Selasa, 14 Oktober 2008 6 comments

Akankah Agama Berkuasa [?]



Dua hari yang lalu melalui internet saya menyaksikan satu rekaman acara dialog politik di salah satu stasiun televisi indonesia. Acara itu memang kelihatannya dibuat sebagai tanda penyambutan gawe besar bangsa indonesia yang diadakan setiap lima tahun sekali. PEMILU atau Pemilihan Umum itu bahkan sering kali disebut sebagai pesta rakyat. Sebuah pesta sebagai tanda berakhirnya rezim lama dan juga sekaligus pesta penentuan rezim baru yang diharapkan bisa lebih baik. Kala itu acara dialog menampilkan dua perwakilan partai politik islam yang katanya mempunyai platform yang berbeda. Memang sengaja seperti itu karena dialog itu disetting untuk sebuah acara debat publik antara dua kubu yang berbeda.


Sekilas memang kelihatan tidak ada yang menarik dari acara tersebut. Karena mungkin kita sudah kadung hafal bahwa acara politik seperti itu biasanya hanya akan menampilkan sandiwara para politikus yang dipenuhi dengan bualan janji-janji manis mereka. Hampir mirip dengan sebuah parodi dimana mereka sebagai tokoh-tokohnya dan rakyat bak sebagai penontonnya yang terbuai dengan akting sang tokoh kemudian tersadar ketika pertunjukan telah usai. Namun saya mulai tertarik untuk mendengarkan dialog itu ketika sang moderator mengatakan bahwa tema dialog yang diangkat adalah tentang " syariah islam dalam negara".



Dalam hal ini saya tidak ingin membicarakan dan mengupas tentang platform dan paradigma salah satu parti politik manapun mengenai isu tersebut. Hanya saja menurut saya sebagai sebuah diskursus, isu tersebut tetap penting untuk kita perbincangkan kembali sebagai sebuah mukaddimah dari pemilihan umum dimana saat itu arah kehidupan bangsa ini ditentukan dengan partisispasi kita secara langsung. Hal ini menjadi penting karena diakui ataupun tidak saat ini telah muncul beragam partai politik yang menawarkan kebijakan-kebijakan meraka sebagai solusi dari krisis dan keterpurukan bangsa ini. Salah satu tawaran yang diajukan beberapa partai tersebut tentu saja adalah syariah islam seperti yang sedang didialogkan dalam acara tersebut.

Secara umum isu agama dan negara (ad-Din wa ad-Daulah) memang sudah menjadi perbincangan yang klise. Sejarah telah membuktikan betapa selama ini islam selalu akrab dengan isu tersebut sejak awal kemunculannya. Penafsiran akan keharusan meng-islam-kan negara pun beragam. Ada yang berpendapat bahwa sebagai seorang muslim hukumnya wajib untuk memperjuangkan pembumian syariah dan hukum-hukum Allah, kewajiban itu kemudian meniscayakan adanya satu otoritas penuh melalui sebuah pemerintahan islam. Bukti sejarah perjalanan islam dimana selalu ditandai dengan sebuah dinasti mereka jadikan sebagai satu fakta empiris akan kebutuhan satu otoritas tersebut. Pada akhirnya memang semuanya kembali kepada klaim kehidupan islam masa Nabi dimana semua hal yang terjadi saat itu mereka jadikan sebagai sebuah keharusan untuk diikuti secara saklek dan rigid. Pihak lain mengatakan bahwa syariah dan hukum-hukum Allah tidak selamanya harus dibumikan melalui cara-cara yang formal melalui satu institusi resmi karena pada akhirnya hanya akan mengakibatkan satu penundukan yang tidak sepenuh hati sekaligus juga semakin memperpanjang jarak pemisah antara kelompok mayoritas dan minoritas. Perubahan zaman telah membuktikan bahwa sebuah pemaksaan konsep hanya akan menimbulkan kerancuan dalam kehidupan hingga maslahah yang menjadi tujuan akhir dari syariah tersebut sulit untuk dicapai.

