Kamis, 25 Juli 2013 0 comments

Kau Sangka Bayangan



aku takut kau sedang salah sangka,
sungguh, bagiku ter-usir bukanlah mati

aku takut kau sedang salah terka,
merasa terhantui dengan bayang-bayang asing 
selalu mengintai, menunggu menyergap
sungguh, bagiku ter-usir bukanlah mati

aku takut kau sedang salah sangka,
tidak, malam selamanya tak akan mengganggu pagi
kau pagi, yang terang seperti wajarnya
sungguh, bagiku ter-usir bukanlah mati

aku takut kau sedang salah sangka,
bukan, tentu bukan cahaya biasa 
yang sewajarnya menjadikan pagi bercahaya
sungguh, bagiku ter-usir bukanlah mati

aku takut kau sedang salah sangka,
kalau aku cahaya, tentu tak perlu aku mencari terang lagi
aku malam, seperti sewajarnya 
sungguh, bagiku ter-usir bukanlah mati

aku takut kau sedang salah sangka,
tempatmu bahkan tak terjangkau mimpi
bagaimana bisa kau takut tersentuh, terusik
sungguh, bagiku ter-usir bukanlah mati

aku takut kau salah sangka,
tutup, hilang, sembunyi, atau entah apa
mengkhawatirkan bayang lalu lalang
sungguh, bagiku ter-usir bukanlah mati

aku takut kau salah sangka,
sungguh, bagiku ter-usir bukanlah mati
Baca SelengkapnyaKau Sangka Bayangan
Sabtu, 06 Juli 2013 0 comments

Tiga Abad Pertama Tasawuf


A. Pendahuluan
            Tasawuf merupakan salah satu dari ilmu Islam yang paling menarik untuk dipelajari. Hal ini dikarenakan tasawuf berbicara tentang hal-hal yang bersifat etik sehingga keberadaannya selalu dibutuhkan oleh perkembangan zaman dan tidak akan pernah menjadi usang.
            Terlebih masyarakat modern saat ini dianggap sebagai masyarakat yang pada akhirnya akan kembali pada satu pencarian nilai etika yang murni. menurut Deliar Noer salah satu ciri dari masyarakat modern adalah terjadinya  kepribadian yang terpecah atau split personality. Kehidupan yang kering akibat terlalu disibukan dengan hal-hal yang bersifat eksak dan materialistis menyebabkan masyarakat modern akhirnya kehilangan pegangan dalam hal spiritualitasnya. Sehingga ketika beban masalah menghinggapi mereka, hati dan perasaan mereka tidak dapat terpuaskan dengan hal-hal yang sifatnya duniawi tersebut.
            Akhirnya tasawuf kembali dilirik sebagai sebuah alternatif etik dalam sosiologi masyarakat. Dalam Islam tasawuf mengalami perjalanan dan perkembangan yang sangat rumit dan menegangkan. Ada banyak hal yang menyertai perjalanan tasawuf sebagai sebuah fenomena komunikasi kualitatif dengan Tuhannya juga peran langsungnya dalam kebudayaan masyarakat terdahulu.

B. Tasawuf dalam Tinjauan Etimologis
            Terdapat perbedaan yang sangat mendasar yang terjadi diantara kalangan para pengkaji tasawuf sehubungan dengan asal usul kata sufi, apakah merupakan sebuah kata baku (jamid) ataukah merupakan kata jadian (musytaq). Kemudian kalaulah merupakan kata jadian, kira-kira berasal dari kata apa? Permasalahan ini mungkin menarik untuk dikaji karena persoalannya tidak hanya berhenti sampai disini saja, akan tetapi terus berkembang pada permasalahan lain yang erat kaitannya dengan dengan pembahasan seputar “orisinalitas tasawuf Islam”. hal ini dikarenakan setiap penisbatan kata sufi kepada kata asalnya akan melahirkan teori dan kesimpulan tentang “sumber-sumber dasar tasawuf yang ada dalam tradisi Islam”. mungkin faktor inilah yang menjadikan para sejarawan Islam terdahulu sangat berhati-hati ketika memasuki pembahasan ini. (Hijazi, 1998; 13)
            Dalam uraian ini akan mencoba memaparkan pendapat para pengkaji mengenai asal-usul kata sufi beserta konsekuwensi-konsekuwensi teoritis yang akan terjadi.
            Harun Nasution seperti yang dikutip dalam buku panduan akidah akhlak Depag menyebutkan lima istilah kata yang berkenaan dengan tasawuf dan asal kata sufi tersebut, diantaranya : (Kamal, dkk, 2008; 23)
1.            Shafa yang berarti suci. Disebut shafa atau suci karena kesucian batin kaum sufi dan kebersihan tindakan dan keihlasannya.
2.            Shaff yang berarti barisan. Karena kaum sufi diidentikan dengan orang yang mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, ikhlas dan senantiasa memilih barisan yang paling depan dalam shalat berjamaah.
3.            Theosophi (sufiya) yang berasal dari kata yunani yaitu theo yang berarti Tuhan dan Shopos yang berarti hikmah.
4.            Shuffah yang berarti serambi tempat duduk. Yaitu serambi masjid nabawi di Madinah yang disediakan untuk orang-orang yang belum mempunyai tempat tinggal dari kalangan Muhajirin di masa  Rasulullah saw. Mereka biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi) karena di serambi itulah mereka bernaung.
5.            Shuff atau bulu domba. Hal ini disebabkan kaum sufi biasa menggunakan pakaian dari bulu domba yang kasar, sebagai lambang dari kerendahan hati mereka, juga untuk menghindari sikap sombong di hatinyadisamping untuk menenangkan jiwa serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi.
            Diantara pendapat-pendapat diatas yang menarik untuk kita kaji lebih lanjut adalah pendapat yang terakhir yang mengatakan bahwa asal kata sufi berasal dari kata Shuf yang berarti potongan bulu domba. Karena pendapat ini melahirkan teori yang berkaitan dengan keabsahan tasawuf dalam tradisi Islam.
            Pendapat ini sebetulnya didukung oleh banyak kalangan baik dari kalangan ilmuwan-ilmuwan Islam maupun dari kalangan para  Orientalis meskipun mereka menggunakan logika yang berbeda ketika memberikan jawaban dari sebuah pertanyaan “mengapa kaum sufi pada umumnya menggunakan baju yang terbuat dari potongan bulu domba?”. Sebagai contoh Ibnu Kholdun melihat kaum sufi berbuat demikian karena ingin membedakan cara berpakaian mereka dari golongan-golongan agamawan lainnya yang pada umumnya mengenakan pakaian-pakaian yang mewah. Berbeda dengan Ibnu Kholdun, Teodore Noldeke mempunyai pendapat yang lebih jauh lagi. Menurut dia, kaum sufi pada awal kemunculannya memilih shuf atau potongan bulu domba sebagai pakaian karena ingin meniru para pendeta Kristen yang ada di sekeliling mereka dan tersebar di negeri-negeri Islam pada waktu itu. Pendapat Noldeke ini kemudian banyak diadopsi dan dikembangkan oleh orientalis-orientalis sesudahnya yang kemudian melahirkan sebuah teori yang menggugat orisinalitas tasawuf Islam. adanya bentuk kesamaan dalam segi berpakaian mengindikasikan bahwa asketisme (zuhud) dalam Islam muncul atas pengaruh Kristen yang dibawa melalui pendeta-pendeta yang tersebar di negeri-negeri Islam dan bukan murni lahir dari ajaran-ajaran Islam. (Hijazi, 1998; 45)
              Kalau kita perhatikan kesimpulan diatas sebetulnya terjadi semacam lompatan logika yang kurang disadari. Lompatan logika ini menjadi jelas ketika menyedari bahwa sebetulnya kata tasawuf dan sufi sebagai sebuah istilah baru muncul sekitar abad ke tiga. Sedangkan gerakan asketisme dalam Islam sudah ada dari semenjak Islam lahir atau bahkan sebelumnya. Namun sejauh itu belum pernah digunakan istilah tasawuf atau sufi sebagai nama dan julukan bagi gerakan asketisme ini beserta para penganutnya sebelum abad ke tiga. Sebelumnya mereka lebih terkenal dengan istilah seperti: al-hunafa (yang bersih), al-zuhhad (yang berzuhud), al-tawwabun (yang bertaubat), al-bakkun (yang menangis). 
            Seperti halnya pendapat yang mengatakan bahwa asal kata sufi berasal dari bahasa yunani theosophi atau dalam bahasa arabnya “sufiya”. Theosophi yang berarti ilmu hikmah kemudian memberikan satu indikasi bahwa tasawuf Islam bermula dari pengalaman-pengalaman para ahli hikmah kaum Yunani kuno yang terkenal dengan filsafatnya. Akan tetapi hal inipun kemudian terbantahkan dengan alasan bahwa eksodus ilmu-ilmu filsafat Yunani baru dimulai dari dinasti Abasiyah yang saat itu sangat gemar menerjemahkan dan mempelajari buku-buku dari kebudayaan-kebudayaan negeri lain. Sedangkan fenomena tasawuf sudah muncul dalam Islam jauh hari sebelum masa dinasti Abasiyah.

