A.
Pendahuluan
Memerangi ketidakadilan sosial
sepanjang sejarah kemanusiaan selalu menjadi tema menarik dan tetap akan
menjadi tema penting dalam setiap pemikiran dan konsepsi tentang kemasyarakatan
di masa mendatang. Sejarah manusia dalam memerangi ketidakadilan sosial telah
melahirkan analisis dan teori sosial yang hingga saat ini masih berpengaruh
dalam membentuk sistem kemasyarakatan umat manusia. Misalnya saja analisis dan
teori kelas yang dicetuskan oleh Karl Marx dapat membantu analisis sosial saat
ini untuk memahami bentuk ketidakadilan ekonomi dan kaitannya dengan sistem
sosial yang lebih luas.
Dari pelbagai gugatan terhadap
ketidakadilan tersebut, terdapat satu analisis yang mempertanyakan
ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin yang belum pernah
disinggung oleh teori-teori di atas. Analisis yang dimaksud adalah analisis
gender, suatu analisis yang menjadi alat bagi gerakan feminisme sepanjang masa.
Gerakan tersebut pada akhirnya pun
bersinggungan dan berpapasan secara langsung dengan dogma-dogma Islam. Banyak
sekali ajaran Islam yang dianggap tidak merepresentasikan sebuah ajaran yang
humanis. Salah satu alasannya adalah dalam ajaran tersebut Islam lebih banyak
mengistimewakan hak-hak laki-laki dan mensubordinalkan hak-hak perempuan.
Terlepas dari tarik ulur konstruksi sosial yang melingkupi ajaran Islam, maka
bagaimanakah sebenarnya sikap yang harus kita berikan menanggapi argumentasi
gerakan feminis tersebut.
Apa juga sebenarnya yang menjadikan
gender menjadi satu masalah yang penting untuk dikaji dalam hubungannya dengan
ketidakadilan sosial?. Pertanyaan inilah yang akan mencoba digali jawabannya
dalam uraian makalah singkat mengenai gerakan feminisme dan akar-mulanya dari
pemikirian gender.
B. Feminisme
dan Keadilan Gender
Feminisme adalah gerakan yang memperjuangkan kesetaraan jender (gender).
Feminisme membedakan antara kategori sex dan gender. Sex itu bersifat given,
terberi, kodrat, tidak dapat diubah, seperti perempuan memiliki rahim, haidh,
dan lainnya. Sedangkan gender merupakan konstruksi sosial, politik, dan budaya,
terhadap perempuan. Pendeknya, jika sex adalah perbedaan alamiah antara
laki-laki dan perempuan, sedangkan jender perbedaan yang tidak alamiah melalui
proses sosial dan kultural panjang, yang cenderung mensubordinasikan dan
menindas kaum perempuan.
H.T. Wilson mengartikan jender sebagai dasar penjelasan bagaimana
partisipasi laki-laki dan perempuan dalam masalah kebudayaan dan kehidupan
bersama yang berakibat ia menjadi laki-laki atau perempuan (Wilson, 1989; 2). Nasarudin
Umar memaknai jender sebagai konsep yang digunakan mengidentifikasi perbedaan
laki-laki dan perempuan dilihat dari aspek sosial-budaya. Jender dalam arti ini
mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis (Umar, 1995; 35).
Permasalahan jenis kelamin tidak ada kaitannya dengan masalah jender,
karena jenis kelamin bersifat alamiah (natural), bersifat biologis dan akan
tetap di mana saja disamping tidak bisa dirubah. Berbeda dengan jender, yang
dianggap oleh feminis, bersifat sosial budaya yang dibuat oleh manusia, bisa
berubah dari waktu ke waktu, dari kebudayaan satu dengan
kebudayaan yang lain.
Artinya adalah bahwa gender merupakan satu
istilah yang terbentuk dari sebuah konstruksi sosial maupun kultural. Misalnya,
bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan sementara
laki-laki dianggap kuat, rasional, jentan, perkasa. Ciri dari sifat-sifat itu
sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki
yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat,
rasional, dan perkasa. Yang menjadi masalah adalah sering terjadi kerancuan dan
pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut seks dan apa yang disebut gender.
Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di masyarakat,
dimana apa yang sesungguhnya gender karena pada dasarnya konstruksi sosial
justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan Tuhan. Justru sebagian
besar yang dewasa ini sering dianggap atau dinamakan sebagai “kodrat wanita”
adalah sebuah konstruksi sosial dan kultural atau gender.
Misalnya saja sering diungkapkan bahwa
mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau
urusan domestik lainnya sering dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya “kodrat
wanita”. Padahal kenyataannya, bahwa perempuan memiliki peran gender dalam
mendidik anak, merawat dan mengelola keindahan rumah tangga adalah konstruksi
sosial dalam satu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, boleh jadi urusan-urusan
tadi bisa dilakukan dan dibebankan kepada kaum laki-laki. Artinya adalah bahwa
jenis pekerjaan itu bisa dieprtukarkan. (Fakih, 2007; 11)
Lain dari pada itu, perlu kita pahami
bahwa sifat-sifat yang melekat akibat konstruksi sosial tersebut tidak selamanya
harus dipertukarkan oleh seseorang yang mengaku sebagai pejuang feminisme.
Bentuk realistis dan nyata dari sebuah perjuangan melawan ketidakadilan gender
tidak harus dinyatakan dengan cara merubah sifat-sifat gender yang ada pada
dirinya sendiri. Semisal ketika dia seorang pria maka dia harus merubah
karakter gendernya yang secara umum bersifat maskulin menjadi feminim agar sah
dikatakan sebagai pejuang gender. Sifat-sifat tersebut hanyalah sebuah media
untuk memudahkan kita memahami makna dan perbedaan antara sex dan gender itu
sendiri, sehingga ketika kita sudah dapat memahami dengan benar diharapkan akan
mengerti apa yang sebenarnya harus diperjuangkan dalam masyarakat.
Konsep penting yang perlu dipahami dalam
rangka membahas masalah kaum perempuan adalah membedakan antara konsep seks
(jenis kelamin) dengan konsep jender. Pemahaman dan pembedaan antara kedua
konsep tersebut sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami
persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini
disebabkan karena adanya kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender
differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur
ketidakadilan masyarakat secara lebih luas.
Akan tetapi pengungkapan masalah perempuan
dengan menggunakan analisis gender sering menghadapi perlawanan atau resistensi
baik dari kalangan kaum laki-laki maupun kaum perempuan sendiri. Ada banyak
sebab yang melatarbelakangi timbulnya perlawanan tersebut. Diantaranya
sebab-sebab itu adalah karena mempertanyakan status perempuan pada dasarnya
adalah mempersoalkan sistem dan struktur yang telah mapan, bahkan
mempertanyakan status perempuan pada dasarnya berarti menggoncang struktur dan
sistem status quo ketidakadilan tertua dalam masyarakat. (Fakih, 2007; 6)
Perbedaan gender sebenarnya tidaklah
menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender
inequalities). Namun yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah
melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama
terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur
dimana baik kaum laki-laki maupun kaum perempuan menjadi korban dari sistem
tersebut. Untuk memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan
gender dapat dilihat melalui pelbagai manifestasi ketidakadilan yang ada.
