat terbuka lebar. Karena usul fikih di sini di pahami sebagai sebuah metodologi interpretasi yang digunakan untuk menghubungkan hukum-hukum nash dengan zaman. Karena proses turunnya syariat berhubungan erat dengan pembentukan masyarakat, maka proses pemberlakuan syariat tersebut sangat tergantung dengan keberadaan masyarakat tersebut.[3] Oleh karena itu sangat mungkin sekali mengganti usul fikih jika dianggap usul fikih yang dulu sudah tidak dapat menjembatani antara nash dengan zaman kekinian.
Akan tetapi jika kita sepakat dengan argumen yang kedua, yang mengatakan bahwa usul fikih terbentuk dengan awal kemunculan karya imam syafii (al-risalah) maka kemungkinan untuk melakukan tajdid[4] sangat kecil sekali. Hal itu dikarenakan usul fikih dalam hal ini dipahami hanya sebagai kumpulan kaidah-kaidah atau aturan umum yang di gunakan untuk beristimbat. Kaidah-kaidah yang tersusun dari ilmu lugahah, nahwu, dan perpaduan dengan ilmu kalam tersebut tidak mungkin diubah begitu saja menurut selera orang tertentu.
Dilihat dari maknanya, kata tajdid itu sendiri sebenarnya masih mengandung ambiguitas makna. Apakah tajdid diartikan sebagai upaya menyempurnakan kekurangan-kekurangan turats usul fikih, melengkapi apa yang kurang darinya, dan merekonstruksi apa yang di anggap tidak sesuai lagi dengan semangat zaman ataukah yang diinginkan dengan tajdid adalah mengganti seluruh komponen turats klasik usul fikih kemudian menyusun kembali usul fikih baru dari nol (al-istibdal 'anhu).[5]
Seandainya yang diinginkan adalah menyempurnakan kekurangan yang ada dalam usul fikih turast, merekonstruksi apa yang dianggap tidak sesuai lagi dengan zaman, maka semangat dan keinginan itu sama sekali tidak layak untuk diperdebatkan karena memang sudah menjadi keharusannya. Bukankah keberadaan banyak mualif kitab usul fikih sejak yang pertama kali (al-Risalah) merupakan bukti bahwa setiap saat selalu terjadi penyempurnaan baru terhadap metodologi usul fikih sebelumnya. Hal itu sangat sesuai dengan hadits nabi "sesungguhnya Allah mengutus untuk umat setiap awal seratus tahun seorang yang memperbarui agamaNya"[6]
Dengan demikian makna tajdid yang sering menjadi perdebatan bukanlah makna yang pertama karena untuk makna yang pertama tidak akan mungkin terjadi perbedaan pendapat. Atau dengan kata lain semua orang pasti akan sepakat bahwa munculnya banyak pendapat dan aliran dalam usul fikih yang pada akhirnya mengakibatkan tidak putusnya karya dalam bidang usul fikih merupakan bukti bahwa usaha untuk menyempurnakan usul fikih terus dilakukan oleh para ulama'.[7] Berarti dapat kita simpulkan bahwa yang diinginkan dari makna tajdid adalah al-istibdal atau meninggalkan metodologi usul fikih lama kemudian menggantinya dengan metodologi yang baru. Kemudian pertanyaannya adalah apakah hal ini memungkinkan secara ilmiah dan apakah dapat diterima secara kode etik keislaman (?).
Membicarakan mungkin dan tidaknya mengganti usul fikih dengan yang baru berarti membahas kemungkinannya secara epistemologis usul fikih itu sendiri. Secara epistemologis usul fikih dapat dikelompokkan kedalam dua point inti yaitu dalil syar'i kulli (dilalah lafdhiyah) dan dalil syar'i juz'i (masadir al-ahkam).[8]
Dari point yang pertama kemungkinan untuk melakukan tajdid sangat sulit sekali. Hal itu dikarenakan dilalah lafdhiyah merupakan kumpulan kaidah-kaidah bahasa arab yang didalamnya terkandung banyak sekali derivasi-derivasi kaidah sebagai perangkat untuk memahami nash yang kebetulan berbahasa arab. Seperti dilalah mantuq, dilalah mafhum, kaidah umum khusus, kaidah mutlak muqoyyad, dan lain sebagainya. Kaidah-kaidah tersebut merupakan bagian dari kaidah bahasa arab yang sudah tersusun sejak masa arab klasik. Amat sulit sekali mencari ganti dari kaidah-kaidah tersebut sebagai perangkat lunak nash. Meskipun dalam hal ini masih sering terjadi perbedaan pendapat mengenai beberapa kaidah namun itu bukan berarti kaidah-kaidah khilafiyah tersebut tidak layak lagi untuk digunakan sebagai metodologi usul fikih. Seperti perbedaan pendapat antara batas minimal jama' apakah dua atau tiga, perbedaan pendapat mengenai dilalah lafadh 'umum apakah ia bersifat dhanni atau qot'i, atau perbedaan pendapt mengenai hukum perintah setelah larangan (al-amru ba'da al-nahyu) apakah hukumnya mubah atau kembali pada hukum awal sebelum terjadi larangan. Justeru dengan adanya khilafiyah inilah akan memungkinkan bagi seorang mujtahid untuk terus menyempurnakan dan mentarjih khilafiyah tersebut. Jadi yang mungkin untuk dilakukan perubahan adalah sedikit dari kaidah-kaidah bahasa diatas itupun dengan catatan dengan tidak membuang kaidah lainnya. Seperti ajakan untuk memasukkan satu kaidah baru yaitu al-ibrah bi al-maqosid. Itupun bukan terlihat sebagai kreativitas baru yang msutaqil dari usul fikih turats tetapi lebih pada pentarjihan antara kaidah lama al-ibrah bi umum al-lafdhi dan al-ibrah bi husus al-sabab.