C. Tasawuf dalam Tinjauan terminologis
            Ada kesulitan yang sangat mendalam dikalangan para pengkaji tasawufbahkan diantara para ahli tasawuf itu sendiri, ketika mereka mencoba mendefinisikan tasawuf dengan definisi yang mampu menggambarkan secara utuh dan menyeluruh mencakup esensi dari tasawuf itu sendiri atau yang dikenal dalam istilah mantiqnya “al-Ta’rif al-Jami’ wa al-Mani’”. Hal ini menjadi maklum ketika kita menyadari bahwa tasawuf sangat erat kaitannya dengan keadaan-keadaan inderawi yang dihasilkan melalui pengalaman spiritual yang selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa baik itu bersifat temporal maupun indifidual. (Hilmy, 1997; 40) Setiap perkembangan dari masa ke masa yang terjadi pada setiap masa atau pada setiap indivisu memiliki definisi-definisi tertentu bergantung dengan pengalamannya masing-masing yang mereka alami ketika menjalani ritual suluk tersebut. Dari isni maka tidak heran ketika definisi-definisi yang digunakan untuk mencoba menggambarkan pengalaman spiritula itu mencapai hitungan yang sangat banyak.
            Beberapa definisi yang berkembang dan sering dijadikan acuan seperti definisi dari al-Junaid al-Baghdadi bapak tasawuf moderat. Ia mendefinisikan tasawuf sebagai keberadaan bersama Allah swt tanpa adanya penghubung. Baginya tasawuf berarti membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariyah, menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat kerohaniaan, berpegang pada ilmu kebenaran, memberi nasihat pada umat, benar-benar menepati janji kepada Allah swt dan mengikuti syariat Rasulullah saw.
            Berbeda dengan pengertian al-Junaid, seorang tokoh sufi Abu Yazid al-Bustami pencetus teori fana’, baqo’, dan ittihad dalam tasawuf mengemukakan bahwa tasawuf dapat disimpulkan melalui tiga aspek, yaitu kha’, ha’, dan jim. Kha’ maksudnya takhalli berarti mengosongkan diri dari perangai yang tercela; ha maksudnya adalah tahalli berarti menghiasi diri dengan akhlaq terpuji; dan jim maksudnya tajalli berarti mengalami kenyataan ketuhanan.
            Sementara seorang ulama terkenal Ibnu Qoyyim al-Jauziyah menyimpulkan tasawuf ke dalam satu definisi yang sangat simpel yaitu ilmu etika. Segala sesuatu yang mengatur dan mengarahkan seseorang ke dalam satu etika yang baik maka ia termasuk ke dalam tasawuf. (Ghanimy, 1991; 26)
            Tasawuf sebagai sebuah ilmu menurut Muhammad Amin al-Kurdy adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal-hal yang terkait dengan kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah meuju keridloan yang diperintahkan-Nya. Orang sufi menurut al-Kurdy yaitu orang yang hatinya jernih, terhindar dari kehidupan buruk, dan senantiasa terisi oleh nur ilahi sehingga kemurnian hatinya bagaikan emas.
            Dari urian di atas, ada kesimpulan umum yang menggambarkan bahwa tasawuf sangatlah mempunyai nilai subjektifitas yang tinggi, karena tasawuf adalah sebuah pengalaman spiritual yang selalu mengalami perkembangan. Tentunya sebuah pengalaman sangatlah subjektif. Apa yang dialami oleh seseorang mungkin berbeda dengan apa yang dialami oleh orang lain atau bahkan orang yang tidak mengalaminya. Ketika hal-hal yang memliki nilai subjektifitas ini berusaha untuk diungkapkan, maka ungkapan yang lahir akan memiliki keragaman sesuai dengan pengalamannya masing-masing. Dengan demikian sangatlah masuk akal ketika tidak ditemukan satu definisi yang mampu merangkul semua unsur-unsur tasawuf.sementara ini definisi-definis yang ada hanya sebuah pengalaman-pengalaman terhadap sisi-sisi tertentu dari unsur-unsur tasawuf yang berlandaskan pengalaman-pengalaman subjektif. 

D. Geneologi Tasawuf pada Abad Pertama dan Kedua
            Berbicara mengenai awal mula kemunculan tasawuf dalam dunia Islam maka akan sangat relevan mengawalinya dengan ungkapan dari Abu Hasan al-Busyanji “al-tasawwuf al-yaum ismun bila haqiqotin, wa qod kana min qoblu haqiqotan bila ismin”  yang artinya, tasawuf saat ini hanya tinggal sebuah nama tanpa adanya hakikat yang jelas, sedangkan dahulu kala tasawuf hanya merupakan sebuah hakikat tanpa adanya nama. (Ghanimy, 1991; 34)
            Dalam Islam tasawuf praksis sudah dimulai sejak diangkatnya Muhammad saw menjadi seorang nabi bahkan jauh sebelum itu. Aktifitas-aktivitas Muhammad dalam kehidupan kesehariaannya kemudian menjadi salah satu contoh dan gambaran mengenai kehidupan bertasawuf. Salah satu sikap tasawuf yang kental dalam diri Muhammad kala itu adalah sikap asketisme atau zuhud yang kemudian mengawali berbagai macam aktivitas-aktivitas tasawuf lainnya.
            Dalam salah satu tulisannya Goldziher berpendapat, bahwa ada dua hal yang menjadi ciri has dari tasawuf Islam: pertama, sikap zuhud atau asketisme, konsep ini lebih mendekati aliran ahlu sunnah walaupun ada pengaruh terhadap batasan yang besar dari kalangan pendeta Kristen. Kedua, tasawuf dengan pemahaman yang mendalam dan terhadap sesuatu dari ucapan dalam kema’rifatan, tingkah laku, keberadaan, perasaan, ini dipengaruhi oleh kalangan Neo Platonisme dan dari sisi lain oleh kalangan Hindu dan Budha.
            Berbeda dengan pendapat dari Goldziher, menurut DR. Sami ‘Afifi Hijazy kemunculan tasawuf dalam Islam memang tidak serta merta berawal dari sebuah kesadaran yang tersistematik dengan jelas, akan tetapi kemunculannya berikatan dan beriringan dengan perkembangan Islam dari waktu ke waktu. Sedangkan pola kehidupan tasawuf sudah dimulai sejak awal Islam dengan tokoh sentral yang menjadi sumber sekaligus contoh hidup yaitu nabi Muhammad saw. (Hijazi, 1998; 32)
            Zuhud atau asketisme kemudian menjadi simbol dari perkembangan awal tasawuf pada abad pertama dan kedua hijriyah. Sikap asketisme ini juga menjadi geneologi awal yang dilakukan serentak oleh kalangan sahabat pada masa itu sebagai sebuah perlawanan atas dominasi kehidupan duniawi yang semakin menjauhkan manusia dari agama. Islam memahami zuhud bukanlah harus menjadi seorang pendeta yang memutuskan hubungan dengan dunia sama sekali, akan tetapi pemahaman zuhud adalah sesuai dengan nilai humanis yang terdapat dalam konsep kehidupan di dunia, berinteraksi terhadapnya. Akan tetapi tidak menjadikannya sebuah tujuan dalam hati dan tidak mengalihkan tujuannya dari ketaatan kepada Allah saw.
            Dengan demikian, Islam tidak memberikan syarat seorang zuhud haruslah fakir juga tidak melarang untuk menjadi zuhud dan kaya. Kita bisa melihat Utsman bin ‘Affan saudagar kaya yang hidupnya disifati dengan zuhud atas kepemilikannya, dia membeli sumur-sumur minuman keras dari Yahudi kemudian menyediakan sepuluh tentara tapi dia melarang umat Islam untuk meminumnya. Jadi zuhud dalam Islam merupakan metode kehidupan yang mengurangi kesenangan dunia, merubah manjadi lebih baik dan membebaskan manusia dari hawa nafsu atas semata-mata keinginannya serta menurut kemampuanya pada waktu tertentu terhadap hawa nafsu yang dianggap benar.
            Prof. Dr. Abu ‘Ala Afifi berpendapat, bahwasanya ada empat unsur yang mempengaruhi perkembangan zuhud dan asketisme dalam Islam: Pertama, doktrin islam sendiri, karena Islam memerintahkan sifat wara’, taqwa, meninggalkan dunia dan kesenangannya, merendahkan keadaan dunia, mengagungkan akhirat, mengajak kepada ibadah, tahajud dan puasa. Kedua, pengaruh jiwa manusia yang berbeda akan aturan sosial dan politik yang berlaku. Permasalahan polotik mengenai kepemimpinan Islam pada akhir masa Utsman bin Affan tidak hanya mempengaruhi kehidupan politik saja. Konflik yang memuncak pada masa kekholifahan Ali bin Abi Thalib pada akhirnya menimbulkan terjadinya kehilangan kepercayaan publik pada masa-masa berikutnya. Munculnya aliran-aliran baru seperti Syiah, Mu’tazilah, Murji’ah dan lain sebagainya kemudian menyebabkan banyak masyarakat memilih jalan zuhud dan menyepi dari dingar bingar kehidupan dunia. Ketiga, pendeta-pendeta kalangan Kristen. Dalam pendapatnya dia mengatakan bahwa kawasan Arab terpengaruh pendeta-pendeta Kristen sebelum datangnya Islam dan kemudian berpengaruh pada sikap asketisme di kalangan umat Islam. keempat, pengaruh perbedaan ilmu fikih dan ilmu kalam. Ilmu fikih yang saat itu sangat berkembang dan menguasai sebagian besar khsanah ilmu Islam kemudian terasa sangat kering karena hanya berlandaskan melalui metodologi-metodologi yang demonstratif saja, akan tetapi kemunculan kaum asketis kemudian mencuri perhatian karena mereka menawarkan satu kehidupan baru yang bercorak esoterik dan batiny. (Afifi, 1999; 26)
            Pada abad ini belum ditemukan bukti yang menunjukkan tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu yang terkodifikasikan dengan rapi dan sistematis. Tasawuf masih sebatas sebuah aktifitas praksis yang belum memiliki penamaan dan sistematika yang jelas. Baru pada awal abad kedua tasawuf mulai tersistematika dan orang-orang yang melakukan aktifitas asketisme tersebut mulai disebut dengan istilah ahli sufi.
            Pada masa ini selain dikatakan sebagai masa awal pembentukan geneologi tasawuf juga merupakan masa keemasan atau masa terbaik dimana banyak ahli-ahli zuhud yang pada akhirnya mengilhami tokoh-tokoh berikutnya dalam tasawuf. Seperti yang juga disampaikan oleh nabi Muhammad saw : “khoirul quruni qorni tsumma al-ladzina yalunahum, tsumma al-ladzina yalunahum” periode terbaik dalam hal agama adalah pada masaku, kemudian masa orang-orang setelahku, kemudian masa orang-orang setelahnya.

