Selasa, 18 Juni 2013 0 comments

Hak Politik Wanita Dalam Islam

A. Prolog 

Dalam kajian Islam, permasalahan gender dan segala hal yang berhubungan dengan hak wanita menjadi salah satu pembahasan penting. Hal ini dikarenakan banyak ditemukannya masalah-masalah yang diangap bias gender, tidak menghormati hak-hak wanita. Para pengkaji di kalangan luar Islam sering menjadikan isu-isu tersebut sebagai senjata untuk mengkritisi dogma islam. Mulai dari hak kebebasan interaksi wanita, hak warisan, hak politik, dan lain sebagainya. Mereka lalu menyerukan semangat emansipasi wanita dan persamaan hak antara lelaki dan wanita sebagai ganti dari dogma teks yang dianggap tidak sesuai lagi dengan semangat zaman. Dari sekian banyak permasalahan tersebut saya akan mencoba menganalisis satu masalah yang cukup penting dalam masa kini yaitu permasalahan hak kepemimpinan wanita dalam berpolitik dan bermasyarakat. 

B. Rumusan Masalah 

Pada kesempatan kali ini ita akan mencoba mengkaji dan menganalisis permasalahan kepemimpinan wanita dalam Islam. Salah satu hak manusia yang harus dijaga dan dihormati adalah hak untuk dipilih menjadi seorang pemimpin baik lelaki maupun wanita. Islam menjadi salah satu agama yang dikritik oleh banyak kalangan pemikir luar karena terdapat salah satu dogma teksnya yang seakan-akan meghalangi hak tersebut dan membatasi aktivitas wanita sebagai seorang pemimpin. Salah satu teks yang menjadi sorotan adalah Hadits nabi yang berbunyi “ma aflaha qoumun walau amruhum imroatun” (tidak akan pernah berjaya dan sejahtera sebuah masyarakat yang dipimpin oleh seorang wanita). 

Menurut sebagian kalangan, hadits ini merupakan bukti bahwa Islam tidak pernah mengapresiasi hak-hak wanita dalam kehidupannya. Hadits itu membuktikan bahwa hak menjadi pemimpin dan memegang kekuasaan telah dikebiri oleh Islam. Padahal kita tahu bahwa salah satu dari hak asasi manusia yang harus dijaga dan dihormati oleh setiap orang adalah hak untuk dipilih menjadi pemimpin dan hak untuk mengelola sesuatu yang menjadi tangungjawabnya. 

Gambaran utuhnya menjadi lebih jelas ketika makna dari hadits tersebut ditarik pada arah kekuasaan birokratif dalam masyarakat. Dengan mengunakan dalil hadits inilah para ulama memberikan hukum haram kepada wanita yang ingin menjadi pejabat publik dan pemerintahan. Menurut mereka hadits ini menunjukan bahwa Rosul melarang wanita menjadi pemimpin satu kaum atau kelompok karena kepemimpinannya bisa berakses negatif pada kemunduran satu kaum. Teks-teks fikih para ulama mencatat bahwa kepemimpinan seorang wanita dalam jabatan publik tidak diperbolehkan bahkan mereka mesyaratkan seorang pejabat publik harus berasal dari kalangan lelaki (adz-dzukuroh) bukan wanita. Hal ini tentu bertolak belakang dengan semangat demokrasi dan sistem tatanan masyarakat modern dimana setiap orang baik lelaki maupun wanita mempunyai hak yang sama untuk menjadi pejabat publik selama dia mempunyai kemampuan di dalamnya. Al-hasil hadits ini menjadi salah satu titik lemah yang dijadikan alat untuk megkrikitk dan menyerang Islam dari segi dogmatis ajarannya. 

C. Studi Analisis Hadits sebagai Penyelesaian 

Kata “wilayah” dalam hadits di atas secara etimologi berarti kekuasaan (sulthon); kepemimpinan (al-nushroh). Mayoritas umat Islam sejak masa risalah hingga sekarang mengakui “kekuasaan wanita” yang bersifat umum. Wanita mempunyai kekuasaan penuh atas jiwa dan tubuhnya sendiri, wanita juga mempunyai kekuasaan penuh atas harta yang dipunyainya sendiri. Wanita mempnyai kekuasaan untuk menentukan dan memilih lelaki yang akan dijadikan suaminya. Dari beberapa contoh kekuasaan tersebut sebenarnya membuktikan bahwa Islam memberikan porsi “wilayah” kepada wanita dengan porsi yang sama dengan lelaki. 

