Selasa, 18 Juni 2013

Hak Politik Wanita Dalam Islam

A. Prolog 

Dalam kajian Islam, permasalahan gender dan segala hal yang berhubungan dengan hak wanita menjadi salah satu pembahasan penting. Hal ini dikarenakan banyak ditemukannya masalah-masalah yang diangap bias gender, tidak menghormati hak-hak wanita. Para pengkaji di kalangan luar Islam sering menjadikan isu-isu tersebut sebagai senjata untuk mengkritisi dogma islam. Mulai dari hak kebebasan interaksi wanita, hak warisan, hak politik, dan lain sebagainya. Mereka lalu menyerukan semangat emansipasi wanita dan persamaan hak antara lelaki dan wanita sebagai ganti dari dogma teks yang dianggap tidak sesuai lagi dengan semangat zaman. Dari sekian banyak permasalahan tersebut saya akan mencoba menganalisis satu masalah yang cukup penting dalam masa kini yaitu permasalahan hak kepemimpinan wanita dalam berpolitik dan bermasyarakat. 

B. Rumusan Masalah 

Pada kesempatan kali ini ita akan mencoba mengkaji dan menganalisis permasalahan kepemimpinan wanita dalam Islam. Salah satu hak manusia yang harus dijaga dan dihormati adalah hak untuk dipilih menjadi seorang pemimpin baik lelaki maupun wanita. Islam menjadi salah satu agama yang dikritik oleh banyak kalangan pemikir luar karena terdapat salah satu dogma teksnya yang seakan-akan meghalangi hak tersebut dan membatasi aktivitas wanita sebagai seorang pemimpin. Salah satu teks yang menjadi sorotan adalah Hadits nabi yang berbunyi “ma aflaha qoumun walau amruhum imroatun” (tidak akan pernah berjaya dan sejahtera sebuah masyarakat yang dipimpin oleh seorang wanita). 

Menurut sebagian kalangan, hadits ini merupakan bukti bahwa Islam tidak pernah mengapresiasi hak-hak wanita dalam kehidupannya. Hadits itu membuktikan bahwa hak menjadi pemimpin dan memegang kekuasaan telah dikebiri oleh Islam. Padahal kita tahu bahwa salah satu dari hak asasi manusia yang harus dijaga dan dihormati oleh setiap orang adalah hak untuk dipilih menjadi pemimpin dan hak untuk mengelola sesuatu yang menjadi tangungjawabnya. 

Gambaran utuhnya menjadi lebih jelas ketika makna dari hadits tersebut ditarik pada arah kekuasaan birokratif dalam masyarakat. Dengan mengunakan dalil hadits inilah para ulama memberikan hukum haram kepada wanita yang ingin menjadi pejabat publik dan pemerintahan. Menurut mereka hadits ini menunjukan bahwa Rosul melarang wanita menjadi pemimpin satu kaum atau kelompok karena kepemimpinannya bisa berakses negatif pada kemunduran satu kaum. Teks-teks fikih para ulama mencatat bahwa kepemimpinan seorang wanita dalam jabatan publik tidak diperbolehkan bahkan mereka mesyaratkan seorang pejabat publik harus berasal dari kalangan lelaki (adz-dzukuroh) bukan wanita. Hal ini tentu bertolak belakang dengan semangat demokrasi dan sistem tatanan masyarakat modern dimana setiap orang baik lelaki maupun wanita mempunyai hak yang sama untuk menjadi pejabat publik selama dia mempunyai kemampuan di dalamnya. Al-hasil hadits ini menjadi salah satu titik lemah yang dijadikan alat untuk megkrikitk dan menyerang Islam dari segi dogmatis ajarannya. 

C. Studi Analisis Hadits sebagai Penyelesaian 

Kata “wilayah” dalam hadits di atas secara etimologi berarti kekuasaan (sulthon); kepemimpinan (al-nushroh). Mayoritas umat Islam sejak masa risalah hingga sekarang mengakui “kekuasaan wanita” yang bersifat umum. Wanita mempunyai kekuasaan penuh atas jiwa dan tubuhnya sendiri, wanita juga mempunyai kekuasaan penuh atas harta yang dipunyainya sendiri. Wanita mempnyai kekuasaan untuk menentukan dan memilih lelaki yang akan dijadikan suaminya. Dari beberapa contoh kekuasaan tersebut sebenarnya membuktikan bahwa Islam memberikan porsi “wilayah” kepada wanita dengan porsi yang sama dengan lelaki. 