Secara riel kemungkinan untuk bermain lebih banyak justeru berada dalam point kedua yaitu mengenai dalil syar'i juz'i (masadir al-ahkam). Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sumber hukum dalam islam terbagi menjadi dua yaitu sumber hukum inti (masadir al-ahkam al- asliyah) dan sumber hukum lanjutan (masadir al-ahkam al-tabi'iyah). Sumber hukum inti yang terdiri dari al-qur'an dan al-hadits tentunya adalah harga mati yang tidak akan mungkin diubah ataupun ditajdid. Akan tetapi sumber hukum lanjutan atau derivasi-derivasi hukum sangat mungkin diganti dan bahkan ditambah dengan konsep hukum baru. Bahkan disini terlihat sekan-akan hukum-hukum baru tersebut adalah kreativitas para mujtahid dalam rangka menjembatani distansiasi antara hukum inti dengan keadaan sosial sang mujtahid. Dari dialog antara nash dengan cultur tertentu maka lahirlah perangkat hukum-hukum baru seperti istihsan, istishlah, maslahah mursalah, 'urf , dan lain sebagainya. Dari sini tidak menutup kemungkinan terjadinya perangkat hukum baru sebagai akibat dialog nash dengan kondisi cultur, demografi dan tuntutan kemashlahatan yang terjadi pada masa ini. Namun lagi-lagi usaha menambahkan hukum baru tersebut tidak bisa dikatakn sebagai tajdid secara mustaqil karena pada hakikatnya ia hanya menambahkan atau menyempurnakan usul fikih lama.
Kesimpualn dari semua uraian di atas adalah, usul fikih sebagai bagian dari ilmu pengetahuan tetap menerima sebuah kritik dan perubahan dalam rangka menuju satu tatanan yang sempurna dan sesuai dengan semangat zaman. Karena salah satu ciri khusus dari ilmu pengetahuan (ma'rifah) adalah ia selalu menerima kritik dan memungkinkan untuk selalu diupdate dan sesuaikan dengan kebutuhan zaman. Sangat mungkin bila saat ini ada sebagian kaidah dari usul fikih yang harus direkonstruksi ulang agar tetap dapat bertahan sebagai metodologi nash yang mampu berdialog dengan lingkungannya.
Namun mengatakan bahwa usul fikih lama semuanya sudah tidak layak lagi dijadikan metodologi nash hanya karena adanya sebagian kaidah yang sudah tidak layak adalah hal yang ceroboh dan terlalu terburu-buru. Karena sebatas menuduh dan mendakwahkan tajdid usul fikih tanpa mempersiapkan satu metodologi baru yang siap uji hanya akan menjadikan semua itu sebatas wacana yang sunyi dari konsep dan praktek. Seperti mengajak selingkuh usul fikih dengan tasawuf dengan harapan nilai-nilai humanis tasawuf akan menyatu dengan usul fikih tanpa memberikan gambaran bentuk metodologinya. Setidaknya harus ada rancangan apa yang akan dijadikan dasar metodologi, dan segala kemungkinan-kemungkinannya haruslah jelas terlebih dahulu sebelum wacana tajdid benar-benar siap diteriakkan dengan lantang. Karena membuangnya tanpa menyiapkan ganti yang pas hanya akan membuat masalah tambah parah.
Sebagai solusi alternatif yang lebih aman kita kembalikan pada permasalahan awal. Sesuatu yang mengilhami euforia tajdid usul fikih. Tidak lain dan tidak bukan adalah dugaan bahwa usul fikih sebagai sebuah metodologi turut andil bagian atas keluarnya produk-produk hukum yang kurang humanis, serta kekhawatiran akan terus terulangnya produk-produk sejenis apabila tidak diadakan perubahan metodologi sebagai alat dalam menelurkan hukum. Tentunya tidak semua produk hukum yang dihasilkan lewat metodologi usul fikih lama kurang humanis. Dan tidak semua kaidah yang ada dalam usul fikih lama menjadi penyebabnya. Mungkin cara yang paling aman sambil menunggu konsep metodologi baru yang utuh, matang, dan siap uji maka kita bisa merenkonstruksi kaidah lama yang sudah tidak sesuai atau dengan menambahkan perangkat hukum atau kaidah baru sebagai pelengkap kaidah usul yang sudah ada saat ini. Hal itu mungkin akan lebih sejalan dengan kaidah usul "mempertahankan yang masih layak dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik" (al-muhafadhoh 'ala al-qodim al-solih wa al-ahdhu bi al- jadid al- aslah). [ ]


















[1] Al- mahsul, fahrudin al-razi. Jus 1 hal 94
[2] 'ilmu usul al-fikh wa 'alaqotuhu bi al-falsafah l-islamiyah, prof. Dr. Ali jum'ah hal 5
[3] Usul al-syariah, Muhammad Said 'asmawi hal 61
[4] Yang dimaksud dengan tajdid disini adalah mengganti usul fikih lama dengan usul fikih yang baru, bukan hanya menyempurnakan usul fikih yang telah ada.