Akan tetapi permasalahan menjadi komplek ketika kata “wilayah” dianalisis secara terminologi ilmu Islam. Di sana kemudian akan terjadi pembagian “wilayah” menjadi dua yaitu “al-wilayat al-khossoh” atau (kekuasaan khusus/pribadi) dan “al-wilayat al-‘ammah” atau (kekuasan publik/birokratif). Dalam “al-wilayat al-khossoh” atau (kekuasaan khusus/pribadi) hak kekuasaan wanita diberikan dalam porsi yang sama dengan lelaki mengacu pada satu hadits nabi “kullukum ra’in wa kullukum masulun ‘an ro’iyyatih, fa al-amiru aladzi ‘ala al-nasi ro’in ‘alaihim wa huwa masulun ‘anhum, wa al-rojulu ro’in ‘ala ahli baitihi wa huwa masulun ‘anhum, wa al-mar’atu ro’iyatun ‘ala baiti ba’liha wa waladihi wa hiya masulatun ‘anhum, ala fa kulukum ro’in wa kullukum masulun ‘an ro’iyyatihi” . Seorang wanita mempunyai kekuasaan atas dirinya sendiri, atas rumahtangganya, anak-anaknya, dan hartanya. Kekuasaan wanita yang sifatnya khusus dan pribadi dalam Islam tetap diakui secara penuh dan utuh. 

Akan tetapi dalam “al-wilayat al-‘ammah” atau (kekuasan publik/birokratif) wanita sangat dibatasi aksesnya. Mayoritas ulama ahli fikih tidak memperboehkan wanita menjadi pejabat publik terlebih lagi menjadi pemimpin satu kaum atau negara (al-imamah al-‘udhma). Di sinilah letak permasalahan yang menjadi titik lemah dari dogma Islam terhadap wanita. Untuk mengkaji kesahihan dan kelayakan hadits tersebut pada zaman sekarang saya akan mencoba menganalisis hadits tersebut baik dari segi esensi hadits (riwayah wa diroyah) maupun dari segi sosio historis yang melatarbelakangi terjadinya hadits tersebut (asbab al-wurud) kemudian mengkontekstualisasikan hadits tersebut pada masa kekinian. 

Dari segi esensi hadits sebenarnya hadits tersebut diriwayatkan dalam berbagai versi melalui beberapa “rowi” (penyampai hadits) yang berbeda-beda. Diantara teks hadits yang serupa dengan hadits diatas adalah sebagai berikut: “lan yaflaha qoumun tamlikuhum imroatu” ada juga “lan yaflaha qoumun wa lau amruhum imroatun” ada juga dengan redaksi “lan yaflaha qoumun asndu amrahum ila imroatin”. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh para ahli hadits yang terkenal dapat dipercaya (tsiqqoh) dan secara ilmiyah dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Dengan banyaknya riwayat dari hadits tersebut bisa dipastikan hadits tersebut sahih dari segi periwayatannya (riwayatan) akan tetapi menyisakan satu pertanyaan dan permasalahan dari segi esensi makna hadits (diroyatan) karena isi dari hadits tersebut dinilai tidak sesuai dengan semangat kekinian pada masa sekarang. 

Dari segi sosio historisnya (asbab al-wurud), hadits ini berawal dari cerita ketika ada sekelompok orang dari negara Persia yang berkunjung ke Madinah. Kemudian Rosulullah bertanya kepada meraka, “siapa yang sedang berkuasa di negara Persia?” lalu salah satu dari mereka menjawab “seorang wanita” kemudian Rosulullah mengomentari kembali “tidak akan pernah sejahtera dan berjaya satu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita”. 

Dari analisis historis dapat kita simpulkan bahwa maksud dari hadits teresebut adalah mengenai kekuasaan wanita dalam ranah publik atau birokrasi (al-wilayat al-‘amah) seperti pemimpin negara atau pemerintahan. Dalam hadits tersebut menceritakan tentang seorang wanita yang menjadi ratu dari negara Persia. Pada kala itu mayoritas ahli fikih membolehkan seorang wanita menjadi pejabat publik akan tetapi terbatas dalam lingkup yang lebih khusus seperti menjadi pemimpin desa (qoryah), pemimpin provinsi (aqolim), dan pejabat publik lainnya yang sifatnya masih kecil (juziyyah). Akan tetapi mereka sepakat untuk pemimpin central satu negara atau imamah atau dalam masa kini setara dengan presiden maka disyaratkan harus seorag lelaki tidak boleh wanita. 

Yang harus kita ketahui adalah alasan hukum dari ketidakbolehannya seorang wanita menjadi seorang imamah dalam satu negara. Alasan yang melatarbelakangi hukum tersebut adalah karakteristik kultural masyarakat pada zaman itu yang menjadikan seoarang imamah sebagai sebuah kekuasaan yang bersifat sentralistik. Ciri kekuasan kala itu yang bersifat sentralistik mengharuskan seorang imamah menguasai berbagai bidang dan mempunyai kekuatan mental yang tangguh. Seorang imamah secara otomatis bukan hanya menjadi pemimpin pemerintahan politik saja tetapi dia juga merupakan pemimpin agama, imam solat, dan pemimpin angkatan perang. Beban yang begitu berat menjadikan ciri kepemimpinanya lebih condong ke arah lelaki dari pada ke arah wanita. 

Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, sistem pemerintahan sentralistik sudah tidak digunakan lagi dan kini berubah menjadi sistem kekuasaan birokrasi yang sistematis dan desentralis. Sistem kekuasaan dalam satu negara kini terbagi-bagi menjadi bagian-bagian tertentu yang lebih spesifik ditambah dengan pengambilan keputusan yang harus melibatkan birokrasi parlement. Pembagian-pembagian kekuasaan dalam sistem pemerintahan modern menjadikan seorang presiden tidak mempunyai kekuasaan penuh dalam satu negara dan itu juga berarti tugas dan tanggungjawab yang diembannya lebih ringan dibandingkan dengan sistem kepemimpinan sentralistik. Misalnya saja dalam sistem birokrasi demokratif dimana kekuasaan agama diserahkan pada instansi-instansi keagamaan masing-masing begitu juga dengan kekuasaan militer yang terpisah dari kekuasaan politik pemerintahan. 

Dengan analisis seperi di atas, maka ‘Illat atau alasan hukum tidak diperbolehkannya seorang wanita menjadi imamah atau presiden satu negara menjadi batal dan tidak berlaku lagi. Sehingga hak seorang wanita untuk menjadi pemimpin satu negara sekarang ini tetap terbuka dan tidak terhalangi oleh hadits tersebut dalam dunia Islam. Rancang bangun sistem pemerintahan antara konteks dimana hadits tersebut turun dengan konteks kekinian mengharuskan adanya perubahan hukum di dalamnya. Dengan begitu kontekstualisasi hukum dalam studi hadits tersebut telah menemukan muaranya dalam menjunjung tinggi nilai kemaslahatan. 

D. Epilog 

Demikian paparan mengenai studi kakus dalam permasalahan hak wanita dalam kepemimpinan. Dari kesimpulan analisis tadi dapat dikatakan bahwa asumsi dan stigmatisasi negatif atas Islam yang sering dikatakan sebagai agama yang sering memarginalkan hak-hak wanita tidaklah benar. Perlu diadakan observasi terhadap permaslahan-permasalahan wanita yang selama ini dianggap sebagai dogma negatif ainklusif. Karena dihawatirkan bukan dogmanya yang sebenarnya bermasalah, akan tetapi cara pembacaan dan paradigmanya yang sudah tidak sesuai degan kontekstual masa kini sehingga perlu diperbarui paradigmanya.
Baca SelengkapnyaHak Politik Wanita Dalam Islam
0 comments

Superioritas Tuhan atau Manusia [?]



Beberapa hari yang lalu selepas diskusi singkat tentang ilmu kalam di satu kelas, tiba-tiba ada beberapa orang yang mulai mengernyitkan kening. Dalam hal ini “galau” adalah ketika kita sedang asyik masyuq membicarakan sesuatu tapi terpaksa harus disudahi karena tak ada waktu lagi. Waktunya sudah habis, sudah terlalu sore, kasihan anak-anak juga suami atau istri di rumah. Akhirnya beberapa orang pulang dengan membawa oleh-oleh kegalauan berupa pertanyaan-pertanyaan yang sliwar-sliwer di pikiran. 

Esok harinya, mungkin karena tak sabar dan kelewat gemas, ada salah seorang menulis dalam group “tentang Qodar mu’allaq, kalau memang benar apakah berarti Allah menggantungkan irodah-Nya kepada af’alul ‘ibad?”. Mendapati pertanyaan itu, tentu saja saya sangat senang karena obrolan kemarin sore membawa kegelisahan sampai sekarang. 

Ada semacam anekdot tentang Jabariyah “kalaupun aku mencuri, membunuh, mabuk, dan berbuat kesalahan yang lain, kau tak boleh menghukumku karena sebenarnya apa yang kulakukan adalah buatan dari Tuhan. Tuhan yang menciptakan semua gerak-gerik aktifitas manusia, apa kau berani menyalahkan buatan Tuhan?”. Di tempat yang lain Qodariyah menjawab dengan anekdot yang tak kalah menarik “mana boleh kau menyalahkan Tuhan atas perbuatan dosa dan salah yang kau lakukan? Ini sama sekali tak ada hubungannya dengan Tuhan, yang kau lakukan adalah buatanmu sendiri bukan Tuhan”. 