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan,
yakni: Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan
tidak penting dalam keptusan politik, pembentukan setereotipe atau melalui
pelabelan negatif, kekerasan terhadap perempuan, beban kerja lebih panjang dan
banyak.
Sedangkan feminisme adalah satu gerakan
yang mencoba mendobrak ketidakadilan-ketidakadilan gender yang disebabkan dari
konstruksi sosial kultural yang terjadi dalam masyarakat. Konstruksi sosial dan
kultural tersebut pada akhirnya nanti akan mempengaruhi banyaknya pola
pemikiran feminisme bergantung dari sisi yang dibidik oleh sang feminis.
Termasuk juga ketika kita menjadikan agama (Islam) sebagai sebuah fenomena
empiris kultural yang mau tidak mau akan mempengaruhi pemikiran ketidakadilan
gender dalam masyarakat.
C. Sejarah Feminisme
Feminisme
sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era
Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley
Montagu dan Marquis de Condorcet.
Setelah
Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa
posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya.
Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak
memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas
milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama
dengan laki-laki di hadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan
masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg,
sebuah kota di
selatan Belanda.
Kata
feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis
utopis, Charles Fourier pada
tahun 1837.
Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat
sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai
Subyek" ( The Subjection of Women) pada tahun (1869). Perjuangan
mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada
awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap
kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan
dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam
bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam
masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat
tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di
depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini
mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme
di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah
ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Adanya
fundamentalisme
agama yang
melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk situasi. Di lingkungan agama
Kristen terjadi praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini
ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa
jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.
Pergerakan
di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh
Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis
berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right
of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan
dikemudian hari.
Pada
tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap
pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan
dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan , diberi kesempatan
ikut dalam pendidikan, serta hak pilih.
Menjelang
abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari
para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa
memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal
(universal sisterhood).
Pada
tahun 1960 munculnya
negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan
selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan
dalam hak suara parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis
seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang
kemudian menetap di Perancis) dan Julia
Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan
kelahiran dekonstruksionis, Derrida.
Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak
didominasi oleh nilai-nilai maskulin.
Akan
tetapi perlu kita ketahui bahwa semangat gerakan feminisme ini sebenarnya tidak
hanya dimonopoli oleh kalangan pemikir barat dengan segudang teorinya. Semangat
feminisme sebenarnya sudah ada secara fitrah di setiap daerah dimana terjadi
ketidakadilan terhadap perempuan. Kita bisa mengambil banyak contoh dimana
gerakan perjuangan terhadap hak-hak perempuan terjadi di banyak negara. Di
daerah timur tengah misalnya mesir dengan tokoh-tokohnya yang sangat terkenal
mulai dari Muhammad Abduh, Qosim Amin, Nawal Sa’dawi, di daerah maroko ada
Fatimah Mernissi, kemudian di Indonesia kita mengenal banyak tokoh pejuang hak
perempun semisal R.A. Kartini, Cut Nyak Dien, dan lain sebagainya.
D. Macam-Macam
Aliran Feminisme
Rosemarie Putman Tong
dalam bukunya yang berjudul Feminist Thought: A More Comprehensive
Introduction, Second Edition membagi aliran-aliran feminisme ke dalam
beberapa bentuk. Kesemuanya mempunyai perbedaan menurut ciri khas dan
kecenderungan bidikan pemikiran masing-masing. Dalam bukunya, Rosemarie menyebutkan
setidaknya ada tujuh bentuk pemikiran feminisme yang berkembang sepanjang
sejarah. Diantaranya adalah, Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme
Marxis dan Sosialis, Feminisme Psikoanalisis dan Gender, Feminisme
Eksistensialis, Feminisme Posmodern, Feminisme Multikutural dan Global. Namun
di sini hanya akan dipaparkan beberapa dari pemikiran feminisme tersebut yang
memiliki nilai penting. (Tong, 1998; 15)
Pertama; Feminisme liberal
Apa
yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah
pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan
individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada
rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia
-demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara
rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan
pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri.
Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam
kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis
Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak
antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme
negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum laki-laki, yang
terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga
menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh
kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan
yang memang memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum
Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga
negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada
ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan
berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan”
setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan
kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan
di sebuah negara”.
Tokoh
aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai
"Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah
mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus
terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak
tanpa tergantung pada lelaki.
Akar
teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan
adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus
diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada
produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering
muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak
upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di
abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang
diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam
konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan
30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman
feminis liberal.
Kedua;
Feminisme radikal
Trend
ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan
ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran
ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar
jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual
dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan
adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini
adalah sesuai namanya yang "radikal".
Aliran
ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat
sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara
lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme),
seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.
"The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu
menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap
paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black
propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal.
Ketiga;
Feminisme Marxis
Aliran
ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya
sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi.
Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status
perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property).
Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah
menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk
exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial.
Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi
yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam
masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur
masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum
Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap
bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari
interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki
kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat
kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
E. Feminisme
dalam Islam
Diskursus gender dalam agenda feminisme kontemporer banyak memfokuskan pada
persamaan hak, partisipasi perempuan dalam kerja, pendidikan, kebebasan seksual
maupun hak reproduksi. Sejak abad 17 hingga 21 perjuangan feminis telah
mencapai pasang surut dan mengalami perluasan wilayah tuntutan dan agenda
perjuangan yang jauh lebih rumit.
Dari kubu pro dan kontra feminisme,
dari kritikan dan kecaman yang terlontar, Islam diantaranya yang paling
mendapat banyak sorotan dalam kaitannya terhadap status dan aturan yang
diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Hegemoni Islam terhadap perempuan
muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam dalam praktek keseharian di
panggung kehidupan, dimana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul,
mengekpresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh aturan yang sangat membatasi
ruang kerja.
Tentu saja terjadi benturan yang sangat
ketara ketika kita pertama kali melihat Islam sebagai sebuah agama sekaligus
objek kajian. Islam yang berkembang di daerah Arab secara tidak langsung juga
berbaur dengan tradisi Arab kala itu yang bersifat partiarkis. Budaya lokal
Arab ketika itu lebih menghargai seorang anak laki-laki dari pada anak perempuan.
Bahkan disebutkan dalam salah satu cerita dalam al-Qur’an dimana mereka
kebingungan ketika mengetahui kabar bahwa istri mereka melahirkan anak
perempuan. Perempuan ketika itu dianggap sebagai sebuah simbol kelemahan maka
mereka tidak ragu untuk membunuh anak mereka sendiri dan menguburnya
hidup-hidup kedalam tanah. (Umar dkk, 2002; 34)
Sebelum itu, tentu kita harus menyadari
terlebih dahulu mengenai keberadaan Islam sebuah sebuah entitas yang bukan
tidak tak tersentuh. Selama ini ada sebagian orang mengartikan Islam adalah
sebuah nilai yang sudah kadung sempurna dan tidak boleh dipertanyakan kembali.