E. Kristalisasi Tasawuf pada Abad ke Tiga    
            Sangat sulit memang mencari pemisah zaman antara aktivitas zuhud atau asketisme dengan ilmu tasawuf salam dunia Islam. hal itu dikarenakan perkembangan pemikiran secara karakteristiknya tidak dapat dibatasi oleh ketatnya perkembangan waktu. Akan tetapi dalam perubahan pandangan yang nampak dalam penamaan aktivitas zuhud mendekati abad ketiga hijriyah. Tidak ada perkataan zuhud lagi pada abad ini, namun yang dikenal adalah tasawuf.
            Pada abad ketiga ini, awal mula tahap kodifikasi tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu. Para pendahulu yang mengkodifikasikan ilmu ini diantaranya: al-Muhasibi (w. 234 H), al-Kharaj (w. 277 H), al-Hakim al-Turmudzi (w. 285 H), al-Junaidi (w. 297 H), mereka adalah para sufi abad ketiga Hijriyah. (Badir’un, 1998; 45)
            Aktivitas pengkodofikasian ilmu-ilmu syariat berpengaruh langsung pada pengkodifikasian ilmu tasawuf. Seperti halnya yang diungkapkan Ibnu Kholdun dalamkaryanya: “tatkala ilmu-ilmu ditulis dan dikodofikasikan, disaat inilah para fuqoha menghasilkan karya-karya dalam bidang ilmu fiqih, usul fiqih, ilmu kalam, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu yang lainnya. Begitu juga tokoh-tokoh dalam bidang tasawuf menuliskan sesuai dengan masing-masing bagiannya. Diantaranya ada yang menuliskan kitab tentang wara’, pengintrospeksian diri atas apa yang harus dipertahankan dan yang ditingggalkan seperti yang dilakukan oleh Imam al-Qusyairi ketika menulis sebuah risalah yang berisi tentang pelajaran-pelajaran sabar, taubat, dan khouf, atau Imam Syuhrowardi yang menulis kitab tasawufnya “’Awarif al-Ma’arif” ......kemudian jadilah tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu yang terkodifikasikan setelah sebelumnya hanya sebagai tata cara ibadah saja. (kholdun, 2000; 56)
            Senada dengan pendapat Ibnu Kholdun, Nicholson juga mengatakan bahwa tasawuf pada abad ketiga dan keempat telah bermetamorfosis dari satu fenomena asketis yang individualis menjadi satu fenomena ilmu pengetahuan yang terstruktur secara ilmiyah maupun secara praksis. (Afifi, 1999; 76)
            Menurut Abu al-Wafa al-Ghonimi fenomena metamorfosa ini dibuktikan dengan mulai berevolusinya konsep zuhud kemudian berkembang ke dalam konsep-konsep lain yang mengarah pada kesalehan etika. Para ulama mulai mempelajari tentang sosiologi masyarakat dan mencarikan formula tasawuf dengan ajaran-ajaran yang sesuai dengan nilai kemanusiaannya. Akan tetapi dengan tetap tidak memisahkan tasawuf dari tujuan awal yaitu menggapai hubungan yang berkualitas tinggi dengan Tuhan berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Lalu mulailah mereka menyusun maqomat-maqomat dalam tasawuf. (Ghanimy, 1991; 46) Salah satu pendapat mengenai maqomat (jalan yang harus ditempuh seorang yang ingin melakukan suluk atau aktivitas sufistik) ini dikemukakan oleh Abu Nasr al-Sarraj al-Tusy. Dia menyusun sebuah jalan atau fase-fase yang harus dilewati seorang salik dalam aktifitas sufistiknya, dimulai dari taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakal, lalu puncaknya adalah ridha.
            Sejak abad ini sebutan-sebutan khusus untuk tasawuf mulai bermunculan. Terkadang tasawuf disebut dengan ilmu batin (yang dimaksud dengan ilmu batin di sini adalah ilmu yang memperbaiki keadaan batin seorang hamba dalam segi akhlaq dan tidak ada kaitannya dengan aliran kebatinan dalam Syiah), ilmu hakekat, ilmu waratsah, ilmu diroyah.
            Pada sisi lain kita, pertengahan abad ketiga sampai abad ke empat ini juga menjadi satu awal munculnya madrasah-madrasah tasawuf yang didirikan oleh para ulama’ ahli sufi dengan corak dan cirinya masing-masing. Berawal dari banyaknya murid yang mengkajai dan belajar tasawuf pada masing-masing ulama sampai akhirnya terbentuk madrasah-madrsah yang menjadi tempat bertasawuf mereka. Masing-masing madrasah mempunyai spesialisasi dengan teori dan suluk gurunya. Ada yang terkenal dengan suluk ridhonya, ada yang terkenal dengan mahabbahnya dan lain sebagainya.

F. Landasan Normatif Tasawuf, Sebuah Perdebatan
            Salah satu fenomena yang menarik dalam perjalanan tasawuf Islam adalah terjadinya klaim mengenai keterpengaruhan bahkan sumber dari tasawuf. Pendapat-pendapat ini baru muncul ketika memasuki abad ke tiga dan selanjutnya, hal ini dikarenakan terbentuknya geneologi tasawuf secara ilmiyah dan sistematis baru terbentuk pada abad ke tiga. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Ghilab bahwa perkembangan tasawuf secara umum sebenarnya bisa kita petakan ke dalam dua fase. Fase pertama, fase ‘amaly atau tasawuf praksis. Fase ini dikatakan oleh Dr. Ghilab sebagai fase murni tasawuf Islam dimana tasawuf langsung dapat dilihat secara nyata melalui kehidupan praksis Rosulullah saw dan para sahabatnya. Ini juga berarti bahwa tasawuf Islam menurut Dr. Ghilab murni bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits yang kemudian tercermin dari prilaku nabi. Fase kedua, fase ‘amaly dan nadhory atau tasawuf praksis dan sistematis. Pada fase inilah ulama-ualama tasawuf mulai berkembang pemikirannya dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya saling keterpengaruhan dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya.
            Pada perkembangan selanjutnya terjadilah dakwaan-dakwaan yang mengatakan bahwa landasan normatif tasawuf bukan murni dari Islam, akan tetapi berasal dari keterpengaruhan dan bahkan penjiplakan atas kebudayaan dan ajaran lain diluar Islam. Nicholson, Godziher, dan beberapa orientalis lainnya adalah beberapa contoh yang menggugat keabsahan landasan normatif tasawuf Islam.
            Masignon dalam kitab Dairoh al-Ma’arif al-Islamiyah seperti yang dikutip oleh Hilmy Musthofa mengatakan, bahwa ada banyak pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf Islam merupakan barang bawaan yang berasal dari luar Islam. menurut Mark tasawuf Islam berasal dari para pendeta Syam, atau dimungkinkan ia datang dari kebudayaan Yunani modern, dan juga kebudayaan zoroester di Persia. Sedangkan menurut Jones tasawuf Islam secara praksis terjadi keterpengaruhan dari kebudayaan Hindu. Beberapa pendapat itu kemudian banyak yang dikaji oleh para ulama Islam dan sebagian ada yang membenarkan keterpengaruhan tersebut. (Hilmy, 1997; 60)
            Diantara contoh dari pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut; Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf Islam berasal dari kebudayaan Hindu. Pendapat ini berdalih bahwa terdapat kesamaan dalam beberapa ajaran dalam kitab-kitab Hindu dengan tasawuf Islam baik secara praksis maupun secara epistemologis. Sebagai contoh, teori fana’ mereka anggap sama dengan teori nirwana dalam ajaran Hindu, kemudian teori hulul dan ittihad memiliki kemiripan dengan teori reenkarnasi (al-tanasukh).
            Pendapat tersebut dibantah oleh Dr. Muhammad Musthofa Hilmy dalam kitabnya al-Hayat al-Ruhiyat fi al-Islam. Musthofa Hilmy mengatakan bahwa kemiripan yang terjadi antara tasawuf dengan beberapa ajaran dalam kitab Hindu tidak bisa kita katakan sebagai sebuah kemiripan yang mempunyai satu sumber. Keduanya tentu mempunyai dasar dan sumber normatif yang berbeda dan tidak berarti bahwa antara satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kemiripan tersebut menurut Musthofa Hilmy adalah karena kebanyakan ajaran Hindu bertumpu pada etika batin, sama dengan tasawuf yang juga bertumpu pada pengetahuan dan pengalaman yang sifatnya batiny. Faktor kebudayaan dan lingkungan yang melatarbelakangi dan menuntut adanya ajaran-ajaran tersebutlah yang menjadikan keduanya terjadi kemiripan. Menurutnya kemiripan keduanya bukan terjadi atas dasar saling jiplak dan mengambil ajaran masing-masing akan tetapi sebatas faktor pembentuk yang sama dalam kebudayaan masing-masing sehingga akhirnya menimbulkan kesimpulan ajaran yang sama. (Hilmy, 1997; 65)
            Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf Islam berasal dari kebudayaan filsafat Yunani. Pendapat ini berlandaskan pada satu dalil bahwa banyak ulama tasawuf yang sempat mempelajari dan bertemu dengan tokoh-tokoh filsafat Yunani. Tersebarnya filsafat Yunani dan dimulainya penerjemahan kitab-kitab luar pada masa dinasti Abasiyah dianggap sebagai awal dimana para ulama mengambil dan mempelajari filsafat Yunani. Seperti halnya para filsafat Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu SIna mempunyai keterpengaruhan dengan filsafat Aristoteles begitu juga mereka menganggap tasawuf juga memiliki keterpengaruhan dengan filsafat Plato dan madrasahnya. Teori dalam filsafat emanasi (falsafatul Isyroq) mempunyai hakikat yang hampir sama dengan ajaran-ajaran Islam. dari situlah mereka menganggap bahwa pada masa dinasti Abasiyah tersebutlah tasawuf Islam juga terpengaruh dengan filsafat Yunani.
            Dr. Musthofa Hilmy juga mencoba memjawab keraguan ini dengan mengatakan bahwa kemiripan antara tasawuf Islam dengan filsafat emanasi bukan dalam kadar yang besar. Adanya kemiripan antara keduanya hanya terjadi dan dilakukan oleh beberapa ulama yang mempelajari filsafat Isyroq saja. Hal itu cukup meyakinkan bahwa sumber asli antara keduanya tetaplah berbeda, filsafat Yunani berasal murni dari sebuah pemikiran kebudayaan sedangkan tasawuf besumber pada dalil-dalil al-Quran dan al-Hadits melalui perilaku-perilaku para ahli tasawuf.
            Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa sumber dari ajaran-ajaran tasawuf dalam Islam berasal ajaran agama Nasrani. Mereka berlandaskan dalil bahwa kebudayaan yang ada pada masyarakat Arab sebelum Islam adalah kebudayaan jahiliyah dan satu-satunya kebudayaan yang paling dekat dengan Arab ketika itu adalah kebudayaan kaum Nasrani. Masyarakat Arab pun banyak yang sebelumnya menganut agama Nasrani sebelum akhirnya mereka berpindah ke agama Islam seperti Handholah al-Tho’i. Selain keterpengaruhan dari segi ajaran, diantara keduanya juga mempunyai kemiripan dalam segi praksisnya seperti halnya kaum sufi yang diidentikkan dengan pakaiannya yang lusuh dan berasal dari bulu domba. Hal itu mirip dengan pakaian-pakaian para pendeta terdahulu, kemudian juga aktifitas tahannuts atau bertapa. Aktivitas bertapa tersebut juga hampir sama dengan yang dilakukan oleh para pendeta terdahulu.
            Dr. Musthofa Hilmy menolak dengan keras pendapat ini. Beliau mengatakan bahwa teori-teori dan aktivitas sufu dalam Islam jelas tidak dapat dikatakan bersumber dari kaum Nasrani karena dalil-dalil tekstualnya jelas terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Teori seperti zuhud atau asketisme, wara, tahannuts, dan lain sebagainya bisa kita dapatnya justifikasinya dalam ajaran Islam sendiri. Hal itu dikarenakan contoh praksis yang diberikan oleh Rosulullah melalui perilaku kesehariannya jauh lebih detail dan jelas dari pada contoh yang diberikan al-Masih memalui kitabnya maupun para pendetanya. Jadi meskipun ada banyak orang Arab yang sebelumnya memeluk agama Nasrani hal itu tetap tidak dapat menyimpulkan bahwa tasawuf Islam diambil darinya. (Hilmy, 1997; 72)

G. Penutup
            Sebagai penutup, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tasawuf Islam sangat dinamis dan selalu mengalami perkembangan dalam setiap fasenya. Mulai dari tasawuf yang hanya bersifat praksis dan berupa fenomena individualistik saja berubah menjadi tasawuf normatif dan sekaligus praksis dan berubah menjadi fenomena publik. Hal ini dibuktikan dari yang awalnya tasawuf hanya dipraktekan dan dilakukan sebagai sebuah etika personal kemudian sekarang berubah menjadi satu ilmu dengan mdrasah-madrsahnya yang sangat beragam.
            Keterpengaruhan tasawuf dimungkinkan terjadi ketika tasawuf memasuki fase normatif. Akan tetapi tidak sampai merubah dan mengalihkan landasan normatif dari tasawuf tersebut. Hal itu dikarenakan segala sesuatu yang hidup dalam ruang dan waktu tidak akan mungkin bisa dipisahkan dari faktor-faktor eksternal yang ada di sekelilingnya. Sehingga terjadinya keterpengaruhan antara tasawuf dengan kebudayaan dan pemikiran lainnya sangat mungkin terjadi akan tetapi hanya dalam segi tema-tema normatifnya saja tanpa mengubah esesni dasar.       


