A.
Pendahuluan
Dalam perjalanan
sejarah kehidupan manusia, Tuhan selalu membekali manusia dengan aturan-aturan
hidup berupa agama. Tercatat telah banyak agama langit (agama samawi) yang
diturunkan oleh Tuhan lengkap dengan tokoh manusia yang dijadikan sebagai duta
untuk menyampaikan agama-agama tersebut. Islam yang pada akhirnya dijadikan
sebagai agama paripurna tentu saja dituntut mempunyai ciri khas khusus yang
memungkinkan ia bertahan melawati perubahan-perubahan zaman.
Kata sifat “sholihatun
li kulli zaman wa makan” (tetap
aktual untuk sepanjang masa dan keadaan) maksudnya adalah bahwa aturan-aturan
yang terkandung dalam wahyu Tuhan tersebut dapat selalu digunakan sebagai
pedoman hidup (way of life) melewati berbagai ruang dan waktu. Salah
satu aspek yang menarik dan menjadi titik tolak dari wahyu Tuhan itu adalah
mengenai hukum Islam atau “Syari’ah Islamiyah”. Dalam beberapa
kajian, tema itu sering juga disebut dengan istilah “Fikih Islam”.
Fikih islam
sendiri merupakan kumpulan hukum-hukum syariah yang bersifat ilmiyah dan
diambil melalui dalil-dalil yang
terperinci. Dalil-dalil yang dijadikan sebagai undang-undang hidup (way of
life) tersebut bersumber dari dua kurva utama yaitu al-Quran dan Sunnah Rosul
kemudian ditambah dengan dalil-dalil tambahan lainnya. Keberadaan fikih Islam
menjadi sangat penting karena setiap hal-hal baru yang muncul dalam masyarakat
harus terlebih dahulu diverivikasi dan diknfirmasi kebolehannya dengan
menggunakan fikih tersebut.
Hal ini menjadi
sangat penting dan sensitif ketika belakangan ini sering kita jumpai
stigmatisasi negatif terhadap hukum islam oleh beberapa kalangan masyarakat
baik kalangan luar Islam maupun masyarakat Islam sendiri. Maraknya
kelompok-kelompok islam konservatif yang sering melakukan aksi teror dengan
mengatasnamakan hukum Tuhan menjadi salah satu sebab dari stigmatisasi negatif
tersebut. Ditambah lagi dengan perkembangan kajian fikih pesantren yang
terkesan kaku dan belum bisa melepaskan diri dari superioritas teks-teks
turast. Berbagai kajian hukum Islam yang dihasilkan oleh kalangan pesantren
terkadang malah membuat masyarakat semakin susah dan terkesan tidak dapat
berdialog positif dengan konteks yang ada sekarang ini.
Berawal dari
premis-premis di atas, fikih Islam dianggap seperti kehilangan nilai dinamisnya.
Ia menjadi seperti barang mati yang tidak dapat dikembangkan kembali dan
pembacaannya terkesan hanya bersifat repetitif saja. Lebih ironis lagi ketika
produk-produk hukum yang dihasilkan oleh fikih Islam belakangan ini terkesan
sangat keras, kaku, sangar dan kurang mencerminkan sifat “rahmatan lil
‘alamin”nya. Fikih Islam lalu dipandang sebagai produk yang eksklusif,
bukan inklusif dan tidak rasional karena banyak produk hukumnya yang terkesan
aneh dalam masyarakat.
Maka dalam
makalah ini, saya ingin mencoba melakukan pembacaan kembali terhadap fenomena
tersebut. Setidaknya ada beberapa hal yang harus kembali dititik beratkan untuk
menjawab stigmatisasi negatif yang sudah berkembang itu. Salah satu caranya
adalah dengan mempelajari kembali ushul fikih dan mengkaji perangkat-perangkat
pembuat hukum sebelum ia menjadi satu produk yang siap untuk ditanzilkan
ke masyarakat.
B. Kilas
Balik Historisitas Hukum Islam
Pada masa
Rosulullah, sumber hukum berpusat langsung pada Rosulullah SAW. Keberadaan
Rosul sebagai pensyarah tunggal atas al-Qur’an menjadikan semua permasalahan
hukum dalam masyarakat dikembalikan pada beliau. Pada saat itu kebutuhan hukum
praktis bersifat pertanyaan-pertanyaan langsung dari para sahabat dan kemudian
dijawab oleh Rosulullah baik melalui turunnya wahyu ataupun dengan ijtihadnya
sendiri. Al hasil secara umum sember hukum pada saat itu bersumber pada wahyu
al-Quran dan Sunnah Rosul.