Lebih ironis lagi ketika mereka menganggap bahwa kesempurnaan islam tersebut
kemudian menjadikannya tidak tersentuh oleh fenomena budaya, sosial, kemasyarakatan
dan segala yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Hal itu berangkat dari
pemahaman mereka yang meyakini bahwa Islam hanyalah sebatas regulasi suci dari
Tuhan yang tidak bisa dan tidak ada hubungannya dengan fenomena manusia dalam
masyarakat di bumi ini.
Akan tetapi disadari ataupun tidak, diakui
ataupun tidak, Islam telah menyatu keberadaannya dengan semua entitas manusia
dengan segala kebudayaannya. Wujud dari sebuah kalimat “solihah li kulli
zamannin wa makanin” adalah bukti kemampuan Islam untuk selalu menjawab
segala tantangan zaman dan perubahan kebudayaan yang ada. Artinya Islam
meskipun secara dogmatis terlihat sangat wksklusif namun pada praktiknya akan
mengalami peleburan dan saling keterkaitan dengan kebudayaan yang ada.
Ada banyak isu yang selama ini menjadi
bahan diskusi dalam tema feminisme agama Islam. Mulai dari dibatasinya hak-hak
interaksi publik dalam perempuan, hak politik, hak warisan, poligami, dan lain
sebagainya. Mereka beranggapan bahwa Islam tidak memberikan porsi yang adil
terhadap hak-hak perempuan dalam banyak bidangnya. Oleh karena itu seringkali
Islam dijadikan bahan cibiran karena dianggap sebagai agama yang patriarkis dan
kental dengan nuansa misoginisme. Kaum feminis merumuskan beberapa
wilayah diskriminasi terhadap perempuan yang, dalam optic mereka, juga
dilegitimasi oleh agama Islam. Diantaranya:
Pertama; Hak
politik. Kelompok feminis mengklaim bahwa pendapat yang melarang kaum hawa
menduduki posisi vital kenegaraan (baca: Imam), sama sekali tidak
mendasar. Pelarangan tersebut tidak lepas dari kenyataan sejarah panjang di
mana mayoritas ahli hukum dan tafsir sejak dulu hingga kini didominasi
laki-laki ditengah-tengah tradisi patriarki yang
hegemonik. Teks-teks agama yang ditafsirkan pun kemudian menjadi bias jender. Mereka, para feminis, berangkat dari surat
al-Taubah: 71 yang menyatakan: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan
perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) kebajikan dan melarang pada yang munkar, mendirikan
shalat, menunaikan zakat. Dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka
itu akan mendapat rahmat dari Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Perkasa dan
Maha Bijaksana.”
Dengan ayat ini mereka menunjukkan, bahwa pria dan perempuan mempunyai hak
kepemimpinan publik, terbukti keduanya berhak menyuruh mengerjakan yang ma’ruf
dan mencegah yang munkar, mencakup segala segi kebaikan, termasuk
memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.
Kedua; hak
waris. Dalam hal ini kalangan feminis mengatakan bahwa surat al-Nisâ’ ayat 11,
yang menginformasikan bagian perempuan separuh dari bagian laki-laki, tidak
lepas dari setting sejarah ketika isteri Sa’ad bin Arabi yang ditingggal
mati suaminya, menghadap kepada Rasulullah saw. Dia mengadu tentang harta waris
suaminya yang diambil pamannya tanpa disisakan sedikitpun. Padahal dia khawatir
dengan kedua putrinya yang akan kesulitan mendapat jodoh kalau tidak memiliki
materi. Lalu beliau bersabda. “Allah swt. yang akan
memutuskan persoalan itu”. Kemudian turunlah ayat
tersebut. Kaum feminis mempermasalahkan ketentuan 2:1 yang termasuk bentuk
pembagian diskriminatif. Pembagian diskriminatif tersebut, menurut klaim
mereka, disebabkan ayat tersebut turun dalam tataran konstruk-sosial di mana
kaum perempuan dianggap tidak memiliki intelektualitas dan kapabilitas
keagamaan memadahi, kebutuhan perempuan terhadap harta lebih sedikit
dibandingkan laki-laki, dan suami mereka telah menjamin biaya hidupnya. Hal tersebut berbeda dengan konteks
kekinian di mana perempuan telah mengalami kemajuan kemampuan dalam
segala bidang. Konsekuensi logis dari
perubahan konteks tersebut menuntut berubahnya jumlah ketentuan
pembagian harta warisan.
Ketiga; hak
poligami. Menurut mereka, legitimasi menikahi isteri lebih dari satu tentunya melukiskan
simbol superioritas “kemenangan” bagi laki-laki, yang secara tidak langsung
akan mensubordinasikan lawan jenisnya.
Keempat;
perempuan sebagai saksi. Dalam pemikiran hukum Islam, ketentuan kesaksian
perempuan bernilai setengah dari kesaksian laki-laki, berbasis nalar berikut
ini. Persaksian merupakan bentuk interaksi secara langsung dengan masyarakat
luas guna memberikan data akurat dan mengetahui kejadian yang sebenarnya.
Sedangkan perempuan dalam skala mayoritas jarang bersinggungan dengan hal ini.
Hal ini didasari fenomena riil perempuan yang memang karakter awalnya tidak
berkecimpung dengan permasalahan ekonomi. Oleh karenanya, Allah swt. menetapkan
dua orang perempuan sebagai pengganti satu laki-laki. Penalaran ini ditanggapi
oleh kalangan feminis, dengan mengatakan bahwa ketentuan tersebut karena
melihat perempuan di zaman dulu tidak banyak yang keluar menyaksikan sesuatu
yang berhubungan dengan keuangan. Akan tetapi perempuan saat ini lebih banyak
yang bergelut dengan urusan kerja dan keuangan. Kalau hal ini terjadi sejak
dulu, sudah barang tentu ulama akan
berpendapat lain.
Demikianlah sebagian wacana isu-isu jender. Gagasan
egalitarianisme di atas sangat kental dengan sentuhan interpretasi
hermeneutika, di mana seorang penafsir harus mendekonstruksi konteks historis
yang melatari munculnya teks-teks keagamaan.
Kemudian melakukan rekonstruksi penafsiran yang berlandaskan konteks
sosial kekinian penafsir. Perlu digarisbawahi, dalam diskursus “hermeneutika
poros tengah” sebenarnya telah dibahas panjang lebar bahwa sebenarnya teori
interpretasi hermeneutika merupakan metode penafsiran teks yang cukup baik, dan
nafas-nafasnya pun sebenarnya telah ada dalam metodologi Islam. Namun ia juga
harus mengikuti aturan interpretasi dalam Islam, termasuk di antaranya tidak
menabrak nash qath’i dan lain-lain. Benar bahwa penafsiran harus
berangkat dari konteks kekinian dalam rangka mengaktualisasikan hukum, akan
tetapi hal tersebut harus dibatasi khusus dalam hukum-hukum yang bersifat
teknis, temporal, berlandaskan adat, dan
lainnya, seperti penentuan bentuk ta’zir, teknis muamalah, bentuk-bentuk
nafkah yang harus diberikan kepada isteri, dan lain-lain.