Daftar Pustaka.

            Al- Ghanimy, Abu Wafa, at- Taftazany, Madkhal ila al-Tasawuf al-Islami, Cairo; Dar al-Tsaqofah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1991 
            Badir’un, Faisol, al-Tasawuf al-Islamy al-Toriq wa al-Rijal. Cairo; Dar al-Ma’arif, 1998
            Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulum al-Din, Cairo; Dar al-Nashr al-Nil, 1990
            Hijazi, Sami ‘Afifi, Dirosat fi al-Tasawuf wa al-Akhlak, Cairo; Penerbit al-Azhar, 1998
            Hilmy, Muhammad Musthofa, al-Hayat al-Ruhaniyah fi al-Islam, Cairo; Dar al-Ma’arif, 1997
            Hilal, Ibrahim, al-Tasawuf al-Islami baina al-Din wa al-Falsafah, Cairo; Dar al-Nahdhoh al-Arabbiyah, 1996
            Kholdun, Abdurrahman bin Muhammad, Mukaddimah ibn Kholdun, Cairo; Dar al-Tsaqofah, 2000
Baca SelengkapnyaTiga Abad Pertama Tasawuf
0 comments

Nilai Raport X IAI B MATU

Pengumuman


Bagi semua siswa kelas X IAI B tahun ajaran 2012/2013 yang belum sempat mengambil Raport, kalian bisa melihat leger lengkap hasil belajar kalian melalui tabel di atas.

Bagi semua siswa-siswi IAI yang merasa membuat surat perjanjian muhafadzoh Alfiyah, harap segera melakukan persiapan dan melaksanakan muhafadzoh sesuai dengan bait kekuarangannya masing-masing. dan juga disesuaikan dengan tanggal yang kalian tulis dalam surat perjanjian. Bagi siswa-siswi yang tidak melaksanakan muhafadzoh sesuai dengan surat perjanjian yang telah dibuat sendiri, maka Raport kenaikan kelas akan saya sita kembali.

sekian, terima kasih :)

Baca SelengkapnyaNilai Raport X IAI B MATU
0 comments

Feminisme dan Islam


A. Pendahuluan
            Memerangi ketidakadilan sosial sepanjang sejarah kemanusiaan selalu menjadi tema menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap pemikiran dan konsepsi tentang kemasyarakatan di masa mendatang. Sejarah manusia dalam memerangi ketidakadilan sosial telah melahirkan analisis dan teori sosial yang hingga saat ini masih berpengaruh dalam membentuk sistem kemasyarakatan umat manusia. Misalnya saja analisis dan teori kelas yang dicetuskan oleh Karl Marx dapat membantu analisis sosial saat ini untuk memahami bentuk ketidakadilan ekonomi dan kaitannya dengan sistem sosial yang lebih luas.
            Dari pelbagai gugatan terhadap ketidakadilan tersebut, terdapat satu analisis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin yang belum pernah disinggung oleh teori-teori di atas. Analisis yang dimaksud adalah analisis gender, suatu analisis yang menjadi alat bagi gerakan feminisme sepanjang masa.
            Gerakan tersebut pada akhirnya pun bersinggungan dan berpapasan secara langsung dengan dogma-dogma Islam. Banyak sekali ajaran Islam yang dianggap tidak merepresentasikan sebuah ajaran yang humanis. Salah satu alasannya adalah dalam ajaran tersebut Islam lebih banyak mengistimewakan hak-hak laki-laki dan mensubordinalkan hak-hak perempuan. Terlepas dari tarik ulur konstruksi sosial yang melingkupi ajaran Islam, maka bagaimanakah sebenarnya sikap yang harus kita berikan menanggapi argumentasi gerakan feminis tersebut.
            Apa juga sebenarnya yang menjadikan gender menjadi satu masalah yang penting untuk dikaji dalam hubungannya dengan ketidakadilan sosial?. Pertanyaan inilah yang akan mencoba digali jawabannya dalam uraian makalah singkat mengenai gerakan feminisme dan akar-mulanya dari pemikirian gender.


B. Feminisme dan Keadilan Gender
Feminisme adalah gerakan yang memperjuangkan kesetaraan jender (gender). Feminisme membedakan antara kategori sex dan gender. Sex itu bersifat given, terberi, kodrat, tidak dapat diubah, seperti perempuan memiliki rahim, haidh, dan lainnya. Sedangkan gender merupakan konstruksi sosial, politik, dan budaya, terhadap perempuan. Pendeknya, jika sex adalah perbedaan alamiah antara laki-laki dan perempuan, sedangkan jender perbedaan yang tidak alamiah melalui proses sosial dan kultural panjang, yang cenderung mensubordinasikan dan menindas kaum perempuan.
H.T. Wilson mengartikan jender sebagai dasar penjelasan bagaimana partisipasi laki-laki dan perempuan dalam masalah kebudayaan dan kehidupan bersama yang berakibat ia menjadi laki-laki atau perempuan (Wilson, 1989; 2). Nasarudin Umar memaknai jender sebagai konsep yang digunakan mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari aspek sosial-budaya. Jender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis (Umar, 1995; 35). Permasalahan jenis kelamin tidak ada kaitannya dengan masalah jender, karena jenis kelamin bersifat alamiah (natural), bersifat biologis dan akan tetap di mana saja disamping tidak bisa dirubah. Berbeda dengan jender, yang dianggap oleh feminis, bersifat sosial budaya yang dibuat oleh manusia, bisa berubah dari waktu ke waktu, dari kebudayaan satu dengan kebudayaan yang lain.
Artinya adalah bahwa gender merupakan satu istilah yang terbentuk dari sebuah konstruksi sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jentan, perkasa. Ciri dari sifat-sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Yang menjadi masalah adalah sering terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan apa yang disebut gender. Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat, dimana apa yang sesungguhnya gender karena pada dasarnya konstruksi sosial justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan Tuhan. Justru sebagian besar yang dewasa ini sering dianggap atau dinamakan sebagai “kodrat wanita” adalah sebuah konstruksi sosial dan kultural atau gender.
Misalnya saja sering diungkapkan bahwa mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik lainnya sering dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya “kodrat wanita”. Padahal kenyataannya, bahwa perempuan memiliki peran gender dalam mendidik anak, merawat dan mengelola keindahan rumah tangga adalah konstruksi sosial dalam satu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi urusan-urusan tadi bisa dilakukan dan dibebankan kepada kaum laki-laki. Artinya adalah bahwa jenis pekerjaan itu bisa dieprtukarkan. (Fakih, 2007; 11)
Lain dari pada itu, perlu kita pahami bahwa sifat-sifat yang melekat akibat konstruksi sosial tersebut tidak selamanya harus dipertukarkan oleh seseorang yang mengaku sebagai pejuang feminisme. Bentuk realistis dan nyata dari sebuah perjuangan melawan ketidakadilan gender tidak harus dinyatakan dengan cara merubah sifat-sifat gender yang ada pada dirinya sendiri. Semisal ketika dia seorang pria maka dia harus merubah karakter gendernya yang secara umum bersifat maskulin menjadi feminim agar sah dikatakan sebagai pejuang gender. Sifat-sifat tersebut hanyalah sebuah media untuk memudahkan kita memahami makna dan perbedaan antara sex dan gender itu sendiri, sehingga ketika kita sudah dapat memahami dengan benar diharapkan akan mengerti apa yang sebenarnya harus diperjuangkan dalam masyarakat. 
Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep jender. Pemahaman dan pembedaan antara kedua konsep tersebut sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena adanya kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara lebih luas.
Akan tetapi pengungkapan masalah perempuan dengan menggunakan analisis gender sering menghadapi perlawanan atau resistensi baik dari kalangan kaum laki-laki maupun kaum perempuan sendiri. Ada banyak sebab yang melatarbelakangi timbulnya perlawanan tersebut. Diantaranya sebab-sebab itu adalah karena mempertanyakan status perempuan pada dasarnya adalah mempersoalkan sistem dan struktur yang telah mapan, bahkan mempertanyakan status perempuan pada dasarnya berarti menggoncang struktur dan sistem status quo ketidakadilan tertua dalam masyarakat. (Fakih, 2007; 6)
Perbedaan gender sebenarnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki maupun kaum perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Untuk memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender dapat dilihat melalui pelbagai manifestasi ketidakadilan yang ada. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni: Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keptusan politik, pembentukan setereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan terhadap perempuan, beban kerja lebih panjang dan banyak.
Sedangkan feminisme adalah satu gerakan yang mencoba mendobrak ketidakadilan-ketidakadilan gender yang disebabkan dari konstruksi sosial kultural yang terjadi dalam masyarakat. Konstruksi sosial dan kultural tersebut pada akhirnya nanti akan mempengaruhi banyaknya pola pemikiran feminisme bergantung dari sisi yang dibidik oleh sang feminis. Termasuk juga ketika kita menjadikan agama (Islam) sebagai sebuah fenomena empiris kultural yang mau tidak mau akan mempengaruhi pemikiran ketidakadilan gender dalam masyarakat.




C. Sejarah Feminisme
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet.
Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki di hadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk situasi. Di lingkungan agama Kristen terjadi praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.
Pergerakan di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari.
Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan , diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).
Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.
Akan tetapi perlu kita ketahui bahwa semangat gerakan feminisme ini sebenarnya tidak hanya dimonopoli oleh kalangan pemikir barat dengan segudang teorinya. Semangat feminisme sebenarnya sudah ada secara fitrah di setiap daerah dimana terjadi ketidakadilan terhadap perempuan. Kita bisa mengambil banyak contoh dimana gerakan perjuangan terhadap hak-hak perempuan terjadi di banyak negara. Di daerah timur tengah misalnya mesir dengan tokoh-tokohnya yang sangat terkenal mulai dari Muhammad Abduh, Qosim Amin, Nawal Sa’dawi, di daerah maroko ada Fatimah Mernissi, kemudian di Indonesia kita mengenal banyak tokoh pejuang hak perempun semisal R.A. Kartini, Cut Nyak Dien, dan lain sebagainya.