Lalu bagaimana ini? Apakah Tuhan benar-benar maha “super” sehingga dialah yang menciptakan semua gerak-gerik manusia, yang baik juga termasuk yang buruk. Ataukah Tuhan cukup menciptakan manusianya saja lalu membebaskan manusia untuk menciptakan gerak-geriknya sendiri sehingga manusia bebas ikhtiyarnya?. Kalau yang pertama, lalu apa gunanya Tuhan memberikan taklif kepada manusia untuk manut kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? Apa gunanya Tuhan menyediakan reward (ganjaran, hadiah) berupa pahala dan syurga juga memberikan punishment (hukuman, siksa) berupa neraka kalau memang semua aktifas manusia sebenarnya adalah buatan Tuhan. Tapi kalau yang yang kedua, lalu dimana letak sifat “kuasa” dari Tuhan? Apakah itu tidak mengurangi “superioritas” Tuhan itu sendiri?. 

Qodho adalah “pengetahuan Tuhan tentang apa yang terjadi pada manusia dan apa yang menjadi gerak-geriknya. Baik dalam hal yang bersifat mukhoyyar maupun musayyar”. Pengetahuan Tuhan tentang apa yang akan saya lakukan (misalnya) dan kejadian apa yang akan menimpa saya baik di masa lampau maupun yang akan datang. Pengetahuan Tuhan ini yang dituliskan dalam sebuah kitab khusus yang hanya Tuhan yang tahu (lauh al-mahfudz) dinamakan dengan Qodho. Sedangkan Qodar adalah “terjadinya pengetahuan Tuhan tersebut pada manusia persis seperti yang diketahui oleh Tuhan sebelumnya”. Ketika Tuhan telah mengetahui bahwa saya akan mati di hari sabtu jam sekian pada tahun 2020 misalnya , maka pengetahuan itu dinamakan Qodho. Sedangkan ketika pada hari, jam, dan tahun tersebut saya benar-benar mati, maka terjadinya mati itulah nanti yang disebut dengan Qodar. 

Dari pengertian Qodho dan Qodar di atas kita akan mencoba menjawab kegelisahan yang selama ini ada di benak kita dengan menganalisa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan permasalahan tersebut. 

Pertanyaan pertama: apakah ada hubungan antara Qodho Tuhan dengan pikiran “Jabariyah” kita? Apakah kita boleh mengatakan “Tuhan telah menakdirkan (menuliskan) saya untuk berbuat seperti ini, jadi saya bukan orang yang bebas berkeinginan dan memilih untuk melakukan sesuatu, jadi yang saya lakukan ini bukanlah pilihan murni saya?”. 

Jawabannya adalah “tidak”. Tidak mungkin manusia menjadikan Qodho sebagai alasan dari apa yang telah dia lakukan, jadi pertanyaan tersebut tidak dapat dibenarkan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa Qodho adalah pengetahuan Tuhan tentang segala sesuatu yang akan terjadi di dunia. Pengetahuan Tuhan ini tidak dapat kita jadikan alasan atas perbuatan kita. Tuhan menciptakan manusia, kemudian menganugrahinya dengan akal dan hati, memberinya kekuatan untuk menentukan pilihan melalui akal dan hati tersebut. Lalu sebagai Tuhan sang Pencipta maka sudah seharusnya dia mengetahui apa yang akan terjadi dan menjadi pilihan manusia yang diciptakan-Nya. Tuhan sejak saat itu mengetahui kapan kita akan taat kepada-Nya, kapan kita akan melakukan maksiat dan lain sebagainya. Kemudian menuliskannya dalam Lauh al-Mahfudz. Lalu apakah pengetahuan Tuhan sejak awal atas apa yang akan terjadi pada kita dapat menunjukkan bahwa kita dipaksa oleh Tuhan untuk melakukan sesuatu? Apakah boleh kita menyalahkan Tuhan atas perbuatan buruk kita (yang kita lakukan dengan sadar dan atas pilihan kita sendiri) dengan alasan Tuhan sudah mengetahui perbuatan itu akan terjadi pada kita sejak awal mula?. 

Untuk lebih jelas lagi, mari kita analisis dengan menggunakan analogi kehidupan yang terjadi pada manusia secara langsung. Ada seorang guru di sebuah sekolah dia mempunyai satu murid. Dengan analisanya sang guru memperkirakan murid ini akan gagal mengerjakan soal tes. Karena sang guru sudah sangat hafal dengan kemampuan, dan sifat-sifat malas sang murid. Maka sejak dari awal sang guru sudah tahu bahwa si murid akan gagal mengerjakan soal tes tersebut. Kemudian pada akhirnya setelah mengerjakan soal, si murid benar-benar gagal mengerjakan soal tersebut. Lalu apakah si murid ini boleh mengatakan kepada gurunya “dikarenakan bapak guru sudah mengetahui dari awal bahwa saya adalah pemalas, dan saya akan gagal maka bapak gurulah yang menyebabkan saya malas dan saya gagal. Maka bapak tidak boleh menghukum kegagalan saya karena saya tidak punya pilihan lain selain malas dan gagal”. Seandainya si murid benar-benar mengatakan itu, maka saya yakin sang guru pasti akan memberikan hukuman tambahan. Begitu pula kita tidak boleh menyalahkan Tuhan atas apa yang kita lakukan dengan alasan bahwa Tuhan sejak awal sudah mengetahui dan menuliskan apa yang akan terjadi pada kita. 