F. Jawaban atas Fenomena Feminisme Islam
Dalam Islam Allah swt. telah
mempublikasikan kedudukan perempuan dalam posisi yang cukup strategis sama
dengan laki-laki. Dalam surat al-Hujurât: 13 dinyatakan; “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” Ayat ini menegaskan bahwa
di sisi Allah swt. seorang laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang
setara (musâwah), dan yang membedakan hanyalah ketakwaannya saja. Selain
ayat tersebut masih banyak sekali ayat yang menunjukkan kesetaran perempuan dan
pria. Di antaranya surat al-Ahzab: 35 yang menerangkan tentang sifat-sifat
orang mukmin dan kewajibannya terhadap agama; “Sesungguhnya laki-laki dan
perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang tetap pada ketaatannya,
laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar,
laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah,
laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah
telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” Dalam ayat
ini jelas betapa Allah swt. telah menyetarakan kedudukan laki-laki dan
perempuan. Redaksi yang senantiasa menghubungkan laki-laki dan perempuan
menunjukkan betapa menghargainya agama Islam terhadap kaum perempuan.
Oleh karena itu alih-alih merasa berang
dengan tuduhan-tuduhan para Orientalis yang mengatakan bahwa Islam adalah agama
yang sangat patriarkis dan misoginis, maka sebenarnya kita bisa mengkaji lebih
dalam dan mencari jawaban yang ilmiyah dan realistis mengenai isu-isu feminisme
dalam islam seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya. Ada
banyak pendapat para pemikir Islam kontemporer yang mengkaji dan mencoba
menjawab tantangan zaman tersebut. Berikut akan kita coba analisa satu persatu
secara umum mengenai jawaban-jawaban dari isu feminisme dalam Islam.
Pertama; Hak politik dalam Islam
Mengenai hak politik dalam Islam, klaim
yang diangkat oleh kalangan feminis berawal dari sebuah dalil hadits atau
sunnah Rasul. Dimana ketika itu dalam satu riwayat nabi Muhammad pernah berkata
‘‘ma aflaha qaumun yali amruhum imraatun (Tidak akan sejahtera, komunitas yang menyerahkan
urusan-birokrasinya pada seorang perempuan)”. Berangkat dari statemen ini
mayoritas ulama menentukan kriteria seorang pemimpin harus dari golongan
laki-laki, karena seorang perempuan bukan termasuk ahl al-wilâyah
(kecakapan menangani pemerintahan), sehingga
wajar bila perempuan tidak boleh memegang otoritas vital kenegaraan.
Lalu apa korelasinya dengan
ketidakbolehan perempuan menjadi Pemimpin, padahal secara skriptual hadits itu
hanya mengisyaratkan akan terjadinya suatu kekacauan belaka?. Dan kenapa
berdampak pada hukum haram?. Dalam hal ini ahli tafsir mengenalkan istilah
antisipasi, yakni menjauhi situasi dan kondisi yang akan mengancam
kesejahteraan harus diupayakan, meskipun secara semantik-linguistik hadits di
muka hanya berstatus informasi (khabar) bukan larangan. Berdasarkan
argumentasi ini, mayoritas ulama menyimpulkan
sepenggal kata ‘haram’ mengangkat perempuan menjadi kepala negara
sebagai upaya menghindari penyebab kekacauan yang dikategorikan wajib.
Dalam diskursus ini, penulis
ingin menegaskan bahwa permasalahan ini sebenarnya adalah wilayah ijtihâdiyyah,
sehingga hadits di muka multi-tafsir dan masih terbuka untuk direinterpretasi. Reinterpretasi tersebut setidaknya
didasari kajian kontekstual di mana dari data historis Ibn Hajar al-Asqalany
menginformasikan, hadits di muka muncul
sebagai respon terhadap kepemimpinan ratu Persia, Buran
binti Syairawaih bin Kisra Anusyirwan. hadits tersebut bermula dari kisah Abdullah bin
Hudzaifah, pesuruh Rasulullah saw. yang ditugasi menyampaikan surat ajakan
masuk Islam kepada penguasa Persia yang beragama Majusi yang bernama Kisra.
Tapi ternyata surat ajakan Rasulullah saw. tersebut dilecehkan oleh Kisra
dengan cara merobek-robeknya. Pada suatu saat ia dibunuh dengan cara diracun
oleh anak laki-lakinya, yang kemudian juga membunuh saudara-saudaranya. Ketika
ia mati diracun, kemudian kekuasaannya digantikan oleh putrinya yang bernama
Buran. Mendengar berita Persia dipimpin oleh Buran, Nabi Muhammad saw. kemudian
menyabdakan hadits di atas.
Seperti yang telah ditegaskan, teks hadits di atas
multi-tafsir. Jika diinterpretasikan dengan kaidah al-‘ibrah bi umûm
al-lafzhi, maka kata-kata ‘qawm’ dalam hadits tersebut tidak hanya
terkhususkan kepada komunitas Persia saja, melainkan berlaku pula bagi setiap
komunitas yang menyerahkan urusan
birokrasinya kepada perempuan, termasuk masyarakat Indonesia. Sedangkan
jika ditafsirkan melalui pendekatan kaidah al-‘ibrah bi khushûsh al-sabab,
maka hadits tersebut hanyalah khusus bagi masyarakat Persia saja, sehingga bagi
masyarakat selain Persia tidak masuk dalam cakupan kata ‘qawm’ dalam hadits.
Dari dua
corak pendekatan tersebut bisa dikatakan, penafsiran pertama cenderung literalistik-tekstualistik, sedang yang kedua lebih menitikberatkan
pada penelisikan secara hermeneutis yang hirau akan signifikansi konteks
historis yang melatari munculnya teks.
Menurut penulis, naif sekali jika hadits di
muka ditafsirkan secara harfiyyah - tekstual. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah
sendiri sejak dulu sebenarnya mempunyai
amunisi metode kontekstual-hermeneutis guna menggali kapasitas Nabi
Muhammad saw. Dalam diskusi klasik itu, dua ulama besar tersebut sering
berdebat dalam menentukan kapasitas Nabi tatkala mengeluarkan sabda. Syafi’i
selalu menggeneralisir – dalam rangka ihtiyath – bahwa semua hadits dikeluarkan
oleh Nabi adalah mewakili kapasitasnya sebagai Rasul, sehingga setiap
ketentuannya berfungsi sebagai legislasi umum (tasyri’ ‘âm) atau
bersifat normatif-universal. Sedang Abu Hanifah yang lebih rasionalis
memilih untuk memilah antara hadits yang muncul dalam kapasitas Nabi Muhammad
saw. sebagai Rasul karena terkait erat dengan urusan hukum-hukum, atau dalam
kapasitas sebagai Kepala Negara karena terkait dengan urusan publik yang bersifat
kondisional seperti masalah jabatan,
mekanisme pengumpulan dan pengalokasian zakat, dan lain sebagainya. Jika
hadits terproduk dalam kapasitas Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul maka mempunyai fungsi legislasi universal. Nah, dari
konsepsi disparitas (pembedaan) yang disodorkan Abu Hanifah tersebut,
jika dianalisa, akan menimbulkan konsekuensi
logis bahwa hadits yang terproduk dalam kapasitas Nabi sebagai Kepala
Negara tidak mempunyai fungsi legislasi universal tetapi hanya dalam tataran
normatif-partikular.