Akan tetapi permasalahan menjadi komplek ketika kata “wilayah” dianalisis secara terminologi ilmu Islam. Di sana kemudian akan terjadi pembagian “wilayah” menjadi dua yaitu “al-wilayat al-khossoh” atau (kekuasaan khusus/pribadi) dan “al-wilayat al-‘ammah” atau (kekuasan publik/birokratif). Dalam “al-wilayat al-khossoh” atau (kekuasaan khusus/pribadi) hak kekuasaan wanita diberikan dalam porsi yang sama dengan lelaki mengacu pada satu hadits nabi “kullukum ra’in wa kullukum masulun ‘an ro’iyyatih, fa al-amiru aladzi ‘ala al-nasi ro’in ‘alaihim wa huwa masulun ‘anhum, wa al-rojulu ro’in ‘ala ahli baitihi wa huwa masulun ‘anhum, wa al-mar’atu ro’iyatun ‘ala baiti ba’liha wa waladihi wa hiya masulatun ‘anhum, ala fa kulukum ro’in wa kullukum masulun ‘an ro’iyyatihi” . Seorang wanita mempunyai kekuasaan atas dirinya sendiri, atas rumahtangganya, anak-anaknya, dan hartanya. Kekuasaan wanita yang sifatnya khusus dan pribadi dalam Islam tetap diakui secara penuh dan utuh. 

Akan tetapi dalam “al-wilayat al-‘ammah” atau (kekuasan publik/birokratif) wanita sangat dibatasi aksesnya. Mayoritas ulama ahli fikih tidak memperboehkan wanita menjadi pejabat publik terlebih lagi menjadi pemimpin satu kaum atau negara (al-imamah al-‘udhma). Di sinilah letak permasalahan yang menjadi titik lemah dari dogma Islam terhadap wanita. Untuk mengkaji kesahihan dan kelayakan hadits tersebut pada zaman sekarang saya akan mencoba menganalisis hadits tersebut baik dari segi esensi hadits (riwayah wa diroyah) maupun dari segi sosio historis yang melatarbelakangi terjadinya hadits tersebut (asbab al-wurud) kemudian mengkontekstualisasikan hadits tersebut pada masa kekinian. 

Dari segi esensi hadits sebenarnya hadits tersebut diriwayatkan dalam berbagai versi melalui beberapa “rowi” (penyampai hadits) yang berbeda-beda. Diantara teks hadits yang serupa dengan hadits diatas adalah sebagai berikut: “lan yaflaha qoumun tamlikuhum imroatu” ada juga “lan yaflaha qoumun wa lau amruhum imroatun” ada juga dengan redaksi “lan yaflaha qoumun asndu amrahum ila imroatin”. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh para ahli hadits yang terkenal dapat dipercaya (tsiqqoh) dan secara ilmiyah dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Dengan banyaknya riwayat dari hadits tersebut bisa dipastikan hadits tersebut sahih dari segi periwayatannya (riwayatan) akan tetapi menyisakan satu pertanyaan dan permasalahan dari segi esensi makna hadits (diroyatan) karena isi dari hadits tersebut dinilai tidak sesuai dengan semangat kekinian pada masa sekarang. 

Dari segi sosio historisnya (asbab al-wurud), hadits ini berawal dari cerita ketika ada sekelompok orang dari negara Persia yang berkunjung ke Madinah. Kemudian Rosulullah bertanya kepada meraka, “siapa yang sedang berkuasa di negara Persia?” lalu salah satu dari mereka menjawab “seorang wanita” kemudian Rosulullah mengomentari kembali “tidak akan pernah sejahtera dan berjaya satu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita”. 