[5] Muskilah tajdid usul fikih, Dr. Muhammad Said Ramadhan Buthi hal 156
[6] sohih wa dhoif fi sunan abi dawud, syeih al-bani juz 1 hal 291
[7] Muskilah tajdid usul fikih, Dr. Muhammad Said Ramadhan Buthi hal 158
[8] Ilmu usul al-fikih, Abdul Wahab Kholaf hal 13
Baca SelengkapnyaMengandaikan Usul Fikih Selingkuh
0 comments

FEMINISME "Bayangan Hitam Dibelakang Islam"



Salah satu tokoh feminis mengatakan bahwa semua agama samawi (termasuk islam) bias gender karena semuanya turun dalam budaya yang patriarkis. Islam termasuk agama yang banyak dikritisi para pejuang feminis sebagai agama yang sarat akan pendiskriminasian perempuan. Mulai dari aspek kekeluargaan yang cenderung membatasi ruang gerak perempuan, terlalu mengedapankan sifat superioritas laki-laki sampai aspek sosial yang dianggap mengebiri kebebasan perempuan untuk ikut berpartisipasi aktiv sebagai salah satu element masyarakat. Bahkan ada yang berani masuk dalam aspek ta'abudi dengan mencoba mendobrak dogma-dogma yang dianggap "man oriented" yang telah menjadi ijma' para ulama'. Al hasil isu persamaan gender (gender equality) kata mereka tak pernah diapresiasi oleh islam.
Fenomena tersebut seakan membuat gerakan feminisme berada pada posisi berlawanan dengan islam. Apa yang mereka perjuangkan seolah ingin membebaskan perempuan dari penindasan islam. Feminisme bagaikan bayangan hitam di belakang islam yang siap menikam doktrin-doktrin lama yang bias gender dengan mengatasnamakan perjuangan demi kemajuan perempuan. Apakah benar semua hipotesa tersebut?
Kita tak perlu malu bila harus mengakui ada sebagian dogma islam yang bersumber dari tatanan yurisprudensi islam klasik yang kental dengan nuansa patriarkis. Kebanyakan hukum-hukum islam memang cenderung hanya memberikan sedikit ruang gerak kepada perempuan karena kondisi cultural pada saat itu memang menempatkan perempuan pada lingkungan kelas dua (sub ordinary) setelah laki-laki. Akan tetapi kita tentu yakin bahwa al-qur'an sebagai sumber utama (the basic source) agama islam sangat menghargai hak-hak perempuan dan menjunjung tinggi kehormatan perempuan. Hal ini terbukti dengan terjawabnya banyak isu-isu feminisme yang diarahkan kepada islam.
Bahkan bila kita teliti lebih dalam lagi sebenarnya kondisi cultural dan budaya lokallah yang sebenarnya menjadi aktor utama penyebab ketimpangan gender bukan agama (islam) atau ajaran-ajarannya. Hampir semua hipotesa dan tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada islam berhubungan erat dengan cultur dimana islam pertama kali muncul dan berkembang.
Turunnya islam dalam lingkuangan arab meniscayakan ajaran yang dibawanya menyimpan bias-bias cultural setempat. Seperti yang dikatakan salah satu pemikir arab bahwa wahyu tidak akan pernah bisa dipisahkan dengan keberadaan sosio cultural tempat ia diturunkan. Hal itu dikarenakan wahyu turun sebagai jawaban langsung dari problematika masyarakat pada saat itu sehingga wahyu tidak akan dapat di lepaskan dari unsur antropologis demografis satu masyarakat tertentu.
Begitu pula islam yang secara kebetulan turun pertama kali dalam lingkungan masyarakat arab yang patreiarkis. Sejarah mengatakan masyarakat arab yang cenderung lebih suka mempunyai keturunan laki-laki dari pada perempuan. Itulah yang menjadi alasan mengapa dulu masyarakat arab sering mengubur anak peremuannya hidup-hidup. Mereka tidak memberikan hak waris kepada perempuan dan membatasi ruang gerak perempuan hanya sebagai isteri yang wajib tunduk kepada apa yang dikatakan suaminya.