Dengan
segala keterbatasan pergulatan intelektual penulis, jika konsep disparitas Abu Hanifah ini boleh
penulis pinjam, kemudian digabungkan dengan pendekatan al-‘ibrah bi
khushûsh al-sabab, tentunya akan memunculkan “penafsiran baru” bahwa hadits
di muka hanya berlaku untuk komunitas Persia dan masyarakat yang berada di
bawah kepemimpinan Nabi sebagai Kepala Negara. Karena selaras dengan konsep
disparitas Abu Hanifah tersebut. Seyogyanya harus dibedakan antara hadits yang
muncul dalam kapasitas Nabi sebagai Rasul maupun kepala negara sebab terkait
dengan urusan jabatan.
Kedua;
Hak warisan dalam Islam
Seperti yang telah
disinggung di atas, kaum feminis mempermasalahkan ketentuan 2:1 yang dianggap sebagai bentuk pembagian
diskriminatif. Pembagian diskriminatif itu, menurut mereka, disebabkan ayat
tersebut turun dalam tataran konstruk-sosial di mana kaum perempuan dianggap
tidak memiliki intelektualitas dan kapabilitas keagamaan memadahi, kebutuhan
perempuan terhadap harta lebih sedikit dibanding laki-laki, dan suami mereka
telah menjamin biaya hidupnya. Dalam konteks kekinian, seiring majunya
intelektual kaum perempuan, naiknya kebutuhan, maka konsekuensinya juga
menuntut disetarakannya pembagian harta pusaka anak laki-laki dengan perempuan.
Secara de jure,
bagian harta waris perempuan ada yang mendapatkan cuma separo dari bagian laki-laki, sebagaimana keputusan dalam
surat al-Nisa’: 11, yang artinya; ‘‘Allah telah berwasiat pada kamu sekalian dalam (bagian)
anak-anak kalian. Bagi laki-laki mendapat bagian seperti bagiannya dua anak
perempuan.’’
Alasan pembagian harta pusaka bagi saudara perempuan (ukht)
1:2 dibanding saudara laki-laki (ahk) adalah karena saudara laki-laki
yang berkewajiban membiayai kehidupan saudara perempuannya, yaitu ketika dia
tergolong miskin, meskipun mampu bekerja mencari nafkah. Pembagian semacam itu adalah perlakuan adil.
Sebab alokasi yang lebih mementingkan pihak saudara laki-laki ini bukan untuk
kepentingan sendiri, melainkan untuk kebutuhan bersama. Karena saudara laki-laki
bertanggungjawab penuh membiayai kehidupan saudara perempuannya. Sepertinya
sangat wajar dan manusiawi bila laki-laki mendapat jatah lebih banyak, karena
substansinya untuk kebaikan bersama. Sementara pada saat beban biaya saudara perempuan tidak lagi menjadi tanggungjawab saudara
laki-laki, maka pembagiannya disamakan. Sebagaimana pesan dalam
al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 12, yang artinya: ‘‘Jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meinggalkan
anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan
(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka dia
bersekutu dalam yang sepertiga itu’’
Berangkat dari sebagian contoh pendapatan tirkah
di muka, kiranya sudah mampu mengobati ‘‘opini miring’’ yang mengatasnamakan
keadilan dan motif kesetaraan antara pria dan perempuan.
Yusuf Qardhawi berkaitan dengan
masalah ini mengatakan, “sebenarnya Allah swt. tidaklah berpilih kasih kepada
laki-laki ketimbang perempuan. Akan tetapi justru Allah swt. membedakan antara
laki-laki dan perempuan karena adanya beban bagi laki-laki: anak perempuan
dibiayai oleh walinya tatkala belum kawin dan dibiayai oleh isterinya jika
telah berumah tangga, meskipun anak
perempuan itu kaya dan menerima mas kawin sedang laki-laki ketika kawin memberi mas kawin. Jadi, sebenarnya harta si
perempuan itu selalu bertambah sedang harta laki-laki berkurang. Oleh sebab itu
berarti menyamakan warisan adalah merupakan penganiayaan terhadap laki-laki,
sedangkan ketetapan-ketetapan hukum Allah Ta‘ala adalah keadilan.”
Ekspresi keadilan dalam konsep warisan Islam akan tampak
ketika direnungi. Pendapatan harta waris
perempuan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki sama sekali tidak
dirugikan, karena di satu sisi, perempuan telah mendapat perhatian khusus dalam
institusi hukum yang lain dan banyaknya keistimewaan lain yang diberikan.
Sehingga Islam secara kolektif sebenarnya telah mendorong kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Contoh kecil adalah dalam hal pemenuhan ekonomi yang
ditanggung oleh golongan laki-laki. Kebutuhan keluarga, baik isteri maupun anak
menjadi kewajiban laki-laki, bahkan perempuan yang mampu pun tidak tertuntut untuk
memenuhi kebutuhan keluarga, entah statusnya sebagai isteri, ibu maupun anak.
Selama laki-laki masih ada, perempuan tidak disibukkan dengan urusan ekonomi.
Berbeda dengan laki-laki, selama masih punya daya berusaha, tidak ada yang
berkewajiban untuk menanggungnya. Dengan demikian posisi perempuan sangat
diuntungkan, karena yang bertugas memenuhi kebutuhan ekonomi lebih difokuskan
bebannya terhadap pihak laki-laki.
Dr. Ali Jum’ah dalam bukunya
mengungkapkan fakta yang menarik mengenai hal ini. Ternyata persepsi yang
selama ini melekat pada kaum umum bahwa dalam teori warisan Islam memperlakukan
lelaki lebih istimewa dari pada perempuan adalah salah dan tidak terbukti
secara ilmiyah. Karena dengan secara tegas seperti yang telah penulis jelaskan
di atas bahwa ayat yang selama ini dipakai oleh para feminis adalah ayat yang
menerangkan salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk teori warisan yang ada
dalam Islam. Dan ternyata ketika kita mengkaji lebih dalam lagi secara utuh
tentang teori tersebut kita menemukan banyak keadaan dimana perempuan
mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada bagian laki-laki.
Berikut ini adalah bentuk-bentuk teori
secara utuh mengenai konsep warisan serta perbandingan pendapatan antara lelaki
dan perempuan. (Jum’ah, 2006; 30)
·
Terdapat empat keadaan ketika perempuan memperoleh
bagian setengah dari laki-laki
·
Terdapat sebelas keadaan ketika perempuan
memperoleh bagian yang sama dengan laki-laki
·
Terdapat empat belas keadaan dimana perempuan
memperoleh bagian yang lebih besar dari pada laki-laki
·
Terdapat lima keadaan dimana hanya perempuan yang
mendapatkan bagian warisan dalam ahli waris tersebut.