Pertanyaan ke dua: “aktifitas (gerak-gerik) yang keluar dari manusia ketika solat atau ketika minum arak, siapakah yang menciptakan? Bukankan Tuhan yang menciptakan segala sesuatu? Jika jawabnya “Iya”, maka perbuatan solat seseorang yang menciptakan adalah Tuhan begitu juga perbuatan minum arak manusia Tuhan juga yang menciptakan. Kemudian persoalannya bagaiamana bisa Tuhan mengadili perbuatan yang sebenarnya Dia sendiri yang menciptakan?”. 

Mari kita analisa pertanyaan yang kedua ini. Tuhan memang yang menciptakan semua gerak aktifitas manusia. Maksudnya adalah bahwa ketika kita menulis, Tuhanlah yang menggerakkan tangan kita untuk bisa memegang pensil lalu menggerakkannya untuk menulis. Tuhan pula yang memberikan kekuatan pada otot tangan kita untuk bisa bergerak. Dari situ kita mengatakan bahwa aktifitas menulis kita adalah Tuhan yang membuat. Akan tetapi meskipun Tuhan yang menciptakan gerak aktifitas manusia tapi hal itu tidak berarti tuhan mewujudkannya dari keadaan tidak ada menjadi ada (la yusawi wiladatal fi’li aw la yusawi dhuhurul fi’li minal ‘adam ilal wujud). Harus ada penyebab, pendorong (dafi’) terjadinya gerak aktifitas tersebut. Dafi’ inilah yang nanti secara materiil kita sebut dengan perangkat akal dan hati tetapi secara non materiil kita sebut dengan istilah “keinginan” (raghbah, ‘azm, niyyah, maqsud). Keinginan seseorang (dari akal dan hatinya) untuk melakukan kebaikan, solat, puasa, dll. Keinginan seseorang untuk melakukan keburukan, mabuk, berjudi, dll. Keinginan atau raghbah tersebutlah yang menjadikan aktifitas gerak itu menjadi ada. 

Lalu dimanakah peran Tuhan dalam aktifitas gerak tersebut? Peran Tuhan adalah memberikan inbi’ats kekuatan dalam tubuh manusia untuk bergerak sesuai dengan keinginan dan niat seseorang. Manusia oleh Tuhan diberikan kebebasan dan kekuatan untuk menentukan raghbah, keinginannya masing-masing, sedangkan Tuhan hanya menggerakkan tubuhnya sesuai dengan keinginan tersebut. Ketika manusia mempunyai keinginan, niat untuk melakukan kebaikan, dan keinginan itu semakin besar maka Tuhan memberikan kekuatan pada tubuhnya untuk mendukung gerak menuju kebaikan tersebut. Sebaliknya, ketika manusia mempunyai keinginan, niat untuk melakukan keburukan, dan semakin besar keinginan itu, maka Tuhan memberikan kekuatan pada tubuhnya untuk mendukung gerak menuju keburukan tersebut. 

Dan yang akan dihitung, diadili di hari kiamat nanti bukanlah aktifitas gerak manusia secara langsung akan tetapi raghbah, azm manusia, keinginan, dorongan, pilihan manusia yang menyebabkan terjadinya aktifitas tersebut secara langsung. Rahgah, azm, pilihan manusia inilah yang akan dijadikan patokan diberikannya pahala bagi manusia yang melakukan kebaikan dan juga patokan diberikannya hukuman bagi manusia yang melakukan keburukan. Maka bisa dikatakan yang menciptakan gerak keburukan (secara langsung) manusia adalah Tuhan, akan tetapi yang menciptakan keinginan, raghbah, azm untuk melakukan keburukan tersebut adalah manusia sendiri melalui akal dan hatinya. Maka kita tidak bida menyalahkan Tuhan lagi atas perbuatan buruk kita karena yang sebenarnya akan diadili adalah raghbah yang kita ciptakan sendiri secara sadar. Di sinilah mengapa pertanyaan yang kedua ini menjadi sangat salah dan kita telah menemukan jawabannya. 