Kemudian masalah hijab, poligami, politik, hampir semua masalah yang berhubungan dengan hal tersebut berawal dari cultur arab. Hanya ada beberapa isu tentang feminisme yang langsung berhubungan dengan ajaran islam (al-qur'an, hadits). Artinya isu tersebut muncul murni sebagai auto kritik atas dogma islam. Seperti isu persaksian dalam hukum islam, khalifah atau pemimpin negara, dominasi pria dalam keluarga, dan deferensiasi tingkat intelektualitas laki-laki dan perempuan. Itupun muncul karena varian interpretasi yang dihasilakn oleh para mujtahid klasik. Artinya isu-isu tersebut juga muncul dari penafsiran ulama' kalsik tentang ayat alqur'an atau hadits tertentu. Oleh karena itu ijtihad ulama' klasik tentang isu-isu tersebut pastilah tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur subjektivitas sang mujtahid selain kondisi sosio cultural pada saat itu. Jadi seharusnya tidak ada alasan untuk mengalamatkan tuduhan-tuduhan bias gender tersebut langsung kepada islam.
Kesimpualnnya adalah bahwa isu-isu yang diangkat oleh kaum feminisme yang terkesan anti pati dengan islam seharusnya dapat diselesaikan dengan menggunakan interpretasi baru (contekstual centered interpretation). Yaitu dengan menggunakan perangkat-perangkat hukum islam yang bisa digunakan untuk berdialog dengan budaya saat ini. Selain sosialisasi tentang ajaran islam yang sampai saat ini masih sering kurang dipahami secara rampung oleh para tokoh feminisme pada khususnya dan oleh umat islam pada umumnya.
Yang menjadi sangat urgen dan PR besar buat para pejuang feminisme saat ini seharusnya adalah memperjuangkan hak-hak perempuan dalam tataran sosial, ekonomi dan akademis. Kondisi masyarakat saat ini yang masih sering menjadikan perempuan sebagai tumbal dari perjalanan kehidupan menjadikan perempuan sering kehilangan hak-haknya. Sehingga memperjuangkan egaliterianisme sosial, ekonomi dan akademis menjadi sangat mendesak dari pada harus memposisikan sebagai oposisi dari dogma-dogma agama yang sering kali salah mereka pahami.
Banyak terjadi di desa-desa perempuan kehilangan hak akademisnya hanya untuk mengalah pada saudara laki-lakinya. Masih sering kita jumpai perempuan dilarang masuk aktiv dalam dunia politik desa, ikut memutuskan sesuatu. Bahkan masih kental budaya yang menjadikan perempuan hanya sebagai konco wingking dari laki-laki dalam interaksi sosial masyarakat. Itulah yang seharusnya menjadi konsentrasi dari pejuang feminisme saat ini. Karena jika tenaga para pejuang feminisme dihabiskan untuk bertarung melawan dogma agama maka yang akan terjadi hanyalah pemaksaan hak perempuan kearah maskulinisasi. Akhirnya mereka akan cenderung melawan apa saja yang selama ini tidak menjadi kodrat seorang perempuan dengan mengatasnamakan keadilan. Dan menolak apa saja yang selama ini memang sudah menjadi kodrat seorang perempuan. Seperti yang pernah dilakukan tokoh feminis radikal dulu. Mereka mempertanyakan mengapa yang harus mengandung dan menyusui hanya perempuan? Sedang laki-laki hanya ambil enaknya saja. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu seakan bukan keluar sebagai keinginan memperjuangkan kemajuan perempuan tetapi lebih menggambarkan satu kekesalan dan kecemburuan terhadap kodrat dan sunatullah seorang laki-laki dan perempuan.
Seandainya para tokoh-tokoh islam rajin mempropagandakan ajaran islam yang sebenarnya kepada masyarakat dan tokoh-tokoh feminisme rajin memperjuangkan apa yang saat ini dianggap urgen untuk masa depan perempuan maka mimpi manis para tokoh feminis akan segera tercapai tanpa harus menunggu lama-lama karena bertarung dengan dogma agama. Wa Allahu A’lam [ ]









Baca SelengkapnyaFEMINISME "Bayangan Hitam Dibelakang Islam"
4 comments

Konsep Tasawuf Imam Ghazali


A. Pendahuluan
Tasawuf sebagai salah satu ilmu esoterik islam memang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih pada saat ini dimana masyarakat seakan dikatakan mengalami kekeringan spiritual sehingga tasawuf dianggaap sebagai satu obat ampuh untuk mengobati kehampaan tersebut.
Terlepas dari banyaknya pro dan kontra seputar asal mula munculnya tasawuf harus kita akui bahwa nilai-nilai tasawuf memang sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Setidaknya tasawuf pada saat itu terlihat secara konseptual dari tingkah laku nabi yang pada akhirnya kita namakan dengan nilai-nilai sufi seperti sikap zuhud, sabar, qona’ah, rendah hati, dan lain sebagainya. Hal tersebut sangatlah wajar karena misi terpenting nabi adalah untuk memperbaiki dan sekaligus meyempurnakan akhlak masyarakat arab dulu. Seperti termaktub dalam hadits “innama buitstu li utammima makarima al-akhlak” (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak).