Sementara upaya kaum feminis mencoba mempersoalkan
ketentuan 1:2 dengan pendekatan sosiologis-hermeneutis dengan menyeret surat
al-Nisa‘: 11 pada konteks perkembangan sosial kekinian, dan klaim kepura-puraan
tentang slogan keadilan, secara tegas dapat dijawab bahwa tuntutan tersebut
kurang mendasar. Sebab, ayat-ayat seputar warisan di samping valid dari aspek
transmisi (qath’i wurûd) juga merupakan dalil yang pasti (qath’i
dilâlah), sehingga permasalahan ini bukanlah areal parkir intelektualitas
(baca; ghayr mahal al-ijtihâd). Dengan demikian,
pendekatan hermeneutika tidak dibenarkan beroperasi dalam wilayah sakral ini.
Meskipun ia merupakan metode penafsiran yang cukup hirau dengan pertimbangan
sosio-kultural, psikologis, antropologis, konteks historis, dan lain
sebagainya, namun ia tidak mempunyai otoritas untuk mendekonstruksi ayat-ayat
waris di atas kemudian merekonstruksinya ke dalam konteks kekinian, karena pada
dasarnya ayat-ayat waris tersebut bersifat konstan, up-to-date, dan akan
selalu relevan dalam segala konteks, baik konteks klasik, pertengahan, modern,
maupun kontemporer. Pada titik klimaksnya, jika kalangan feminis, termasuk juga
aktifis JIL, memaksakan kehendaknya memerkosa ayat-ayat waris untuk
direkonstruksi di atas ranah konteks kekinian, maka hal tersebut tidak lain
adalah akibat intervensi hawa nafsu. Allah swt. telah berfirman; “Andaikata
kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka pasti binasalah langit dan bumi ini
dan semua yang ada di dalamnya.” (QS. Al-Mu‘minûn: 71).
Ketiga; Hak Poligami dalam
Islam
Kata-kata poligami (Ar.: ta’addud
al-zaujât) berasal dari bahasa Yunani poly atau polus yang
mempunyai arti gamein atau gamos yang artinya
‘perkawinan’. Secara
harfiah, poligami berarti “perkawinan yang lebih dari satu orang.” Lebih
detailnya, poligami terklasifikasi menjadi poliandri dan poligini. Poliandri
merupakan pernikahan perempuan dengan pasangan laki-laki lebih dari satu orang.
Sedangkan poligini adalah perkawinan laki-laki dengan mempelai perempuan lebih
dari satu. Tetapi dalam tataran wacana terbatas, kata-kata poligami sering
digunakan dalam arti lebih sempit untuk mewakili term poligini.
Dalam
realitas sejarah, pada masa pra-Islam, poligami atau poligini merupakan praktek
umum dengan tanpa ada pembatasan jumlah perempuan yang boleh diperisteri. Di
Romawi, Persia, Arab Jahiliyyah, dan beberapa bangsa Eropa serta Asia Barat,
praktek poligami merupakan realitas sosial dan kultural yang lumrah. Di
daerah-daerah tersebut, seorang laki-laki diperbolehkan mengawini
perempuan-perempuan dengan jumlah tak terbatas sesuai yang mereka sukai. Di
tengah-tengah sistem sosial yang bobrok, pada saat itu poligami mengakibatkan
derajat dan nasib perempuan jauh dari ideal. Namun
pada abad ke-7, agama Islam datang membawa ajaran yang emansipatoris,
menghargai derajat kaum hawa. Ajaran-ajaran yang diproyeksikan membenahi
tatanan sosial yang memprihatinkan itu diantaranya adalah pembatasan jumlah
maksimal poligami, serta syarat-syarat ketat diperbolehkannya poligami.
Legislasi (pensyariatan) aturan itu merupakan upaya untuk kebaikan kaum
perempuan, keturunan, kemampuan laki-laki, dan masyarakat pada umumnya.
Pembatasan jumlah maksimal empat tersebut berdasarkan al-Qur’an, surat
al-Nisa’(4): 3, yang artinya: “Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi
dua, tiga atau empat.”
Tinjauan semantik bangunan
ayat itu menunjukan bentuk kalimat perintah (amr), namun tidak berarti
perintah itu wajib. Mayoritas ulama menyimpulkan, konstruk kalimat perintah
ayat di atas hanya menunjukan makna boleh (baca: ibahah)). Imam Fahr al-Razi
menyatakan, ayat tersebut tidak berhenti pada perintah itu, tapi harus
dilanjutkan sampai pada petikan ayat “meninggalkan poligami akan lebih baik”.
Oleh karenanya, bentuk kata itu bukanlah perintah yang berarti sunnah,
apalagi wajib.
Secara faktual, mamang ulama
berselisih apakah konstruk kata perintah dalam ayat menunjukan hukum wajib,
sunah, atau hanya sekedar boleh, tapi pada ujungnya mereka mencapai kata
sepakat bahwa hukum poligami adalah boleh dengan persyaratan yang cukup ketat.
Poligami yang dianggap absah
menurut hukum, apakah menjadi ketetapan mutlak, tanpa memandang status
perempuannya?. Mengenai hal ini, Muhammad Syahrur dalam karyanya ‘Nahwa
Ushûl Jadîdah Li Fiqh al-Islâmi’ (Menuju Ushul Baru dalam Fiqh Islam)
mengupas soal poligami menurut “teori limit” (nazariyyah al-hudûd).
Menurutnya, harus dibedakan antara batas
kuantitatif dan kualitatif. Batas kuantitatif merujuk pada jumlah yang
memungkinkan bagi perempuan untuk dinikahi. Jumlah ini yakni minimal satu dan
maksimal empat. Konsekuensinya, jika seseorang menginginkan poligami, ia harus
melebihi batas minimal yaitu telah menikahi seorang perempuan. Meskipun
demikian, batas kuantitatif ini sangat lemah ketika tidak diimbangi batas
kualitatif. Batas kuantitatif ini merujuk kepada bagaimana kondisi perempuan
yang akan dinikahi, apa masih gadis atau tidak (hilang mahkota perawannya)
seperti perempuan yang telah dicerai suaminya atau janda. Dalam batas ini, maka
pernikahan pertama bisa dilakukan dengan seorang perempuan dalam kondisi apapun.
Namun, dalam pernikahan selanjutnya, harus melihat keadaan si perempuan
(latar keluarga) yang akan dinikahi sesuai ‘konteks’ ayat. Dalam hal ini
konteks ayat merujuk pada kondisi yatim (orphans), dengan memakai batas
kualitatif, poligami tidak bisa dilakukan
dengan sembarangan, namun hanya bisa dilakukan dengan menikahi perempuan
janda yang memiliki anak yatim sesuai dengan konteks ayat.
Artinya bahwa keberadaan poligami mirip
sebagai sebuah obat untuk menyembuhkan seseorang yang sedang terkena penyakit.
Obat tersebut hanya boleh diminum oleh orang yang terindikasi memiliki
penyakit-penyakit yang mengharuskan dia meminum obat tersebut. Jika ada
seseorang yang tidak sedang terkena penyakit tapi memaksa meminum obat tersebut
maka bisa jadi bukan akan memberikan efek positif melainkan sebaliknya hanya
akan memberikan efek negatif.
Keempat; Hak Persaksian dalam Islam.