Dari analisis historis dapat kita simpulkan bahwa maksud dari hadits teresebut adalah mengenai kekuasaan wanita dalam ranah publik atau birokrasi (al-wilayat al-‘amah) seperti pemimpin negara atau pemerintahan. Dalam hadits tersebut menceritakan tentang seorang wanita yang menjadi ratu dari negara Persia. Pada kala itu mayoritas ahli fikih membolehkan seorang wanita menjadi pejabat publik akan tetapi terbatas dalam lingkup yang lebih khusus seperti menjadi pemimpin desa (qoryah), pemimpin provinsi (aqolim), dan pejabat publik lainnya yang sifatnya masih kecil (juziyyah). Akan tetapi mereka sepakat untuk pemimpin central satu negara atau imamah atau dalam masa kini setara dengan presiden maka disyaratkan harus seorag lelaki tidak boleh wanita. 

Yang harus kita ketahui adalah alasan hukum dari ketidakbolehannya seorang wanita menjadi seorang imamah dalam satu negara. Alasan yang melatarbelakangi hukum tersebut adalah karakteristik kultural masyarakat pada zaman itu yang menjadikan seoarang imamah sebagai sebuah kekuasaan yang bersifat sentralistik. Ciri kekuasan kala itu yang bersifat sentralistik mengharuskan seorang imamah menguasai berbagai bidang dan mempunyai kekuatan mental yang tangguh. Seorang imamah secara otomatis bukan hanya menjadi pemimpin pemerintahan politik saja tetapi dia juga merupakan pemimpin agama, imam solat, dan pemimpin angkatan perang. Beban yang begitu berat menjadikan ciri kepemimpinanya lebih condong ke arah lelaki dari pada ke arah wanita. 

Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, sistem pemerintahan sentralistik sudah tidak digunakan lagi dan kini berubah menjadi sistem kekuasaan birokrasi yang sistematis dan desentralis. Sistem kekuasaan dalam satu negara kini terbagi-bagi menjadi bagian-bagian tertentu yang lebih spesifik ditambah dengan pengambilan keputusan yang harus melibatkan birokrasi parlement. Pembagian-pembagian kekuasaan dalam sistem pemerintahan modern menjadikan seorang presiden tidak mempunyai kekuasaan penuh dalam satu negara dan itu juga berarti tugas dan tanggungjawab yang diembannya lebih ringan dibandingkan dengan sistem kepemimpinan sentralistik. Misalnya saja dalam sistem birokrasi demokratif dimana kekuasaan agama diserahkan pada instansi-instansi keagamaan masing-masing begitu juga dengan kekuasaan militer yang terpisah dari kekuasaan politik pemerintahan. 

Dengan analisis seperi di atas, maka ‘Illat atau alasan hukum tidak diperbolehkannya seorang wanita menjadi imamah atau presiden satu negara menjadi batal dan tidak berlaku lagi. Sehingga hak seorang wanita untuk menjadi pemimpin satu negara sekarang ini tetap terbuka dan tidak terhalangi oleh hadits tersebut dalam dunia Islam. Rancang bangun sistem pemerintahan antara konteks dimana hadits tersebut turun dengan konteks kekinian mengharuskan adanya perubahan hukum di dalamnya. Dengan begitu kontekstualisasi hukum dalam studi hadits tersebut telah menemukan muaranya dalam menjunjung tinggi nilai kemaslahatan. 

D. Epilog 

Demikian paparan mengenai studi kakus dalam permasalahan hak wanita dalam kepemimpinan. Dari kesimpulan analisis tadi dapat dikatakan bahwa asumsi dan stigmatisasi negatif atas Islam yang sering dikatakan sebagai agama yang sering memarginalkan hak-hak wanita tidaklah benar. Perlu diadakan observasi terhadap permaslahan-permasalahan wanita yang selama ini dianggap sebagai dogma negatif ainklusif. Karena dihawatirkan bukan dogmanya yang sebenarnya bermasalah, akan tetapi cara pembacaan dan paradigmanya yang sudah tidak sesuai degan kontekstual masa kini sehingga perlu diperbarui paradigmanya.

0 comments:

Posting Komentar

 
;