[3]
Dalam islam tasawuf digambarkan sebagai salah satu aspek dari segi tiga yang sangat berhubungan erat. Segi tiga itu yaitu pertama: Islam, sebagai aspek ‘amali yang meliputi ritual-ritual ibadah dan muamalah yang pada perkembangannya lebih akrab disebut dengan syari’ah. Kedua: Iman, sebagai aspek i’tiqodi yang termasuk didalamnya iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, utusan-utusanNya, hari ahir dan takdirNya. Ketiga: Ihsan, sebagai aspek al-ruhi yaitu aspek kejiwaan. Di dalam aspek kejiwaan inilah terkandung banyak sekali maqam atau sifat-sifat yang nantinya akan disebut dengan istilah tasawuf atau hakikat.[4] Diantara salah satu tokoh tasawuf islam yang sangat terkenal adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi atau yang kita kenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali. Beliau telah berhasil menggagas kaedah-kaedah tasawuf yang terkumpul dalam karya monumentalnya Ihya’ U’lum al-Din (The Revival of Religion Sciences). Karya al-Ghazali ini dianggap sebagai jembatan yang mendamaikan syari’at dengan tasawuf yang sempat mengalami clash pada zaman itu. Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan. Lebih dalam lagi karya al-Ghazali dianggap sebagai cikal bakal dari tumbuhnya berbagai aliran tasawuf modern yang saat ini sedang banyak diminati oleh masyarakat.[5]
Ada banyak komentar yang datang kepada al-Ghazali mulai dari kelompok yang memuji-muji karya dan pemikirannya hingga kelompok yang mencaci maki dan menganggap al-Ghazali sebagai tokoh yang harus bertanggung jawab atas kemunduran islam. Seperti apa sebenarnya pemikiran tasawuf al-Ghazali sehingga ia begitu banyak menjadi perhatian para ulama’ dan menjadi lahan subur bagi para akademisi yang ingin menyelami pemikirannya, makalah ini akan mencoba membuka dan menelaah sebagian pemikiran al-Ghazali dalam tasawuf.

B. Sekilas Tentang al-Ghazali
Al- Ghazali yang terkenal dengan sebutan al-Gazel di dunia barat adalah seorang ahli sains terkemuka. Dalam perjalanan hidupnya ia merupakan seorang pengembara ilmu. Hal ini setidaknya dapat dibuktikan dengan karya-karyanya yang kaya akan berbagai cabang keilmuan. Selain di kenal sebagai tokoh sufi ia juga dikenal sebagai seorang ulama’ usul fiqh dengan karyanya al-mustashfa, ia juga dikenal sebagai tokoh filsafat dengan karya hebatnya Tahafut al-Falasifah yang mengkritik konsep berfikir para filosof saat itu. Al-Ghazali menganggap para filosof pada saat itu telah melewati batas dan terjadi kehawatiran yang mendalam akan rusaknya akidah kaum filsafat sehingga ia berinisiatif untuk meluruskan pemikiran filsafat pada zaman itu.
Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 hijriyah di kota tush yaitu kota kedua setelah naisabur di daerah khurasan atau pada saat ini berada pada bagian timur laut negara Iran.
[6]
Lelaki dengan nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini mendapat banyak gelar dalam dunia islam. Diantara gelar yang paling terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain al-‘Arifin. Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian.
Selama perjalanan hidupnya ia pernah berguru kepada ahli fiqh asy-Syaikh Ahmad ibn Muhammad al-Radhakani kemudian ia berpindah ke negeri Jurjan. Di sana ia berguru kepada Imam Abu Nasr al- Ismaili. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Jurjan ia kembali melanjutkan pengembaraannya. Kali ini ia pergi ke kota naisabur dan berguru kepada seorang ulama’ terkenal asy-Syaikh Diya’uddin Abu al-Ma‘ali 'Abdul Malik ibn ‘Abdullah al-Juwaini atau syaikh al- Haramain. Sedangkan guru al-Ghazali dalam bidang tasawuf adalah Syaikh Abu 'Ali al-Fadl ibn Muhammad al-Farmadhi at-Tusi seorang 'alim dan faqih, yang lebih terkenal di hari tuanya sebagai seorang guru sufi. Di bawah bimbingan gurunya ini, al-Imam Abu Hamid al-Ghazali telah mengamalkan beberapa latihan rohani, tetapi dia tidak sempat mencapai tahap kesempurnaan, kerana gurunya ini telah meninggal dunia pada tahun 477 Hijrah.
[7] Namun ia akhirnya meneruskan pengembaraan tasawufnya bersama gurunya yang lain yaitu Syaikh Abu Bakr Yusuf an-Nassaj at-Tusi.