Keragaman pada diri manusia baik dari segi biologis,
aspirasi, kebutuhan, kemampuan, telah memberikan inspirasi syariat untuk
membuat konsep kesetaraan yang mengakui faktor spesifik perorangan. Seperti
ketika hak itu berkaitan dengan perempuan lalu menempatkannya pada tabiat
keperempuananya, menyesuaikan posisinya dalam komunitas dan obyeknya dalam
kegiatan sosial masyarakat. Kesetaraan ini bukan dengan memberikan perlakuan
sama kepada setiap manusia yang memiliki kebutuhan berbeda, melainkan dengan
memberikan perhatian sama kepada seluruh manusia agar kebutuhannya yang sesuai
dengan masing-masing individu dapat tercapai. Dan
memang demikian keragaman hak manusia yang diatur dalam yurisprudensi
Islam. Secara empiris, keadilan syariat Islam terletak dalam ketetapannya yang
sesuai dengan kondisi aneka macam karakter yang menjadi bagian integral dari
wujud insan itu. Seorang perempuan tentunya dibedakan dengan laki-laki perihal
persaksiannya mengenahi tindak perbuatan yang menjadi bagian komunitas pria dan
dalam kehidupan secara umum.
Oleh karenanya, hak persaksian kaum perempuan menurut
Islam tidak sekedar merujuk pada redaksi-khithâb al-Qur’an atau hadits,
akan tetapi fokus utamanya adalah memberikan perhatian dan kehormatan yang sama
kepada manusia, sedangkan perlakuan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan
dan konteks masing-masing individu.
Mengenai pembagian job persaksian, telah terklasifikasi
menjadi dua macam:
Pertama, persaksian dalam
suatu perbuatan yang berhubungan dengan hak Allah. Dalam penanganan kasus ini dibutuhkan persaksian dari
jenis laki-laki. Tidak direkrutnya kaum perempuan dalam menguak tindakan yang
bersinggungan dengan hak Allah ini dikarenakan
tabiat perempuan rentan dengan kekeliruan dan mudah lupa. Sementara prinsip
utama dalam kasus yang bersinergi dengan hak Allah ini adalah ihtiyath, meminimalisir
kesalahan. Akhirnya untuk mewujudkan kebenaran tindakan kasus manusia, cara
seperti itu yang semestinya diafirmasi. Spesifikasi kebutuhan jumlah saksi
dalam hak Allah terbagi tiga macam:
(1) persaksian atas perbuataan zina membutuhkan empat saksi laki-laki. Dasar hukum ini adalah QS. al-Nisa’: 15; “Dan
(terhadap) para perempuan yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaknya ada empat orang saksi diantara
kamu (yang menyaksikannya).” Didukung pula oleh surat al-Nur: 4 & 13;
tentang susunan tertib saksi yang harus dimiliki oleh penuduh perbuatan zina (qadzf).
Jika penuduh tidak bisa menghadirkan empat saksi pria, maka dia akan dijatuhi
sanksi jilid.
(2) persaksian berkaitan dengan segala
bentuk kejahatan yang berhubungan dengan hak Allah selain zina, seperti murtad,
perampokan, pembunuhan, menkonsumsi minuman
terlarang, dan mencuri. Persaksian dalam menindak kasus ini membutuhkan
dua orang laki-laki. Ketentuan dua saksi ini berdasarkan firman Allah swt.,
surat al-Baqarah: 282 yang menyatakan: “Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orang lelaki (di antara mu).” Ayat ini didukung oleh QS.
al-Thalaq: 2 yang menegaskan: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil di antara kamu.” Nabi juga bersabda: ‘‘(Mendatangkan)
dua orang saksimu atau sumpahnya (pelaku)”. Semua persaksian untuk
mengungkap tindakan tersebut hanya merekrut golongan pria. Seperti statemen
yang pernah diungkapkan oleh al-Zuhri bahwa ‘‘Sunnah Nabi telah mencatat akan
ketidakbolehan perempuan menjadi saksi dalam hukuman hudud.
(3) persaksian hilal bulan Ramadhan. Dalam hal ini
dicukupkan satu orang saksi karena berlandasan dalil naqli Hadîts
yang menginformasikan bahwa Abdullah ibnu Umar berkata: ‘‘ada beberapa orang
mengaku telah melihat hilal Ramadhan. Kemudian dilaporkan pada Nabi bahwa saya
(ibnu Umar) telah menyaksikannya. Seketika itu Nabi berpuasa dan memerintahkan
umat Muslim untuk melaksanakan ibadah puasa”.
Kedua, hak adami; segala tindakan manusia yang berinteraksi secara horizontal. Persaksian
dalam masalah ini merekrut laki-laki dan perempuan. Perekrutan perempuan dalam
persaksian di sini karena mempertimbangkan terdapat
beberapa kasus yang berpotensi bisa diketahui golongan perempuan. Dalam
mengungkap tindakan yang berinteraksi secara horizontal juga terbagi menjadi
tiga macam:
(1) Persaksian yang dibutuhkan untuk mengungkap tindakan yang umum
diketahui mayoritas orang, seperti kasus cerai (thalaq), masuk-keluar
agama Islam, dan wakaf. Perihal persaksiannya melibatkan dua orang saksi
laki-laki. Alasan ini berdasarkan syari’at yang secara konkrit telah
menjelaskan bahwa, persaksian dalam pernikahan,
perceraian, dan wasiat harus menghadirkan dua saksi laki-laki. Kemudian
dalam perbuatan lain, yang statusnya sama dengan masalah di muka namun belum
ditetapkan dengan jelas, ditetapkan melalui metode qiyâs. Sebagaimana
dalam kasus thalaq, Allah swt. telah menjelaskannya mengenai kebutuhan syahâdah
dalam QS. al-Thalaq: 2 yang artinya: “Maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kalian.”
Adapun terkait dengan washiyat, Allah swt. menjelaskan dalam QS. al-Ma’idah: 106,: “Hai orang-orang
yang beriman, apabila seseorang diantara kalian menghadapi kematian, sedang dia
mau berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil
di antara kalian.”
Demikian pula dengan Nabi, beliau menginformasikan
keharusan jumlah persaksian dalam pernikahan melalui sabdanya: “Tidak ada
pernikan yang dianggap sah, kecuali hadirnya wali dan dua saksi laki-laki.”
Masih banyak dalil yang menerangkan jumlah saksi dalam kasus-kasus
lain. Kupasan tuntas masalah ini telah dijelaskan secara luas dalam babnya
(baca: Syahâdah).
(2) Bentuk interaksi sosial yang memiliki maksud
komersil. Dalam penyelesaian kasus ini harus hadir dua orang saksi laki-laki,
atau satu orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi perempuan, atau bisa
juga satu laki-laki dengan sumpah dari pihak penuduh. Kasus-kasus yang masuk
dalam bagian ini seperti: jual-beli, iqâlah (pembatalan
persetujuan/akad), hiwâlah (peralihan hutang pada orang lain yang
masih ada tanggungan membayar), konpensasi (dhamân), persewaan, dan
lain-lain. Keputusan itu dijelaskan oleh QS. al-Baqarah: 282,: “Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki, jika tidak ada dua
orang laki-laki, maka boleh satu orang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya.”