Belum terdapat
perbedaan pendapat dan perselisihan tentang hukum pada masa Rosulullah, karena
semua permasalahan dapat langsung dikonfirmasikan kepada Rosul. Pun kala itu
kebutuhan akan sebuah metodelogi hukum belum begitu terasa karena kebutuhan
untuk berijtihad sendiri masih sangat minim. Semua permasalahan hukum yang
terjadi pada masyarakat langsung dikonfirmasi dengan turunnya ayat al-Quran
lalu kemudian Rosul menjelaskan maksud dari ayat-ayat tersebut secara
interaktif.
Setelah nabi
Muhammad wafat dan al-Quran selesai masa tanzilnya, perkembangan hukum Islam
mulai berbeda. Ketiadaan Rosul menuntut para sahabat untuk menyelesaikan
sendiri permasalahan-permasalahan baru yang muncul dan belum pernah ada pada
masa Nabi. Lalu timbullah ijtihad-ijtihad para sahabat yang tetap berpedoman
pada dua sumber awal yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Pada fase ini embrio
metodelogi konklusi hukum mulai muncul meskipun belum didiskursuskan secara
formal dalam sebuah buku yang sistematik. Beberapa sahabat yang menggantikan peran
Rosul sebagai pemimpin bahkan terkadang melampaui teks-teks primer dengan
ijtihadnya masing-masing. Umar bin al-Khattab adalah salah satu yang dengan
berani melakukan ijtihad dalam permasalahan hukum cambuk bagi peminum khamr.
Dengan berlandaskan pada dalil kemaslahatan umum beliau menghukum para peminum
khamr dengan cambukan sebanyak delapan puluh kali, padahal sebelumnya
Rosulullah dan Abu Bakar hanya mencambuk mereka sebanyak empat puluh kali. Pada
fase ini sumber hukum dalam masyarakat bertambah dari sebelumnya yang hanya
menggunakan al-Quran dan Sunnah Rosul lalu bertambah dengan fatwa dan konsensus
para sahabat.
Pada abad kedua
dan ketiga hijriyah, masuklah perkembangan hukum Islam pada fase setelah
sahabat yaitu fase tabi’in dan para mujtahid. Fase ini ditandai dengan adanya
pembukuan hukum-hukum Islam yang di hasilkan oleh para pendahulu mereka yaitu
para sahabat Rosul. Bahkan di tempat lain banyak dijumpai ulama’-ulama’ yang
mengkodifikasikan fatwa-fatwa mereka menjadi sebuah buku. Generasi ini juga
menjadi titik awal dimulainya pembukuan dan diskursus metodologi hukum Islam.
Daerah kekuasaan Islam yang semakin meluas dan semakin bercampurnya orang arab
dengan orang non arab membuat sedikit banyak dekadensi pada kualitas penguasaan
pembacaan teks-teks primer dalam hukum Islam. Dari situlah para ulama’ mulai
mencoba membuat satu metodologi dan membukukan kaidah-kaidah sebagai panduan
dalam memproduk satu hukum.
Salah satu ciri
khas dari fase ini adalah mulai tumbuhnya perbedaan pendapat yang disebabkan
oleh perbedaan cara pandang dalam berijtihad dan juga faktor tipologi sosial
tempat seseorang hidup. Ada
dua tipologi ulama’ dalam berijtihad yang mana antara yang satu dengan yang
lainnya memiliki perbedaan yang sangat kontras.
Pertama, kubu yang
dikenal dengan “Ahlu al-Hadits” yang berbasis di daerah Hijaz dan
sekitarnya. Beberapa ulama’ memandang bahwa diantara yang melatarbelakangi
paradigma literalistik pembacaan kelompok ini adalah karena keterpengaruhan
oleh metodologi Abdullah bin Umar dari kalangan sahabat dan Said bin Musaib
dari kalangan Tabiin. Meereka adalah tokoh-tokoh yang terkenal memperoleh
banyak akses perbendaharaan hadits Rosul. Faktor lain adalah kondisi sosio
kultural sekitar wilayah tersebut yang sebagian besar merupakan tempat turunnya
wahyu, sehingga kebudayaan literalistik tekstualis wahyu begitu terasa kental
di sana . Salah
satu ulama’ yang menjadi pioner garda depan kelompok Ahlu al-Hadits ini
adalah Imam Malik bin Anas dengan kumpulan fatwanya berupa kitab “Muwatta’”
. Ketika itu Imam Malik membukukan fatwa-fatwanya atas permintaan pemerintahan
khalifah Al-Mansur yang bermaksud ingin menjadikan faham Imam Malik sebagai
faham resmi pemerintahan pada kala itu.