Bahkan ketika kita merujuk kepada ayat-ayat dalam al-Qur’an kita akan menemukan bahwa yang dijadikan patokan pahala dan siksa bukanlah aktifitas manusia secara langsung (fi’li) akan tetapi niat, azm, raghbah, dan keinginan yang menyebabkan aktifitas itu terjadi (kasb). Ayat-ayat yang membicarakan mengenai hal ini selalu menggunakan kata kasb bukan menggunakan kata fi’li. Seperti pada banyak ayat yang diakhiri dengan kalimat “.....bi ma kuntum taksibun” atau ayat “laha ma kasabat wa ‘alaiha maktasabat” atau ayat “kullu nafsin bima kasabat raghinah” dan masih banyak ayat lainnya. 

Untuk lebih meyakinkan analisa tentang ini, mari kita buat analogi yang mudah dan sering terjadi pada kehidupan manusia. Ada kaidah bahwa yang akan mendapat hukuman dan menjadi patokan untuk memberikan hukuman adalah maksud, niat, dan keinginan seseorang bukan perbuatan seseorang secara langsung. Misalnya ada seseorang lelaki masuk ke dalam kamar seorang pasien dan berpura-pura ingin menjenguknya. Kemudian ketika si pasien sedang lengah, lelaki itu mengganti botol obat yang ada di samping pasien dengan botol lain yang berisi racun lalu lelaki itu keluar dari ruangan. Kemudian si pasien mengambil botol tersebut dan meminum isinya dengan menggunakan tangannya sendiri sampai akhirnya dia keracunan dan mati. Secara dhohir maka yang membunuh si pasien adalah pasien sendiri, karena dialah yang secara langsung menciptakan gerak tangannya untuk meminum racun dalam botol tersebut. Akan tetapi ketika polisi melakukan penyelidikan dan diketahui bahwa yang sebenarnya botol itu diganti oleh seorang lelaki yang menjenguknya tadi, maka keputusannya lelaki itulah yang kemudian diberikan hukuman dan dinyatakan bersalah. Aktifitas pembunuhan secara langsung memang pasien sendiri yang melakukan tapi yang menjadi dasar hukuman adalah niat, modus, yang berada di balik aktifitas yang terjadi itu. 

Jadi, pertanyaan yang ke dua telah berhasil kita selesaikan dengan analisis di atas. Maka pertanyaan ke dua tersebut tidak layak lagi untuk dijadikan hujjah tentang permasalahan ini. Dan secara otomatis dalil Jabarian telah patah dengan analisa tersebut. Pertanyaan ke tiga: “jika memang yang akan diadili adalah iradah, raghbah, niyah, azm manusia, maka siapakah yang menciptakan iradah, raghbah, niyah, azm tersebut? Bukankah Tuhan pula yang menciptakan? Kalau begitu berarti manusia tetap tidak mempunyai kebebasan?”.  

Pertanyaan ke tiga ini terlihat sederhana tapi sangat menyecoh. Mari kita perhatikan dengan jeli. Iradah, raghbah, niyah, azm yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia itu bukan berarti Tuhan mengendalikannya secara penuh dan langsung. Tuhan hanya memberikan alat sebagai wadah iradah, raghbah, niyah, azm tersebut yaitu melalui akal dan hati. Kemudian melalui akal dan hati tersebut Tuhan memberikan kekuatan kepada manusia untuk menentukan pilihan, menentukan keinginan, tanpa ada campur tangan Tuhan. Tentu saja sejak awal Tuhan sudah mengetahui manusia ini akan mengambil keinginan yang bagaimana karena Tuhanlah yang menciptakannya dan Tuhanlah yang maha mengetahui. Tapi itu bukan berarti Tuhan terlibat secara langsung dalam penentuan keinginan manusia tersebut. 

Jadi, jika Tuhan sudah memberikan kita kekuatan untuk menentukan keinginan, mengambil keputusan dengan akalnya, bolehkah kita mengatakan bahwa kita bukan makhluk yang memiliki kebebasan? Kita adalah makhluk yang dipaksa dan dikendalikan penuh oleh Tuhan? Tentu saja tidak bisa kita mengatakan seperti itu. Itu sama saja dengan analogi seperti berikut. Ketika saya memberikan anda uang dan saya tahu bahwa anda akan membelanjakan uang itu untuk mabuk, maka anda mengatakan “saya tidak punya kebebasan untuk berkeinginan dan memilih. Karena uang ini pemberian orang lain dan yang memberikannya ternyata dari awal sudah tahu saya akan melakukan ini dengan uang ini”. Pengetahuan saya atas apa yang akan anda lakukan terhadap uang itu adalah hal lain, dan keputusan anda, pilihan anda untuk membelanjakan uang itu untuk mabuk adalah hal lain lagi. Maka secara tidak langsung uang itu sudah menjadi milik anda dan anda mempunyai kebebasan untuk membelanjakannya tanpa ada campur tangan saya. 