(3)
Permasalah intim kaum perempuan; yakni segala sesuatu yang menjadi urusan kaum
hawa (the secret of woman), sehingga kebanyakan yang tahu pun dari
golongannya sendiri. Dalam syahâdah-nya ditentukan dua orang saksi
laki-laki atau bisa dengan satu saksi laki-laki bersama dua saksi perempuan. Jika tidak ada seorangpun laki-laki,
maka bisa dengan menghadirkan empat saksi perempuan. Contohnya dalam hal
kelahiran seorang anak, penyusuan, keperawanan perempuan (bikârah), dan
sejumlah kecacatan fisik kaum perempuan.
Dasar hukum persaksian kaum hawa ini adalah Hadîts
riwayat Abi Syaibah. Dia menegaskan; ‘‘Dalam catatan kehidupan Nabi, beliau melegislasi
kesaksian kaum perempuan dalam tindak-tanduk yang hanya diketahui oleh kaum
perempuan, seperti melahirkan, kecacatan fisik perempuan, dan lain
sebagainya’’. Dengan demikian, persaksian seorang perempuan hanya dalam
menentukan tindak perbuatan yang berinteraksi secara horizontal, dan sebatas
bentuk interaksi sosial yang berdimensi materialistik, serta perbuatan intim
perempuan yang jarang diketahui selain jenisnya.
Sekilas, seakan-akan ketentuan dalam persaksian ini
diskriminatif, karena perempuan hanya mendapatkan porsi sedikit dibanding
laki-laki. Namun secara kontemplatif, para pakar hukum Islam telah
merasionalkannya bahwa hal tersebut diakibatkan perempuan kurang mampu
melaksanakan idealisme kesaksian, karena pelupa dan peranannya dalam struktur
sosial sangat rendah. Rasionalisasi ulama tersebut sebenarnya cukup realistis,
sebab menurut Charles Darwin dalam bukunya The Descent of Man
disebutkan, perbedaan antar jenis mempengaruhi perbedaan dalam “ukuran”,
“kekuatan”, “pikiran”, dan lain-lain. Teori Darwin, mengenai perbedaan jenis
kelamin ini, kemudian dikaji dan dipustakakan secara intensif dalam hal
aplikasinya oleh Carl Degler. Degler menyitir pendapat William Thomas dalam
artikelnya yang dipublikasikan pada tahun 1897, yang mengatakan otak perempuan
lebih kecil daripada otak pria. Bahkan teori Darwin dipercayai oleh ilmuan
perempuan, M.A. Hardaker, yang menulis di majalah Popular Science Monthly
(1882), bahwa perempuan mempunyai kemampuan berpikir dan kreativitas yang lebih
rendah daripada pria. Begitu pula Edward Thordike yang percaya akan kemampuan
alamiah pria yang lebih unggul di atas perempuan, dengan berpendapat ‘‘walaupun
anak laki-laki dan perempuan diberikan lingkungan yang sama.’’ Ia
mengantisipasi insting perbedaan seksual akan tetap ‘‘menghasilkan perbedaan
kemampuan mental dan aktifitas antara laki-laki dan perempuan’’.
Keadaan biologis manusia dianggap dapat mempengaruhi
tingkah laku manusia. Pengaruh ini dapat disebabkan oleh keadaan fisik maupun
fisiologi manusia. Mereka yang berorientasi biologis mengatakan faktor genetis
yang membentuk differensiasi peran antara pria dan perempuan adalah faktor dimorphism
seksual yang terdapat dalam homo sapiens. Mungkin perbedaan fisik antara pria
dan perempuan sangat kelihatan jelasnya. Di samping itu perbedaan fisik akan
memberikan implikasi yang signifikan pada kehidupan publik perempuan, sehingga
perempuan lebih sedikit perannya dibandingkan pria. Malahan ada seorang
psikolog terkenal pada awal tahun 1900-an di AS, seorang presiden Clark University,
menyatakan bahwa perbedaan ilmiah antara pria
dan perempuan perlu dituangkan dalam kebijakan pendidikan tinggi untuk
perempuan. Masih menurutnya, mengingat ada perbedaan biologis antara pria dan
perempuan, maka memberikan pendidikan yang sama kepada kedua jenis kelamin
adalah tidak tepat.
Analisis perihal kecakapan dan ruang peran antara
laki-laki dan perempuan telah lama terdeteksi sejak kedatangan Islam. Meskipun
sekarang banyak penelitian yang
menginformasikan keberagaman biologis mempengaruhi kecakapan berpikir
dan peran sosial, namun secara mendasar telah disinyalir sejak kelahiran
syariat Islam. Salah satu contoh kecilnya adalah dalam pengadilan yang
seyogyanya membutuhkan kesaksian akurat, obyektif, dan kekuatan otak. Secara
jujur sebenarnya Islam telah menunjukkannya, namum kadang ketetapan Islam
tersebut dianggap miring oleh sebagian pihak hanya karena alasan penuh
kepura-puraan, yakni kesetaraan antara pria dan perempuan. Kendati yang dibutuhkan bukan masalah jenis kelamin, tapi obyektifitas
dan validitas kesaksiannya.
G. Penutup
Yang harus terus diyakini,
manusia dihadapan Allah swt. itu sama, dan yang membedakan hanya kadar frekwensi
iman dan ketakwaannya. Superioritas
laki-laki, jika dianggap begitu, bukan diproyeksikan untuk menindas
perempuan tapi justru untuk melindungi.
Perbedaan kultural yang
mengakibatkan perbedaan gender dalam masyarakat antara kaum la
ki-laki dan kaum perempuan
seyogyanya tidak dijadikan satu alat untuk saling mengklaim kekuasaan dan
menindas kaum lainnya. Dengan satu asumsi yang sangat simpel bahwa kekuatan dan
superioritas yang dimiliki satu pihak bukanlah sesuatu yang tidak bisa
dipindahkan ke pihak lain karena keberadaannya yang berkelindan dengan sosio
kultural tertentu. Jadi bisa saja di satu tempat perempuan memiliki nilai
superior dalam satu sisi dan di tempat lain superioritas dari sisi tersebut
justru dimiliki oleh kaum laki-laki.
H. Daftar Pustaka
Buthi, Said Ramadhan, Al-Mar’ah Baina
Tughyan al-Nidzam al-Gharbi wa Lathaif al-Tasyri’ al-Rabbani, Beirut; Dar
al-Fikr, 2008
Fakih, Mansour, Analisis Gender dan
Trasformasi Sosial, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2007
Imarah, Muhammad, al-Tahrir al-Islami
li al-Mar’ah, Cairo; Dar al-Syuruq, 2001
Jum’ah, Ali, Al-Mar’ah fi al-Hadhoroh
al-Islamiyah, Cairo; Dar as-Salam, 2006
Tong Putman, Rosemarie, Feminist
Thought: A More Comprehenship Introduction, Second Edition, dialih
bahasakan oleh Aquarini Priyatna Prabasmoro dengan judul Feminist Thought:
Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis,
Yogyakarta; Jalasutra, 1998
Umar, Nasarudin, dan kawan-kawan, Bias Jender
dalam Pemahaman Islam, Yogyakarta; Gama Media, 2002
0 comments:
Posting Komentar