D. Macam-Macam Aliran Feminisme
            Rosemarie Putman Tong dalam bukunya yang berjudul Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, Second Edition membagi aliran-aliran feminisme ke dalam beberapa bentuk. Kesemuanya mempunyai perbedaan menurut ciri khas dan kecenderungan bidikan pemikiran masing-masing. Dalam bukunya, Rosemarie menyebutkan setidaknya ada tujuh bentuk pemikiran feminisme yang berkembang sepanjang sejarah. Diantaranya adalah, Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis dan Sosialis, Feminisme Psikoanalisis dan Gender, Feminisme Eksistensialis, Feminisme Posmodern, Feminisme Multikutural dan Global. Namun di sini hanya akan dipaparkan beberapa dari pemikiran feminisme tersebut yang memiliki nilai penting. (Tong, 1998; 15)
            Pertama; Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum laki-laki, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memang memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

Kedua; Feminisme radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal.
Ketiga; Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.

E. Feminisme dalam Islam
            Diskursus gender dalam agenda feminisme kontemporer banyak memfokuskan pada persamaan hak, partisipasi perempuan dalam kerja, pendidikan, kebebasan seksual maupun hak reproduksi. Sejak abad 17 hingga 21 perjuangan feminis telah mencapai pasang surut dan mengalami perluasan wilayah tuntutan dan agenda perjuangan yang jauh lebih rumit.
            Dari kubu pro dan kontra feminisme, dari kritikan dan kecaman yang terlontar, Islam diantaranya yang paling mendapat banyak sorotan dalam kaitannya terhadap status dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Hegemoni Islam terhadap perempuan muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam dalam praktek keseharian di panggung kehidupan, dimana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekpresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh aturan yang sangat membatasi ruang kerja.
Tentu saja terjadi benturan yang sangat ketara ketika kita pertama kali melihat Islam sebagai sebuah agama sekaligus objek kajian. Islam yang berkembang di daerah Arab secara tidak langsung juga berbaur dengan tradisi Arab kala itu yang bersifat partiarkis. Budaya lokal Arab ketika itu lebih menghargai seorang anak laki-laki dari pada anak perempuan. Bahkan disebutkan dalam salah satu cerita dalam al-Qur’an dimana mereka kebingungan ketika mengetahui kabar bahwa istri mereka melahirkan anak perempuan. Perempuan ketika itu dianggap sebagai sebuah simbol kelemahan maka mereka tidak ragu untuk membunuh anak mereka sendiri dan menguburnya hidup-hidup kedalam tanah. (Umar dkk, 2002; 34)
Sebelum itu, tentu kita harus menyadari terlebih dahulu mengenai keberadaan Islam sebuah sebuah entitas yang bukan tidak tak tersentuh. Selama ini ada sebagian orang mengartikan Islam adalah sebuah nilai yang sudah kadung sempurna dan tidak boleh dipertanyakan kembali. Lebih ironis lagi ketika mereka menganggap bahwa kesempurnaan islam tersebut kemudian menjadikannya tidak tersentuh oleh fenomena budaya, sosial, kemasyarakatan dan segala yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Hal itu berangkat dari pemahaman mereka yang meyakini bahwa Islam hanyalah sebatas regulasi suci dari Tuhan yang tidak bisa dan tidak ada hubungannya dengan fenomena manusia dalam masyarakat di bumi ini.
Akan tetapi disadari ataupun tidak, diakui ataupun tidak, Islam telah menyatu keberadaannya dengan semua entitas manusia dengan segala kebudayaannya. Wujud dari sebuah kalimat “solihah li kulli zamannin wa makanin” adalah bukti kemampuan Islam untuk selalu menjawab segala tantangan zaman dan perubahan kebudayaan yang ada. Artinya Islam meskipun secara dogmatis terlihat sangat wksklusif namun pada praktiknya akan mengalami peleburan dan saling keterkaitan dengan kebudayaan yang ada.  
Ada banyak isu yang selama ini menjadi bahan diskusi dalam tema feminisme agama Islam. Mulai dari dibatasinya hak-hak interaksi publik dalam perempuan, hak politik, hak warisan, poligami, dan lain sebagainya. Mereka beranggapan bahwa Islam tidak memberikan porsi yang adil terhadap hak-hak perempuan dalam banyak bidangnya. Oleh karena itu seringkali Islam dijadikan bahan cibiran karena dianggap sebagai agama yang patriarkis dan kental dengan nuansa misoginisme. Kaum feminis merumuskan beberapa wilayah diskriminasi terhadap perempuan yang, dalam optic mereka, juga dilegitimasi oleh agama Islam. Diantaranya:
Pertama; Hak politik. Kelompok feminis mengklaim bahwa pendapat yang melarang kaum hawa menduduki posisi vital kenegaraan (baca: Imam), sama sekali tidak mendasar. Pelarangan tersebut tidak lepas dari kenyataan sejarah panjang di mana mayoritas ahli hukum dan tafsir sejak dulu hingga kini didominasi laki-laki ditengah-tengah tradisi patriarki yang hegemonik. Teks-teks agama yang ditafsirkan pun kemudian menjadi bias jender.  Mereka, para feminis, berangkat dari surat al-Taubah: 71 yang menyatakan: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) kebajikan dan melarang pada yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat. Dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan mendapat rahmat dari Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.”
Dengan ayat ini mereka menunjukkan, bahwa pria dan perempuan mempunyai hak kepemimpinan publik, terbukti keduanya berhak menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.
Kedua; hak waris. Dalam hal ini kalangan feminis mengatakan bahwa surat al-Nisâ’ ayat 11, yang menginformasikan bagian perempuan separuh dari bagian laki-laki, tidak lepas dari setting sejarah ketika isteri Sa’ad bin Arabi yang ditingggal mati suaminya, menghadap kepada Rasulullah saw. Dia mengadu tentang harta waris suaminya yang diambil pamannya tanpa disisakan sedikitpun. Padahal dia khawatir dengan kedua putrinya yang akan kesulitan mendapat jodoh kalau tidak memiliki materi. Lalu beliau bersabda. “Allah swt. yang akan memutuskan persoalan itu”. Kemudian turunlah ayat tersebut. Kaum feminis mempermasalahkan ketentuan 2:1 yang termasuk bentuk pembagian diskriminatif. Pembagian diskriminatif tersebut, menurut klaim mereka, disebabkan ayat tersebut turun dalam tataran konstruk-sosial di mana kaum perempuan dianggap tidak memiliki intelektualitas dan kapabilitas keagamaan memadahi, kebutuhan perempuan terhadap harta lebih sedikit dibandingkan laki-laki, dan suami mereka telah menjamin biaya hidupnya. Hal tersebut berbeda dengan konteks kekinian di mana perempuan telah mengalami kemajuan kemampuan dalam segala bidang. Konsekuensi logis dari perubahan konteks tersebut menuntut berubahnya jumlah ketentuan pembagian harta warisan.

Ketiga; hak poligami. Menurut mereka, legitimasi menikahi isteri lebih dari satu tentunya melukiskan simbol superioritas “kemenangan” bagi laki-laki, yang secara tidak langsung akan mensubordinasikan lawan jenisnya.
Keempat; perempuan sebagai saksi. Dalam pemikiran hukum Islam, ketentuan kesaksian perempuan bernilai setengah dari kesaksian laki-laki, berbasis nalar berikut ini. Persaksian merupakan bentuk interaksi secara langsung dengan masyarakat luas guna memberikan data akurat dan mengetahui kejadian yang sebenarnya. Sedangkan perempuan dalam skala mayoritas jarang bersinggungan dengan hal ini. Hal ini didasari fenomena riil perempuan yang memang karakter awalnya tidak berkecimpung dengan permasalahan ekonomi. Oleh karenanya, Allah swt. menetapkan dua orang perempuan sebagai pengganti satu laki-laki. Penalaran ini ditanggapi oleh kalangan feminis, dengan mengatakan bahwa ketentuan tersebut karena melihat perempuan di zaman dulu tidak banyak yang keluar menyaksikan sesuatu yang berhubungan dengan keuangan. Akan tetapi perempuan saat ini lebih banyak yang bergelut dengan urusan kerja dan keuangan. Kalau hal ini terjadi sejak dulu, sudah barang tentu  ulama akan berpendapat lain.
Demikianlah sebagian wacana isu-isu jender. Gagasan egalitarianisme di atas sangat kental dengan sentuhan interpretasi hermeneutika, di mana seorang penafsir harus mendekonstruksi konteks historis yang melatari munculnya teks-teks keagamaan. Kemudian melakukan rekonstruksi penafsiran yang berlandaskan konteks sosial kekinian penafsir. Perlu digarisbawahi, dalam diskursus “hermeneutika poros tengah” sebenarnya telah dibahas panjang lebar bahwa sebenarnya teori interpretasi hermeneutika merupakan metode penafsiran teks yang cukup baik, dan nafas-nafasnya pun sebenarnya telah ada dalam metodologi Islam. Namun ia juga harus mengikuti aturan interpretasi dalam Islam, termasuk di antaranya tidak menabrak nash qath’i dan lain-lain. Benar bahwa penafsiran harus berangkat dari konteks kekinian dalam rangka mengaktualisasikan hukum, akan tetapi hal tersebut harus dibatasi khusus dalam hukum-hukum yang bersifat teknis, temporal, berlandaskan adat, dan lainnya, seperti penentuan bentuk ta’zir, teknis muamalah, bentuk-bentuk nafkah yang harus diberikan kepada isteri, dan lain-lain.