Dengan beberapa pertanyaan di atas dan beberapa analisa jawaban di atas kita bisa menyimpulkan bahwa Tuhan tetap maha “Super” maha kuasa, maha mengetahui, sekaligus maha mengatur semua yang terjadi di alam semesta ini. Dan salah satu tanda dari ke-maha kuasa-an Tuhan adalah dia menganugerahkan akal sehingga manusia dapat mengambil keputusan, membuat pilihan sendiri untuk melukakuan yang baik atau yang buruk. Sehingga suatu saat nanti Tuhan dapat meminta pertanggungjawaban dari keinginan dan cara mengatur keinginan setiap manusia. Sehingga menusia dapat selalu berpacu dan berlomba untuk menaklukkan hatinya dan akalnya agar tetap berada dalam jalan yang diridhoi Tuhan. Kemudian sebagai tanda ke-maha kuasa-an Tuhan yang lain adalah, bahwa setiap keinginan, keputusan, dan pilihan yang kita buat sendiri dengan akal dan hati kita itu sejak dari awal sudah diketahui dan dicatat oleh Tuhan dalam lauh al-mahfudz-Nya. Ini benar-benar tentang “superioritas” Tuhan, tapi bukan berarti manusia tak punya pilihan sama sekali. Wa Allahu A’la wa A’lam bi As-Shawab.
Baca SelengkapnyaSuperioritas Tuhan atau Manusia [?]
Senin, 17 Juni 2013 0 comments

Rajab dan Stiker Mungil



“kalau sampai hari ini doa anda belum terkabul, sudahkah anda menemui Allah dengan tepat waktu?” 

Kalimat di atas adalah bunyi tulisan dari sebuah stiker kecil bergambar seorang lelaki yang sedang menengadahkan tangannya seperti sedang berdoa. Saya menemukan stiker itu tertempel di papan iklan sebuah masjid. Kalimat yang simpel tetapi cukup untuk menyindir dan mencubit hati siapapun yang membacanya. Setebal apapun kulit hatinya pasti akan terasa dan membikin muka merah karena malu. 

Dan tepat disamping kiri stiker tersebut terpasang satu pamflet berwarna hijau daun. Dalam pamflet itu tertulis sebuah pengumuman “hadiri dan ikutilah pengajian rajab setiap malam jum’at ba’da isya’ oleh KH……..”. Keningku makin meninggi, benar-benar rajab yang spesial ditambah stiker yang spesial pula. Karena penasaran, setelah sampai di rumah saya mencoba iseng-iseng membuka salah satu buku di rak meja. Benar saja, banyak hadits yang menceritakan kepada saya tentang keagungan bulan rajab yang sedang kita singgahi ini. 

Rajab, seperti yang banyak ditulis dalam kitab-kitab turats adalah salah satu bulan yang dimulyakan oleh Allah swt (asyhur al-hurum). Dalam kitab yang saya baca itu, Qadhi al-Baidhowi menafsirkan ayat “minha arba’atun hurum” bahwa Allah swt telah menetapkan empat bulan yang dimulyakan, yaitu rajab, dzu al-Qa’dah, dzu al-Hijjah dan Muharram. Karena kemuliaan bulan rajab itu pula banyak riwayat yang menceritakan tentang keutamaan bulan ini. Diantaranya, bahwa barang siapa yang melakukan aktivitas ibadah di bulan ini maka kebaikannya akan dilipat gandakan sampai sepuluh kebaikan. Bahwa barang siapa yang solat sunnah setelah maghrib pada bulan rajab sebanyak dua puluh rakaat maka Allah swt akan menjaganya dari keburukan dunia dan akhirat. Bahwa berpuasa di hari pertama bulan rajab sama seperti menebus kesalahan tiga tahun yang telah lewat, dan seterusnya. Bahkan dalam satu riwayat dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak pernah berpuasa selain di bulan ramadhan kecuali pada bulan rajab dan sya’ban. Tentu saja masih banyak riwayat lain yang menuturkan sederet fadhilah dan keutamaan bulan rajab. 

Maka sangat tidak mengherankan ketika banyak umat Islam, yang bersemangat melakukan puasa di bulan ini, mengadakan majlis ta’lim, pengkajian kitab dan juga pengajian-pengajian rutin. Umat islam memang dianjurkan untuk lebih banyak berdzikir, mendekat kepada Allah, meminta ampunan dengan taubat yang sebenar-benarnya serta memperbanyak aktivitas yang saleh. Maka inilah salah satu waktu dimana Allah membuka pintu rahmat dan maghfiroh lebih lebar kepada umatnya. 

Tentu kemudian ada banyak cara yang bisa dilakukan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Banyak bentuk ibadah, mulai dari puasa, solat, sedekah, dan lain sebagainya. Tapi saya menjadi teringat dengan stiker mungil di awal tulisan tadi. 