Di negara indonesia sendiri sebenarnya isu syariah islam itu masih sangat buram dan belum jelas maksudnya. Banyak kelompok dan juga partai politik mencoba menjual isu syariah tersebut dengan konsep dan penafsiran yang berbeda-beda. Tapi yang aneh adalah betapapun para elit cendikia para kelompok dan partai mencoba menjual syariah dengan model dan bungkus yang mereka inginkan, namun toh pemahaman rakyat awam terhadap isu syariah tersebut hampir semua sama yaitu pembentukan negara islam (daulah islamiyah). Apakah ini merupakan satu indikasi bahwa rakyat dan masyarakat islam indonesia sebenarnya belum begitu siap untuk diajak memahami konsep syariah islam tersebut [?]. Jawabannya bisa "iya" bisa juga "tidak" tergantung dari mana kita memandangnya. Akan tetapi ada satu hal yang hampir pasti akan terjadi jika syariah islam itu dijadikan satu ideologi negara, yaitu pelabelan hukum-hukum dogmatis islam dengan perangkat hukum negara. Itu juga berarti otoritas kekuatan hukum negara sengaja dipinjam bajunya untuk mengimplementasikan semua hukum islam kepada publik (rakyat).

Kalau sudah seperti itu tentunya yang akan terjadi adalah penyeragaman pemikiran dalam ruang publik dengan tameng kekuatan hukum dalam negara. Dengan konsekuwensi lain adanya pengekangan terhadap minoritas sebagai imbas dari hegemoni mayoritas dan juga tertutupnya daya kreatifitas dengan konsep yang berbeda.

Contoh kasus yang bisa kita jadikan bahan pembelajaran adalah negara Iran dan Saudi arabia. Negara Iran dengan madzhab Syiahnya telah berhasil menguasai pemerintahan. Dimulai dengan lahirnya zaman Ayatullah Khomeini, Iran telah mampu menutup semua sistem yang ada di negara tersebut dengan satu sistem ala Syiah yang biasa kita kenal dengan sistem Wilayatul Faqih. Otoritas faqih dan sekaligus hegemoni Syiah telah mampu menjadikan Iran sebagai salah satu kekuatan besar dunia dan sekaligus memendam gaung pemikiran yang lain. Begitu pula dengan Saudi Arabia yang begitu kental dengan nuansa wahabinya. Wahabiyah di negara Saudi Arabia juga telah berhasil tampil sebagai salah satu kekuatan besar islam di dunia. Bahkan di Saudi Arabia kontrol pemerintahan begitu ketat dalam membatasi berkembangnya pemikiran lain selain madzhab salafisme tersebut. Namun dari kedua contoh negara yang diklaim sebagai negara yang menerapkan syariah islam itu nyatanya belum sepenuhnya mampu hadir sebagai representasi sistem syariah islam yang mampu diterima oleh semua kalangan dalam dunia politik dan kemasyarakatan. Hal itu terbukti dengan adanya berbagai perbedaan konsep antara negara yang satu dengan negara lain yang sama-sama mengkalim sebagai negara islam. Aroma yang terlihat justru adalah sebuah kekuasaan kelompok agama yang menunggangi kekuasaan politik seperti ketika Imam Khoemini berhasil berkoalisi dengan dinasti Sofawiyah kemudian membawa Syiah kedalam pemerintahan hingga sekarang. Begitupun yang terjadi pada negara-negara lainnya yang mengatasnamakan sebagai negara islam, selalu saja yang lebih dominan adalah representasi sebuah kelompok islam atas kelompok islam lainnya.

Indonesia sendiri mempunyai perbedaan yang cukup mendasar bila dibandingkan dengan kedua negara di atas. Corak kehidupan yang heterogen dalam suku, ras, agama, dan kebudayaan meniscayakan adanya penghormatan yang setinggi-tingginya antara masing-masing golongan. Bahkan islam yang saat ini ada dan berkembang di indonesia memiliki keragaman corak dan cara pandang. Hal itu mungkin yang melatarbelakangi kecocokan sistem yang netral sebagai pemegang otoritas central dalam negara. Akan tetapi dalam perjalannya indonesia masih dikatakan sebagai negara yang tertinggal dan jauh dari sejahtera. Pelbagai masalah mulai dari ekonomi, politik, etika, kebudayaan, korupsi, kriminalitas, kemiskinan akhirnya membuka banyak kelompok untuk mencoba menawarkan solusi lainnya dengan sistem yang berbeda. Sepuluh tahun reformasi indonesia dikatakan belum memberikan dampak yang signifikan pada kesejahteraan rakyat. Untuk itu sangat wajar bila ada kelompok yang mencoba menawarkan sistem ala islam kedalam pemerintahan negara. Dan tidak ada yang salah jika memang rakyat menginginkan perubahan dengan sistem yang lain apapun itu. Bukankah selama perjalanan negara Indonesia telah berganti-ganti sistem mulai dari Soekarno hingga sekarang. Akhirnya semuanya tergantung kita sebagai rakyat, dengan Pemilu kita tentukan akan kita bawa kemana negara kita selanjutnya.
Baca SelengkapnyaAkankah Agama Berkuasa [?]
 
;