F. Jawaban atas Fenomena Feminisme Islam
Dalam Islam Allah swt. telah mempublikasikan kedudukan perempuan dalam posisi yang cukup strategis sama dengan laki-laki. Dalam surat al-Hujurât: 13 dinyatakan; “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” Ayat ini menegaskan bahwa di sisi Allah swt. seorang laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang setara (musâwah), dan yang membedakan hanyalah ketakwaannya saja. Selain ayat tersebut masih banyak sekali ayat yang menunjukkan kesetaran perempuan dan pria. Di antaranya surat al-Ahzab: 35 yang menerangkan tentang sifat-sifat orang mukmin dan kewajibannya terhadap agama; “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang tetap pada ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” Dalam ayat ini jelas betapa Allah swt. telah menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan. Redaksi yang senantiasa menghubungkan laki-laki dan perempuan menunjukkan betapa menghargainya agama Islam terhadap kaum perempuan.
Oleh karena itu alih-alih merasa berang dengan tuduhan-tuduhan para Orientalis yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang sangat patriarkis dan misoginis, maka sebenarnya kita bisa mengkaji lebih dalam dan mencari jawaban yang ilmiyah dan realistis mengenai isu-isu feminisme dalam islam seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya. Ada banyak pendapat para pemikir Islam kontemporer yang mengkaji dan mencoba menjawab tantangan zaman tersebut. Berikut akan kita coba analisa satu persatu secara umum mengenai jawaban-jawaban dari isu feminisme dalam Islam.
Pertama; Hak politik dalam Islam
Mengenai hak politik dalam Islam, klaim yang diangkat oleh kalangan feminis berawal dari sebuah dalil hadits atau sunnah Rasul. Dimana ketika itu dalam satu riwayat nabi Muhammad pernah berkata ‘‘ma aflaha qaumun yali amruhum imraatun (Tidak akan sejahtera, komunitas yang menyerahkan urusan-birokrasinya pada seorang perempuan)”. Berangkat dari statemen ini mayoritas ulama menentukan kriteria seorang pemimpin harus dari golongan laki-laki, karena seorang perempuan bukan termasuk ahl al-wilâyah (kecakapan menangani pemerintahan), sehingga wajar bila perempuan tidak boleh memegang otoritas vital kenegaraan.
Lalu apa korelasinya dengan ketidakbolehan perempuan menjadi Pemimpin, padahal secara skriptual hadits itu hanya mengisyaratkan akan terjadinya suatu kekacauan belaka?. Dan kenapa berdampak pada hukum haram?. Dalam hal ini ahli tafsir mengenalkan istilah antisipasi, yakni menjauhi situasi dan kondisi yang akan mengancam kesejahteraan harus diupayakan, meskipun secara semantik-linguistik hadits di muka hanya berstatus informasi (khabar) bukan larangan. Berdasarkan argumentasi ini, mayoritas ulama menyimpulkan sepenggal kata ‘haram’ mengangkat perempuan menjadi kepala negara sebagai upaya menghindari penyebab kekacauan yang dikategorikan wajib.
Dalam diskursus ini, penulis ingin menegaskan bahwa permasalahan ini sebenarnya adalah wilayah ijtihâdiyyah, sehingga hadits di muka multi-tafsir dan masih terbuka untuk direinterpretasi. Reinterpretasi tersebut setidaknya didasari kajian kontekstual di mana dari data historis Ibn Hajar al-Asqalany menginformasikan, hadits di muka muncul sebagai respon terhadap kepemimpinan ratu Persia, Buran binti Syairawaih bin Kisra Anusyirwan. hadits tersebut bermula dari kisah Abdullah bin Hudzaifah, pesuruh Rasulullah saw. yang ditugasi menyampaikan surat ajakan masuk Islam kepada penguasa Persia yang beragama Majusi yang bernama Kisra. Tapi ternyata surat ajakan Rasulullah saw. tersebut dilecehkan oleh Kisra dengan cara merobek-robeknya. Pada suatu saat ia dibunuh dengan cara diracun oleh anak laki-lakinya, yang kemudian juga membunuh saudara-saudaranya. Ketika ia mati diracun, kemudian kekuasaannya digantikan oleh putrinya yang bernama Buran. Mendengar berita Persia dipimpin oleh Buran, Nabi Muhammad saw. kemudian menyabdakan hadits di atas.
            Seperti yang telah ditegaskan, teks hadits di atas multi-tafsir. Jika diinterpretasikan dengan kaidah al-‘ibrah bi umûm al-lafzhi, maka kata-kata ‘qawm’ dalam hadits tersebut tidak hanya terkhususkan kepada komunitas Persia saja, melainkan berlaku pula bagi setiap komunitas yang menyerahkan urusan birokrasinya kepada perempuan, termasuk masyarakat Indonesia. Sedangkan jika ditafsirkan melalui pendekatan kaidah al-‘ibrah bi khushûsh al-sabab, maka hadits tersebut hanyalah khusus bagi masyarakat Persia saja, sehingga bagi masyarakat selain Persia tidak masuk dalam cakupan kata ‘qawm’ dalam hadits.
            Dari dua corak pendekatan tersebut bisa dikatakan, penafsiran pertama cenderung literalistik-tekstualistik, sedang yang kedua lebih menitikberatkan pada penelisikan secara hermeneutis yang hirau akan signifikansi konteks historis yang melatari munculnya teks.
            Menurut penulis, naif sekali jika hadits di muka ditafsirkan secara harfiyyah - tekstual. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah sendiri sejak dulu sebenarnya mempunyai amunisi metode kontekstual-hermeneutis guna menggali kapasitas Nabi Muhammad saw. Dalam diskusi klasik itu, dua ulama besar tersebut sering berdebat dalam menentukan kapasitas Nabi tatkala mengeluarkan sabda. Syafi’i selalu menggeneralisir – dalam rangka ihtiyath – bahwa semua hadits dikeluarkan oleh Nabi adalah mewakili kapasitasnya sebagai Rasul, sehingga setiap ketentuannya berfungsi sebagai legislasi umum (tasyri’ ‘âm) atau bersifat normatif-universal. Sedang Abu Hanifah yang lebih rasionalis memilih untuk memilah antara hadits yang muncul dalam kapasitas Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul karena terkait erat dengan urusan hukum-hukum, atau dalam kapasitas sebagai Kepala Negara karena terkait dengan urusan publik yang bersifat kondisional seperti masalah jabatan, mekanisme pengumpulan dan pengalokasian zakat, dan lain sebagainya. Jika hadits terproduk dalam kapasitas Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul maka mempunyai fungsi legislasi universal. Nah, dari konsepsi disparitas (pembedaan) yang disodorkan Abu Hanifah tersebut, jika dianalisa, akan menimbulkan konsekuensi logis bahwa hadits yang terproduk dalam kapasitas Nabi sebagai Kepala Negara tidak mempunyai fungsi legislasi universal tetapi hanya dalam tataran normatif-partikular.
            Dengan segala keterbatasan pergulatan intelektual penulis, jika konsep disparitas Abu Hanifah ini boleh penulis pinjam, kemudian digabungkan dengan pendekatan al-‘ibrah bi khushûsh al-sabab, tentunya akan memunculkan “penafsiran baru” bahwa hadits di muka hanya berlaku untuk komunitas Persia dan masyarakat yang berada di bawah kepemimpinan Nabi sebagai Kepala Negara. Karena selaras dengan konsep disparitas Abu Hanifah tersebut. Seyogyanya harus dibedakan antara hadits yang muncul dalam kapasitas Nabi sebagai Rasul maupun kepala negara sebab terkait dengan urusan jabatan.
            Kedua; Hak warisan dalam Islam
Seperti yang telah disinggung di atas, kaum feminis mempermasalahkan ketentuan 2:1 yang dianggap sebagai bentuk pembagian diskriminatif. Pembagian diskriminatif itu, menurut mereka, disebabkan ayat tersebut turun dalam tataran konstruk-sosial di mana kaum perempuan dianggap tidak memiliki intelektualitas dan kapabilitas keagamaan memadahi, kebutuhan perempuan terhadap harta lebih sedikit dibanding laki-laki, dan suami mereka telah menjamin biaya hidupnya. Dalam konteks kekinian, seiring majunya intelektual kaum perempuan, naiknya kebutuhan, maka konsekuensinya juga menuntut disetarakannya pembagian harta pusaka anak laki-laki dengan perempuan.
Secara de jure, bagian harta waris perempuan ada yang mendapatkan cuma separo dari bagian laki-laki, sebagaimana keputusan dalam surat al-Nisa’: 11, yang artinya; ‘‘Allah telah berwasiat pada kamu sekalian dalam (bagian) anak-anak kalian. Bagi laki-laki mendapat bagian seperti bagiannya dua anak perempuan.’’
Alasan pembagian harta pusaka bagi saudara perempuan (ukht) 1:2 dibanding saudara laki-laki (ahk) adalah karena saudara laki-laki yang berkewajiban membiayai kehidupan saudara perempuannya, yaitu ketika dia tergolong miskin, meskipun mampu bekerja mencari nafkah.  Pembagian semacam itu adalah perlakuan adil. Sebab alokasi yang lebih mementingkan pihak saudara laki-laki ini bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk kebutuhan bersama. Karena saudara laki-laki bertanggungjawab penuh membiayai kehidupan saudara perempuannya. Sepertinya sangat wajar dan manusiawi bila laki-laki mendapat jatah lebih banyak, karena substansinya untuk kebaikan bersama. Sementara pada saat beban biaya saudara perempuan tidak lagi menjadi tanggungjawab saudara laki-laki, maka pembagiannya disamakan. Sebagaimana pesan dalam al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 12, yang artinya: ‘‘Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meinggalkan anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka dia bersekutu dalam yang sepertiga itu’’
Berangkat dari sebagian contoh pendapatan tirkah di muka, kiranya sudah mampu mengobati ‘‘opini miring’’ yang mengatasnamakan keadilan dan motif kesetaraan antara pria dan perempuan.
Yusuf Qardhawi berkaitan dengan masalah ini mengatakan, “sebenarnya Allah swt. tidaklah berpilih kasih kepada laki-laki ketimbang perempuan. Akan tetapi justru Allah swt. membedakan antara laki-laki dan perempuan karena adanya beban bagi laki-laki: anak perempuan dibiayai oleh walinya tatkala belum kawin dan dibiayai oleh isterinya jika telah berumah tangga,  meskipun anak perempuan itu kaya dan menerima mas kawin sedang laki-laki ketika kawin memberi mas kawin. Jadi, sebenarnya harta si perempuan itu selalu bertambah sedang harta laki-laki berkurang. Oleh sebab itu berarti menyamakan warisan adalah merupakan penganiayaan terhadap laki-laki, sedangkan ketetapan-ketetapan hukum Allah Ta‘ala adalah keadilan.”
Ekspresi keadilan dalam konsep warisan Islam akan tampak ketika direnungi. Pendapatan harta waris perempuan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki sama sekali tidak dirugikan, karena di satu sisi, perempuan telah mendapat perhatian khusus dalam institusi hukum yang lain dan banyaknya keistimewaan lain yang diberikan. Sehingga Islam secara kolektif sebenarnya telah mendorong kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Contoh kecil adalah dalam hal pemenuhan ekonomi yang ditanggung oleh golongan laki-laki. Kebutuhan keluarga, baik isteri maupun anak menjadi kewajiban laki-laki, bahkan perempuan yang mampu pun tidak tertuntut untuk memenuhi kebutuhan keluarga, entah statusnya sebagai isteri, ibu maupun anak. Selama laki-laki masih ada, perempuan tidak disibukkan dengan urusan ekonomi. Berbeda dengan laki-laki, selama masih punya daya berusaha, tidak ada yang berkewajiban untuk menanggungnya. Dengan demikian posisi perempuan sangat diuntungkan, karena yang bertugas memenuhi kebutuhan ekonomi lebih difokuskan bebannya terhadap pihak laki-laki.
Dr. Ali Jum’ah dalam bukunya mengungkapkan fakta yang menarik mengenai hal ini. Ternyata persepsi yang selama ini melekat pada kaum umum bahwa dalam teori warisan Islam memperlakukan lelaki lebih istimewa dari pada perempuan adalah salah dan tidak terbukti secara ilmiyah. Karena dengan secara tegas seperti yang telah penulis jelaskan di atas bahwa ayat yang selama ini dipakai oleh para feminis adalah ayat yang menerangkan salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk teori warisan yang ada dalam Islam. Dan ternyata ketika kita mengkaji lebih dalam lagi secara utuh tentang teori tersebut kita menemukan banyak keadaan dimana perempuan mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada bagian laki-laki.
Berikut ini adalah bentuk-bentuk teori secara utuh mengenai konsep warisan serta perbandingan pendapatan antara lelaki dan perempuan. (Jum’ah, 2006; 30)
·         Terdapat empat keadaan ketika perempuan memperoleh bagian setengah dari laki-laki
·         Terdapat sebelas keadaan ketika perempuan memperoleh bagian yang sama dengan laki-laki
·         Terdapat empat belas keadaan dimana perempuan memperoleh bagian yang lebih besar dari pada laki-laki
·         Terdapat lima keadaan dimana hanya perempuan yang mendapatkan bagian warisan dalam ahli waris tersebut.
Sementara upaya kaum feminis mencoba mempersoalkan ketentuan 1:2 dengan pendekatan sosiologis-hermeneutis dengan menyeret surat al-Nisa‘: 11 pada konteks perkembangan sosial kekinian, dan klaim kepura-puraan tentang slogan keadilan, secara tegas dapat dijawab bahwa tuntutan tersebut kurang mendasar. Sebab, ayat-ayat seputar warisan di samping valid dari aspek transmisi (qath’i wurûd) juga merupakan dalil yang pasti (qath’i dilâlah), sehingga permasalahan ini bukanlah areal parkir intelektualitas (baca; ghayr mahal al-ijtihâd). Dengan demikian, pendekatan hermeneutika tidak dibenarkan beroperasi dalam wilayah sakral ini. Meskipun ia merupakan metode penafsiran yang cukup hirau dengan pertimbangan sosio-kultural, psikologis, antropologis, konteks historis, dan lain sebagainya, namun ia tidak mempunyai otoritas untuk mendekonstruksi ayat-ayat waris di atas kemudian merekonstruksinya ke dalam konteks kekinian, karena pada dasarnya ayat-ayat waris tersebut bersifat konstan, up-to-date, dan akan selalu relevan dalam segala konteks, baik konteks klasik, pertengahan, modern, maupun kontemporer. Pada titik klimaksnya, jika kalangan feminis, termasuk juga aktifis JIL, memaksakan kehendaknya memerkosa ayat-ayat waris untuk direkonstruksi di atas ranah konteks kekinian, maka hal tersebut tidak lain adalah akibat intervensi hawa nafsu. Allah swt. telah berfirman; “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya.” (QS. Al-Mu‘minûn: 71).
Ketiga; Hak Poligami dalam Islam
Kata-kata poligami (Ar.: ta’addud al-zaujât) berasal dari bahasa Yunani poly atau polus yang mempunyai arti gamein atau gamos yang artinya ‘perkawinan’. Secara harfiah, poligami berarti “perkawinan yang lebih dari satu orang.” Lebih detailnya, poligami terklasifikasi menjadi poliandri dan poligini. Poliandri merupakan pernikahan perempuan dengan pasangan laki-laki lebih dari satu orang. Sedangkan poligini adalah perkawinan laki-laki dengan mempelai perempuan lebih dari satu. Tetapi dalam tataran wacana terbatas, kata-kata poligami sering digunakan dalam arti lebih sempit untuk mewakili term poligini.