Pada masa hidupnya ia terkenal sebagai seorang ‘alim yang sering berpindah-pindah. Ia pernah bermukim di Mesir Iskandariyah, Damaskus, Bagdad, dan Makkah al-Mukarramah. Ia juga sempat diangkat sebagai ketua profesor di Madrasah al-Nidhomiyah di Baghdad. Disepanjang perjalanan hidupnya ia telah menulis banyak buku-buku islam dalam berbagai ilmu agama mulai dari ilmu kalam, usul al-fiqh, filsafat, dan ilmu tasawuf. Karya-karya al-Ghazali sering kali dijadikan rujukan oleh para akademisi dunia bahkan banyak profesor yang mengkaji secara serius karya dan pemikiran Abu Hamid al-Ghazali.
Al-Ghazali wafat pada tahun 505 hijriah atau 18 desember 111 M di daerah kelahirannya Tush.

C. Al- Ghazali dan Tasawuf
Tidak seperti kebanyakan tokoh sufi lainnya al-Ghazali melewati proses yang sangat panjang dan melelahkan dalam pencariannya akan kebenaran sejati. Bahkan sebelum ia menemukan tasawuf sebagai persinggahan terahirnya ia sempat berkeliaran dalam berbagai macam aliran dan kelompok hanya untuk mencari kebenaran itu. Ia sempat menuliskan kisah perjalannya tersebut dalam kitabnya Al Munqiz Min-a 'dl-Dlalal.
"Semenjak mudaku, sebelum aku menginjak usia dua puluh hingga saat ini, ketika aku telah menginjak usia lima puluh tahun, aku selalu mengarungi lautan yang dalam ini. Dengan segala keberanian, menelusuri seluruh segi, dan mempelajari akidah semua firqah, kemudian berusaha membuka rahasia mazhab semuah firqah itu. Agar aku dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, serta antara yang mengikuti sunnah dengan yang membuat bid'ah. Aku tidak memasuki kebatinan kecuali untuk mengetahui kebatinannya, tidak kaum zhahiri (literalis) kecuali agar aku mengetahui hasil kezhahirihannya, juga tidak filsafat kecuali aku hendak mengetahui hakikat filsafatnya, dan tidak kaum mutakallimin kecuali untuk mengetahui hasil akhir kalam dan debat mereka, tidak juga kaum sufi kecuali aku ingin mengetahui rahasia kesufiannya, dan tidak kaum ahli ibadah kecuali aku ingin mengetahui hasil dari ibadahnya, juga tidak kaum zindiq yang tidak mengikuti syari'at kecuali untuk menyelidiki mengapa mereka demikian berani berbuat seperti itu".
[8]
Ketertarikan Al-Ghazali pada tasawuf tidak saja telah membuatnya memperoleh pencerahan dan ketenangan hati. Lebih jauh lagi, justru dia memiliki peran yang cukup signifikan dalam peta perkembangan tasawuf selanjutnya.
Jika pada awal pembentukannya tasawuf berupaya menenggelamkan diri pada Tuhan dimeriahkan dengan tokoh-tokohnya seperti Hasan Basri (khauf), Rabi`ah Al-Adawiyah (hub al-ilah), Abu Yazid Al-Busthami (fana`), Al-Hallaj (hulul), dan kemudian berkembang dengan munculnya tasawuf falsafi dengan tokoh-tokohnya Ibn Arabi (wahdat al-wujud), Ibn Sabi`in (ittihad), dan Ibn Faridl (cinta, fana', dan wahdat at-shuhud) yang mana menitikberatkan pada hakikat serta terkesan mengenyampingkan syariah, kehadiran Al-Ghazali justru telah memberikan warna lain; dia telah mampu melakukan konsolidasi dalam memadukan ilmu kalam, fiqih, dan tasawuf yang sebelumnya terjadi ketegangan.
[9]
Peran terpenting yang di pegang al-Ghazali terjadi pada abad ke lima hijriyah. Pada saat itu terjadi perubahan yang jauh oleh para sufi. Banyak dari mereka yang tenggelam dalam dunia kesufian dan meninggalkan syariat.[10]
Kampanye al-Ghazali dalam mengembalikan tasawuf pada jalan aslinya yaitu tidak menyimpang dari nash dan sunah Rasul telah membawa perubahan besar pada zamannya. Ia berpendapat bahwa seorang yang ingin terjun dalam dunia kesufian harus terlebih dahulu menguasai ilmu syariat. Karena praktek-praktek kesufian yang bertentangan dengan syariat islam tidak dapat dibenarkan. Menurut al-Ghazali tidak seharusnya antara syariat dan tasawuf terjadi pertentangan karena kedua ilmu ini saling melengkapi.
Dalam kitabnya Ihya’ U’lum al-Din al-Ghazali menjelaskan dengan detail hubungan antara syariat dengan tasawuf. Ia memberikan contoh praktek syariat yang kosong akan nilai tasawuf (hakikat) maka praktek itu tidak akan diterima oleh Allah dan menjadi sia-sia. Sebaliknya praktek tasawuf yang meninggalkan aturan syariat islam maka praktek itu akan mengarah pada bid’ah. Ibarat syariat adalah tubuh maka nilai-nila tasawuf adalah jiwanya sehingga antara keduanya tidak dapat dipisahkan.