“kalau sampai hari ini doa anda belum terkabul, sudahkah anda menemui Allah dengan tepat waktu?”. Kalimat sederhana tersebut seakan mengingatkan kita bahwa selama ini kita kurang sepenuh hati berkomunikasi dengan Allah swt. Solat adalah ibadah paling mudah karena tidak memerlukan modal yang besar, tidak terlalu memberatkan manusia, dan dilakukan dengan serentak. Akan tetapi saking mudahnya terkadang kita malah memudah-mudahkan solat kita. Solat yang menjadi mi’raj manusia dengan Allah adalah sarana komunikasi seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Dan sewajarnya yang berlaku, tingkat kedekatan seseorang paling mudah bisa dilihat dari cara orang tersebut dalam berkomunikasi dengan yang lain. Semakin berkualitas, semakin dekat, semakin mesra seseorang dalam berkomunikasi dengan Tuhannya maka akan semakin mendekat pula Allah swt kepada kita. Jadi, jangan-jangan selama ini doa kita tertunda karena kita yang kurang mesra dengan Allah swt?, kata stiker itu. 

Ibarat seorang manusia, ketika kita sedang dekat dengan seseorang maka kita akan selalu rindu untuk selalu menemuinya. Waktu yang panjangpun terasa singkat jika sedang bersama dengan orang yang didekati. Bahkan ketika dipanggil, baru satu kata sudah buru-buru ingin berangkat seakan tak rela si dia menunggu terlalu lama, seakan takut mengecewakan panggilan si dia. Lalu, sudah seperti itu jugakah hubungan kita dengan Allah swt?. Sepertinya pertanyaan itu yang hendak ditanyakan dalam stiker mungil berukuran post card tersebut. 

Dan ternyata yang kita lihat selama ini jawabannya sangat variatif, bermacam-macam alias warna-warni. Tapi yang hendak disindir oleh stiker itu adalah kebiasaan kita yang tak terlalu dekat saat berkomunikasi dengan Allah swt tapi selalu menuntut yang lebih dari Allah swt. Mungkin masih ada orang yang justru berkeluh kesah saat mendengar kumandang adzan dari mushola-mushola. Bukan mengatakan alhamdulillah malah berucap “duh, kok cepet men wes kudu solat maneh”. Ungkapan yang sama sekali tak mengandung rasa rindu kepada Allah swt, rindu untuk segera menemuni-Nya lagi dengan cara solat. 

Ketika masuk solat pun seperti biasa hanya badan, raga, dan jasmani saja yang menghadap Allah swt. Jiwa, ruh, pikiran entah masih tertinggal dimana dan masih sedang sibuk memikirkan apa. Memang sulit untuk membawa jiwa seutuhnya saat salat. Kekhusyukan yang total hampir mustahil bisa dilakukan oleh manusia biasa. Akan tetapi tentu bisa kita rasakan bagaimana bedanya solat yang memakai perasaan dengan yang asal menggerakkan badan saja. Kenapa kita begitu tergesa-gesa memindah rukun ke rukun yang lain bahkan terkadang sampai tak sempat memenuhi thuma’ninah kita?. Padahal seharusnya kita bisa merasa sangat menikmati tiap rukun dalam solat itu, diam sejenak dan merasakan kenyamanannya. Seperti orang yang tak ingin cepat-cepat berpisah dengan orang yang dirindui. 

Yang lebih aneh lagi, ketika kita suka menunda-nunda solat. Padahal panggilan Allah sudah sangat keras melalui speaker mushola dan masjid. Tidak hanya satu kali, bahkan berkali-kali dan berulang kali dengan suara adzan yang berbeda-beda dari satu mushola ke mushola yang lainnya. Aneh, dipanggil berulang kali oleh Allah swt tidak segera datang dan menghadap tapi kalau manusia yang memanggil langsung berangkat dengan segera. Seperti kita lebih takut mengecewakan manusia daripada mengecewakan Allah swt. Seperti kita lebih khawatir orang lain menunggu terlalu lama dan tenang-tenang saja kalau Allah swt yang menunggu. 

Seperti itulah stiker mungil itu mengingatkan kita semua. Mengingatkan kita bahwa ada satu kesempatan bagus untuk memperbaiki hubungan ibadah kita kepada Allah di dalam bulan yang sangat mulia ini. Tentu akan sangat indah bila kita mau dan berani mencoba dan memulai memperbaiki hubungan ibadah kita kepada Allah dari bulan rajab yang agung ini. Dari ibadah yang terkecil sampai ibadah yang besar dan berat. Dari hanya sekadar memperbaiki salat sampai melakukan puasa dan sebagainya. 

Selamat menunaikan ibadah di bulan rajab, semoga kita semua ikut mendapatkan keberkahan dari bulan ini, dan semoga saya dan kita semua merasa tersindir dengan stiker mungil tersebut. Allahu a’lam.
Baca SelengkapnyaRajab dan Stiker Mungil
 
;