Dalam realitas sejarah, pada masa pra-Islam, poligami atau poligini merupakan praktek umum dengan tanpa ada pembatasan jumlah perempuan yang boleh diperisteri. Di Romawi, Persia, Arab Jahiliyyah, dan beberapa bangsa Eropa serta Asia Barat, praktek poligami merupakan realitas sosial dan kultural yang lumrah. Di daerah-daerah tersebut, seorang laki-laki diperbolehkan mengawini perempuan-perempuan dengan jumlah tak terbatas sesuai yang mereka sukai. Di tengah-tengah sistem sosial yang bobrok, pada saat itu poligami mengakibatkan derajat dan nasib perempuan jauh dari ideal. Namun pada abad ke-7, agama Islam datang membawa ajaran yang emansipatoris, menghargai derajat kaum hawa. Ajaran-ajaran yang diproyeksikan membenahi tatanan sosial yang memprihatinkan itu diantaranya adalah pembatasan jumlah maksimal poligami, serta syarat-syarat ketat diperbolehkannya poligami. Legislasi (pensyariatan) aturan itu merupakan upaya untuk kebaikan kaum perempuan, keturunan, kemampuan laki-laki, dan masyarakat pada umumnya.
Pembatasan jumlah maksimal empat tersebut berdasarkan al-Qur’an, surat al-Nisa’(4): 3, yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat.”
Tinjauan semantik bangunan ayat itu menunjukan bentuk kalimat perintah (amr), namun tidak berarti perintah itu wajib. Mayoritas ulama menyimpulkan, konstruk kalimat perintah ayat di atas hanya menunjukan makna boleh (baca: ibahah)). Imam Fahr al-Razi menyatakan, ayat tersebut tidak berhenti pada perintah itu, tapi harus dilanjutkan sampai pada petikan ayat “meninggalkan poligami akan lebih baik”. Oleh karenanya, bentuk kata itu bukanlah perintah yang berarti sunnah, apalagi wajib.
Secara faktual, mamang ulama berselisih apakah konstruk kata perintah dalam ayat menunjukan hukum wajib, sunah, atau hanya sekedar boleh, tapi pada ujungnya mereka mencapai kata sepakat bahwa hukum poligami adalah boleh dengan persyaratan yang cukup ketat.
Poligami yang dianggap absah menurut hukum, apakah menjadi ketetapan mutlak, tanpa memandang status perempuannya?. Mengenai hal ini, Muhammad Syahrur dalam karyanya ‘Nahwa Ushûl Jadîdah Li Fiqh al-Islâmi’ (Menuju Ushul Baru dalam Fiqh Islam) mengupas soal poligami menurut “teori limit” (nazariyyah al-hudûd). Menurutnya,  harus dibedakan antara batas kuantitatif dan kualitatif. Batas kuantitatif merujuk pada jumlah yang memungkinkan bagi perempuan untuk dinikahi. Jumlah ini yakni minimal satu dan maksimal empat. Konsekuensinya, jika seseorang menginginkan poligami, ia harus melebihi batas minimal yaitu telah menikahi seorang perempuan. Meskipun demikian, batas kuantitatif ini sangat lemah ketika tidak diimbangi batas kualitatif. Batas kuantitatif ini merujuk kepada bagaimana kondisi perempuan yang akan dinikahi, apa masih gadis atau tidak (hilang mahkota perawannya) seperti perempuan yang telah dicerai suaminya atau janda. Dalam batas ini, maka pernikahan pertama bisa dilakukan dengan seorang perempuan dalam kondisi apapun. Namun, dalam pernikahan selanjutnya, harus melihat keadaan si perempuan (latar keluarga) yang akan dinikahi sesuai ‘konteks’ ayat. Dalam hal ini konteks ayat merujuk pada kondisi yatim (orphans), dengan memakai batas kualitatif, poligami tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, namun hanya bisa dilakukan dengan menikahi perempuan janda yang memiliki anak yatim sesuai dengan konteks ayat.
Artinya bahwa keberadaan poligami mirip sebagai sebuah obat untuk menyembuhkan seseorang yang sedang terkena penyakit. Obat tersebut hanya boleh diminum oleh orang yang terindikasi memiliki penyakit-penyakit yang mengharuskan dia meminum obat tersebut. Jika ada seseorang yang tidak sedang terkena penyakit tapi memaksa meminum obat tersebut maka bisa jadi bukan akan memberikan efek positif melainkan sebaliknya hanya akan memberikan efek negatif.
Keempat; Hak Persaksian dalam Islam.
Keragaman pada diri manusia baik dari segi biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan, telah memberikan inspirasi syariat untuk membuat konsep kesetaraan yang mengakui faktor spesifik perorangan. Seperti ketika hak itu berkaitan dengan perempuan lalu menempatkannya pada tabiat keperempuananya, menyesuaikan posisinya dalam komunitas dan obyeknya dalam kegiatan sosial masyarakat. Kesetaraan ini bukan dengan memberikan perlakuan sama kepada setiap manusia yang memiliki kebutuhan berbeda, melainkan dengan memberikan perhatian sama kepada seluruh manusia agar kebutuhannya yang sesuai dengan masing-masing individu dapat tercapai. Dan memang demikian keragaman hak manusia yang diatur dalam yurisprudensi Islam. Secara empiris, keadilan syariat Islam terletak dalam ketetapannya yang sesuai dengan kondisi aneka macam karakter yang menjadi bagian integral dari wujud insan itu. Seorang perempuan tentunya dibedakan dengan laki-laki perihal persaksiannya mengenahi tindak perbuatan yang menjadi bagian komunitas pria dan dalam kehidupan secara umum.
Oleh karenanya, hak persaksian kaum perempuan menurut Islam tidak sekedar merujuk pada redaksi-khithâb al-Qur’an atau hadits, akan tetapi fokus utamanya adalah memberikan perhatian dan kehormatan yang sama kepada manusia, sedangkan perlakuan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks masing-masing individu.
Mengenai pembagian job persaksian, telah terklasifikasi menjadi dua macam: 
Pertama, persaksian dalam suatu perbuatan yang berhubungan dengan hak Allah. Dalam penanganan kasus ini dibutuhkan persaksian dari jenis laki-laki. Tidak direkrutnya kaum perempuan dalam menguak tindakan yang bersinggungan dengan hak Allah ini dikarenakan tabiat perempuan rentan dengan kekeliruan dan mudah lupa. Sementara prinsip utama dalam kasus yang bersinergi dengan hak Allah ini adalah ihtiyath, meminimalisir kesalahan. Akhirnya untuk mewujudkan kebenaran tindakan kasus manusia, cara seperti itu yang semestinya diafirmasi. Spesifikasi kebutuhan jumlah saksi dalam hak Allah terbagi tiga macam:
(1) persaksian atas perbuataan zina  membutuhkan empat saksi laki-laki. Dasar hukum ini adalah QS. al-Nisa’: 15; “Dan (terhadap) para perempuan yang mengerjakan perbuatan keji, hendaknya ada empat orang  saksi diantara kamu (yang menyaksikannya).” Didukung pula oleh surat al-Nur: 4 & 13; tentang susunan tertib saksi yang harus dimiliki oleh penuduh perbuatan zina (qadzf). Jika penuduh tidak bisa menghadirkan empat saksi pria, maka dia akan dijatuhi sanksi jilid.
(2) persaksian berkaitan dengan segala bentuk kejahatan yang berhubungan dengan hak Allah selain zina, seperti murtad, perampokan, pembunuhan, menkonsumsi minuman terlarang, dan mencuri. Persaksian dalam menindak kasus ini membutuhkan dua orang laki-laki. Ketentuan dua saksi ini berdasarkan firman Allah swt., surat al-Baqarah: 282 yang menyatakan: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antara mu).” Ayat ini didukung oleh QS. al-Thalaq: 2 yang menegaskan: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” Nabi juga bersabda: ‘‘(Mendatangkan) dua orang saksimu atau sumpahnya (pelaku)”. Semua persaksian untuk mengungkap tindakan tersebut hanya merekrut golongan pria. Seperti statemen yang pernah diungkapkan oleh al-Zuhri bahwa ‘‘Sunnah Nabi telah mencatat akan ketidakbolehan perempuan menjadi saksi dalam hukuman hudud.
(3) persaksian hilal bulan Ramadhan. Dalam hal ini dicukupkan satu orang saksi karena berlandasan dalil naqli Hadîts yang menginformasikan bahwa Abdullah ibnu Umar berkata: ‘‘ada beberapa orang mengaku telah melihat hilal Ramadhan. Kemudian dilaporkan pada Nabi bahwa saya (ibnu Umar) telah menyaksikannya. Seketika itu Nabi berpuasa dan memerintahkan umat Muslim untuk melaksanakan ibadah puasa”.
Kedua, hak adami; segala tindakan manusia yang berinteraksi secara horizontal. Persaksian dalam masalah ini merekrut laki-laki dan perempuan. Perekrutan perempuan dalam persaksian di sini karena mempertimbangkan terdapat beberapa kasus yang berpotensi bisa diketahui golongan perempuan. Dalam mengungkap tindakan yang berinteraksi secara horizontal juga terbagi menjadi tiga macam:
(1) Persaksian yang dibutuhkan untuk mengungkap tindakan yang umum diketahui mayoritas orang, seperti kasus cerai (thalaq), masuk-keluar agama Islam, dan wakaf. Perihal persaksiannya melibatkan dua orang saksi laki-laki. Alasan ini berdasarkan syari’at yang secara konkrit telah menjelaskan bahwa, persaksian dalam pernikahan, perceraian, dan wasiat harus menghadirkan dua saksi laki-laki. Kemudian dalam perbuatan lain, yang statusnya sama dengan masalah di muka namun belum ditetapkan dengan jelas, ditetapkan melalui metode qiyâs. Sebagaimana dalam kasus thalaq, Allah swt. telah menjelaskannya mengenai kebutuhan syahâdah dalam QS. al-Thalaq: 2 yang artinya: “Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kalian.
Adapun terkait dengan washiyat, Allah swt. menjelaskan dalam  QS. al-Ma’idah: 106,: “Hai orang-orang yang beriman, apabila seseorang diantara kalian menghadapi kematian, sedang dia mau berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kalian.”
Demikian pula dengan Nabi, beliau menginformasikan keharusan jumlah persaksian dalam pernikahan melalui sabdanya: “Tidak ada pernikan yang dianggap sah, kecuali hadirnya wali dan dua saksi laki-laki.”
Masih banyak dalil yang menerangkan jumlah saksi dalam kasus-kasus lain. Kupasan tuntas masalah ini telah dijelaskan secara luas dalam babnya (baca: Syahâdah).
(2) Bentuk interaksi sosial yang memiliki maksud komersil. Dalam penyelesaian kasus ini harus hadir dua orang saksi laki-laki, atau satu orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi perempuan, atau bisa juga satu laki-laki dengan sumpah dari pihak penuduh. Kasus-kasus yang masuk dalam bagian ini seperti: jual-beli, iqâlah (pembatalan persetujuan/akad), hiwâlah (peralihan hutang pada orang lain yang masih ada tanggungan membayar), konpensasi (dhamân), persewaan, dan lain-lain. Keputusan itu dijelaskan oleh QS. al-Baqarah: 282,: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki, jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh satu orang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”
            (3) Permasalah intim kaum perempuan; yakni segala sesuatu yang menjadi urusan kaum hawa (the secret of woman), sehingga kebanyakan yang tahu pun dari golongannya sendiri. Dalam syahâdah-nya ditentukan dua orang saksi laki-laki atau bisa dengan satu saksi laki-laki bersama dua saksi perempuan. Jika tidak ada seorangpun laki-laki, maka bisa dengan menghadirkan empat saksi perempuan. Contohnya dalam hal kelahiran seorang anak, penyusuan, keperawanan perempuan (bikârah), dan sejumlah kecacatan fisik kaum perempuan.
Dasar hukum persaksian kaum hawa ini adalah Hadîts riwayat Abi Syaibah. Dia menegaskan; ‘‘Dalam catatan kehidupan Nabi, beliau melegislasi kesaksian kaum perempuan dalam tindak-tanduk yang hanya diketahui oleh kaum perempuan, seperti melahirkan, kecacatan fisik perempuan, dan lain sebagainya’’. Dengan demikian, persaksian seorang perempuan hanya dalam menentukan tindak perbuatan yang berinteraksi secara horizontal, dan sebatas bentuk interaksi sosial yang berdimensi materialistik, serta perbuatan intim perempuan yang jarang diketahui selain jenisnya.
Sekilas, seakan-akan ketentuan dalam persaksian ini diskriminatif, karena perempuan hanya mendapatkan porsi sedikit dibanding laki-laki. Namun secara kontemplatif, para pakar hukum Islam telah merasionalkannya bahwa hal tersebut diakibatkan perempuan kurang mampu melaksanakan idealisme kesaksian, karena pelupa dan peranannya dalam struktur sosial sangat rendah. Rasionalisasi ulama tersebut sebenarnya cukup realistis, sebab menurut Charles Darwin dalam bukunya The Descent of Man disebutkan, perbedaan antar jenis mempengaruhi perbedaan dalam “ukuran”, “kekuatan”, “pikiran”, dan lain-lain. Teori Darwin, mengenai perbedaan jenis kelamin ini, kemudian dikaji dan dipustakakan secara intensif dalam hal aplikasinya oleh Carl Degler. Degler menyitir pendapat William Thomas dalam artikelnya yang dipublikasikan pada tahun 1897, yang mengatakan otak perempuan lebih kecil daripada otak pria. Bahkan teori Darwin dipercayai oleh ilmuan perempuan, M.A. Hardaker, yang menulis di majalah Popular Science Monthly (1882), bahwa perempuan mempunyai kemampuan berpikir dan kreativitas yang lebih rendah daripada pria. Begitu pula Edward Thordike yang percaya akan kemampuan alamiah pria yang lebih unggul di atas perempuan, dengan berpendapat ‘‘walaupun anak laki-laki dan perempuan diberikan lingkungan yang sama.’’ Ia mengantisipasi insting perbedaan seksual akan tetap ‘‘menghasilkan perbedaan kemampuan mental dan aktifitas antara laki-laki dan perempuan’’.
Keadaan biologis manusia dianggap dapat mempengaruhi tingkah laku manusia. Pengaruh ini dapat disebabkan oleh keadaan fisik maupun fisiologi manusia. Mereka yang berorientasi biologis mengatakan faktor genetis yang membentuk differensiasi peran antara pria dan perempuan adalah faktor dimorphism seksual yang terdapat dalam homo sapiens. Mungkin perbedaan fisik antara pria dan perempuan sangat kelihatan jelasnya. Di samping itu perbedaan fisik akan memberikan implikasi yang signifikan pada kehidupan publik perempuan, sehingga perempuan lebih sedikit perannya dibandingkan pria. Malahan ada seorang psikolog terkenal pada awal tahun 1900-an di AS, seorang presiden Clark University, menyatakan bahwa perbedaan ilmiah antara pria dan perempuan perlu dituangkan dalam kebijakan pendidikan tinggi untuk perempuan. Masih menurutnya, mengingat ada perbedaan biologis antara pria dan perempuan, maka memberikan pendidikan yang sama kepada kedua jenis kelamin adalah tidak tepat.
Analisis perihal kecakapan dan ruang peran antara laki-laki dan perempuan telah lama terdeteksi sejak kedatangan Islam. Meskipun sekarang banyak penelitian yang menginformasikan keberagaman biologis mempengaruhi kecakapan berpikir dan peran sosial, namun secara mendasar telah disinyalir sejak kelahiran syariat Islam. Salah satu contoh kecilnya adalah dalam pengadilan yang seyogyanya membutuhkan kesaksian akurat, obyektif, dan kekuatan otak. Secara jujur sebenarnya Islam telah menunjukkannya, namum kadang ketetapan Islam tersebut dianggap miring oleh sebagian pihak hanya karena alasan penuh kepura-puraan, yakni kesetaraan antara pria dan perempuan. Kendati yang dibutuhkan bukan masalah jenis kelamin, tapi obyektifitas dan validitas kesaksiannya.