[11]
Ihsan yang merupakan penjabaran dari konsep tasawuf selamanya tidak akan pernah bisa terlepas dari syariat itu sendiri. Konsep an ta’buda allah kaanaka tarahu adalah contoh paling mudah yang menggambarkan hubungan antara tasawuf dengan syariat. Praktek solat secara dhohirnya dengan rukun dan syarat-syaratnya merupakan aspek syariat yang diibaratkan sebagai tubuh (jasad). Sedangkan khusu’ (menghadirkan hati kepada Allah) merupakan aspek tasawuf yang diibaratkan sebagai hati atau ruh dari tubuh tersebut. Keduanya tentu tidak dapat dipisahkan dan bersifat saling melengkapi.[12]
Akhir kata, apa yang telah diupayakan Al-Ghazali dengan rumusan tasawufnya telah menandai satu titik puncaknya dengan keberhasilan gemilang yang telah diraihnya-selain Al-Qusyairi dan Al-Hawari-karena telah mengembalikan tasawuf pada landasan Al Quran dan hadits. Selain itu, Al-Ghazali juga telah menawarkan teori tasawuf baru (ma`rifat) sebagai pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya yang mana itu telah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan tasawuf sesudahnya, sehingga Al-Ghazali dikatakan seorang sufi yang bisa meredam perseteruan yang tidak harmonis antara ilmu kalam, fiqih, dan filsafat.

D. Konsep Ma’rifat al-Ghazali
konsep ma’rifat merupakan bagian dari finalitas maqomat seorang sufi. Setelah seorang sufi melewati berbagai maqom mulai dari taubah, wira’i, zuhud, faqru, sabar, tawakal, dan ridho maka sampailah ia pada satu tsamroh atau hasil dari perjalanan kesufian tersebut. Tsamroh itulah yang dalam kitab Ihya’ U’lum al-Din di namakan dengan mahabatullah.
[13],[14]
Keterikatan antara 'mahabbah' dan makrifat dalam pemikiran sufisme amat erat seolah sepasang kembar yang tak dapat dipisahkan baik subtansi maupun sifat-sifatnya. Dari makrifat lahir mahabbah, cinta. Tiada pengenalan yang tidak melahirkan cinta. Ini berlaku dalam setiap taraf spritual.
Dalam Ihya’ U’lum al-Din al- Ghazali menyebutkan bahwa untuk sampai pada mahabbah seseorang harus meninggalkan hal-hal duniawi dan mengarahkan semua konsentrasi dan tujuan hidupnya hanya kepada Allah semata. Proses mengenal dan mencari Allah itulah yang kemudian disebut dengan ma’rifat.
Menurut al-Ghazali proses mengenal Allah tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakn akal sebagaimana yang diyakini oleh para kaum filsafat. Al-Ghazali mengaatakan bahwa pengenalan Allah dengan dhauq atau perantara intuitif (batini) akan lebih dapat memberikan keyakinan dan ketenangan spiritual dari pada hanya sebatas bersandar dengan akal.
Proses ma’rifat (pengenalan) seseorang kepada tuhannya untuk mencapai mahabbah berbeda-beda. Al-Ghazali membagi kelompok orang-orang yang sampai pada tingkat ma’rifat dan mahabbah kepada dua tingkatan yaitu pertama tingkatan seseorang yang kuat dalam ma’rifat. Dia adalah seseorang yang menjadikan Tuhan sebagai awal ma’rifatnya dan kemudian dengan ma’rifat itu ia mengenal segala sesuatu yang selain Tuhan. Kedua adalah tingkatan seseorang yang lemah ma’rifatnya. Yaitu seseorang yang bermula dengan mengenal ciptaan Tuhan kemudian dengan ma’rifatnya ia mengenal Tuhan.
[15]
Untuk sampai pada mahabbah dan ma’rifat yang sempurna kepada Tuhan tentunya seorang sufi terlebih dahulu harus melewati berbagi maqom dan melewati batas fana’. Fana’ merupakan satu istilah yang menggambarkan seorang sufi yang telah melakukan proses takhalli dan tahalli. Seorang yang mencintai Tuhan akan berusaha bertakhalli atau membersihkan diri dan jiwa dari segala macam sifat yang dibenci oleh Tuhan. Begitu juga sebaliknya setelah seorang sufi melakukan tahkalli (pembersihan) maka ia akan mengisi hidupnya dengan sifat-sifat yang dicintai oleh Tuhan atau bertahalli.[16]
Finalitas dari sebuah mahabbah dan ma’rifat yang sempurna adalah terbukanya hijab dan terjadinya tajalli atau penampakan Tuhan pada makhluknya. Seorang yang telah sampai pada maqom ini akan merasa hidupnya terpenuhi oleh cahaya Tuhan. Bahkan terkadang saat berada dalam kondisi sakran (mabuk) seseorang akan mengeluarkan ucapan-ucapan teopatis atau dalam istilah tasawuf syatotoh.
Yang menarik dari konsep ma’rifat al-Ghazali adalah penolakannya pada konsep-konsep tokoh sufi sebelum al-Ghazali seperti Abu Yazid dengan konsep ittihad, al-Hallaj dengan konsep hulul, ibn Arabi dengan konsep wahdah al-wujud.
Menurut al-Ghazali paham tersebut berkecenderungan ke arah ketuhanan yang bercorak panteistis-imanenis yang menggambarkan Tuhan sebagai Dzat yang imanen dalam diri manusia. Al-Ghazali melihat itu semua sebagai paham yang akan merusak konsep tauhid yang menjadi ciri khas dogma teologi dalam Islam. Dalam bukunya, al-Munqidz, ia melihat rumusan mengenai kedua konsepsi ini sebagai khayalan semata. Katanya, "... sampailah ia ke derajat yang begitu dekat dengan-Nya sehingga ada orang yang mengiranya sebagai hulul, ittihad atau wushul. Semua persepsi itu adalah salah belaka. ... barang siapa mengalaminya, hendaklah hanya mengatakan bahwa itu suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, baik, utama, dan jangan lagi bertanya."
Dengan batasan ini, bisa dilihat bahwa al-Ghazali mempertahankan keyakinan mengenai Tuhan sebagai Dzat yang transenden. Artinya Tuhan adalah Dzat yang mengatasi dan berbeda dengan manusia : Ada perbedaan mendasar antara Tuhan dan makhluk (manusia) secara jelas dalam pandangan al-Ghazali.
Akan tetapi penolakan al-Ghazali terhadap hulul dan ittihad di atas tidak otomatis merupakan penolakannya pada pengalaman orang-orang yang telah mencapai maqom ma’rifat. Bagi al-Ghazali, pengalaman itu benar adanya. Kaum `arifun, setelah pendakiannya ke langit hakekat, sepakat bahwa mereka tak lagi melihat dalam wujud ini kecuali Tuhan.
Adapun ucapan al-Hallaj ana al-Haq, dan ucapan-ucapan tokoh sufi lainnya yang dianggap aneh dan menyesatkan sebenarnya hanyalah merupakan kata-kata teopatis atau syatotoh. Ia merupakan ucapan yang terlepas di bawah kontrol kesadaran seseorang saat ia berada dalam keadaan mabuk (sakran) akan cinta Tuhan. Ucapan-ucapan itulah yang selanjutnya di sebut sebagai ajaran-ajaran ittihad, hulul dan wihdatul wujud.
Menurut dia, ilmu sejati atau ma'rifat sebenarnya adalah mengenal Tuhan. Mengenal Hadrat Rububiyah. Wujud Tuhan meliputi segala Wujud. Tidak ada yang wujud, melainkan Tuhan dan perbuatan Tuhan. Tuhan dan perbuatannya adalah dua, bukan satu. Itulah koreksi al-Ghazali atas pendirian al-Hallaj dan ulama sufi lainnya. Wujudnya ialah kesatuan semesta (wihdatul wujud). Alam keseluruhan ini adalah makhluk dan ayat (bukti) tentang kekuasaan dan kebesaran-Nya. Sedangkan penglihatan akan Tuhan melalui alam dan makhlukNya adalah sebatas tajalli atau penampakan akan keberadaan Tuhan bukan berarti Tuhan menyatu dengan alam apalagi mengalami perstuan ke dalam tubuh manusia.
E. Penutup
Demikianlah sedikit uraian tentang konsep tasawuf al-Ghazali. Tentunya tulisan ini masih sangat jauh untuk mengungkap secara detail dan sempurna tentang geliat al-Ghazali dalam dunia tasawuf . Untuk itu penulis yakin makalah ini masih membutuhkan banyak koreksi dan masukan. Sebagai penutup penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca Wallâhul hâdî ilâ sabîli al-rasyâd.



[3] Musnad Ahmad, Imam Ahmad bin Hambal. Hadits ke 8595
[4] Haqoiq ‘an al-Tasawuf, Dr. Abdul Qodir Isa. hal 474
[5] Tasawuf, Harun Nasution. Makalah Paramadina hal 4
[6] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al-Ghazali. Hal 3
[7] Ibid. hal 4
[8] Al Munqiz Min-a 'dl-Dlalal, Abu Hamid al-Ghazali. Hal 24-25

[9] Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, Prof Dr Amin Syukur, MA dan Drs Masyharuddin, MA.
[10] Al-Hayat al-Ruhiyah fi al-Islam, Dr. Muhammad Musthafa Hilmi. Hal 124
[11] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al- Ghazali. Hal
[12] Haqoiq ‘an al- Tasawuf, Dr. Abdul Qodir Isa. Hal 474
[13] Opcit. Bab Mahabbah wa Syauq.
[14] Lihat al-Tabsir fi al-Din, al-Asfirani. Hal 118

[15] Ihya’ U’lum al-Din, Abu Hamid al- Ghazali.jilid 4 Hal 235
[16] Inti Tasawuf, Dr. Muhammad Nurshomad
Baca SelengkapnyaKonsep Tasawuf Imam Ghazali
 
;