G. Penutup
Yang harus terus diyakini, manusia dihadapan Allah swt. itu sama, dan yang membedakan hanya kadar frekwensi iman dan ketakwaannya. Superioritas laki-laki, jika dianggap begitu, bukan diproyeksikan untuk menindas perempuan tapi justru untuk melindungi.
Perbedaan kultural yang mengakibatkan perbedaan gender dalam masyarakat antara kaum la
ki-laki dan kaum perempuan seyogyanya tidak dijadikan satu alat untuk saling mengklaim kekuasaan dan menindas kaum lainnya. Dengan satu asumsi yang sangat simpel bahwa kekuatan dan superioritas yang dimiliki satu pihak bukanlah sesuatu yang tidak bisa dipindahkan ke pihak lain karena keberadaannya yang berkelindan dengan sosio kultural tertentu. Jadi bisa saja di satu tempat perempuan memiliki nilai superior dalam satu sisi dan di tempat lain superioritas dari sisi tersebut justru dimiliki oleh kaum laki-laki.

H. Daftar Pustaka

Buthi, Said Ramadhan, Al-Mar’ah Baina Tughyan al-Nidzam al-Gharbi wa Lathaif al-Tasyri’ al-Rabbani, Beirut; Dar al-Fikr, 2008
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Trasformasi Sosial, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2007
Imarah, Muhammad, al-Tahrir al-Islami li al-Mar’ah, Cairo; Dar al-Syuruq, 2001
Jum’ah, Ali, Al-Mar’ah fi al-Hadhoroh al-Islamiyah, Cairo; Dar as-Salam, 2006
Tong Putman, Rosemarie, Feminist Thought: A More Comprehenship Introduction, Second Edition, dialih bahasakan oleh Aquarini Priyatna Prabasmoro dengan judul Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, Yogyakarta; Jalasutra, 1998
Umar, Nasarudin, dan kawan-kawan, Bias Jender dalam Pemahaman Islam, Yogyakarta; Gama Media, 2002
Baca SelengkapnyaFeminisme dan Islam
 
;