Kedua, adalah
kubu yang dikenal dengan “Ahlu al-Ra’yi” yang berbasis di daerah Irak.
Kelompok ini secara umum mempunyai ciri memberikan ruang yang sangat luas pada
akal manusia dalam berijtihad. Peran akal lumayan diapresiasi oleh kelompok ini
karena keterpengaruhan mereka dengan gaya
metodologi ijtihad Abdullah bin Mas’ud yang merupakan salah satu murid dari
Umar bin al-Khattab. Faktor lain yang mempengaruhi kecenderungan rasionalisme
kelompok ini adalah tipologi masyarakat daerak Irak yang memungkinkan
berbaurnya banyak aliran dan madzhab seperti Khawarij, Syiah, bahkan terdapat
juga aliran-aliran tradisional. Tempat yang jauh dari daerah turunnya wahyu
juga menyebabkan terbatasnya akses terhadap hadits-hadits Rosul dan
tafsir-tafsir sahabat. Kemudian dari metodologi ijtihad dan ciri khas yang
berbeda-beda diantara kedua kelompok itulah nantinya timbul banyak madzhab
dalam kajian Hukum Islam. Dan yang paling terkenal adalah munculnya madzhab
fikih empat (madzhab Maliki, madzhab Hanafi, madzhab Syafi’i, dan madzhab
Hambali) yang sampai sekarang masih dijadikan sebagai referensi utama dalam
berit’ba’ dan bertaqlid.
Fase ini bisa
dibilang merupakan fase keemasan dari perkembangan hukum Islam. Selain
banyaknya pembukuan fatwa-fatwa hukum Islam dalam berbagai madzhab fase ini
juga mengawali sebuah pembahasan medologolis sebagai perangkat hukum yang
kemudian kita sebut dengan istilah “Ushul Fikih”. Jika fikih merupakan
kumpulan produk-produk hukum yang sudah jadi maka ushul fikih adalah kumpulan
kaidah-kaidah yang digunakan sebagai perangkat untuk menghasilkan hukum itu
sendiri. Para ulama’ pada masa ini sangat
sadar bahwa kebutuhan untuk memformulasikan sebuah metodologi menjadi sangat
penting ketika teks-teks primer dianggap sangat terbatas sedangkan
permasalahan-permasalahn baru tidak akan pernah berhenti sepanjang masa. Maka
dengan membuat formulasi metodologi ushul fikih diharapkan generasi yang akan
datang akan terus mampu mengatasi tantangan zaman dalam membuat hukum yang
sesuai dengan asas al-Quran dan Sunnah Rosul tanpa harus melakukan penjiplakan
dan pemaksaan analogi dengan naskah-naskah teks fikih para pendahulunya.
Dalam daftar
buku-buku “Fihrisat” yang disusun oleh Ibnu Nadim seorang ahli sejarah
sebenarnya penyusunan metodologi ushul fikih sudah dimulai pertama kali oleh Yusuf
Shohib Abi Hanifah akan tetapi naskah itu sampai sekarang tidak dapat
ditemukan. Sehingga yang lebih akrab dengan kita adalah karya Muhammad bin
Idris as-Syafi’i yang terkenal dengan kitabnya “Al-Risalah”.
Dalam kajian
usuhul fikih sendiri terdapat perbedaan tipologi pemikiran yang secara umum
dapat kita bagi menjadi tiga kelompok. Pertama adalah kelompok ahli kalam “Ulama
al-Kalam” . kelompok ini mempunyai identitas gaya metodologi deduktif. Mereka lebih
berkonsentrasi pada pembentukan kaidah-kaidah dasar ushul fikih secara ilmiyah
tanpa harus memperhatikan persesuaiannya dengan hukum-hukum cabang yang diusung
dalam fikih madzhabnya. Diantara karya-karya kelompok ini yang terkenal adalah
kitab “Al-Mustashfa” karangan Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi’i, kemudian
kitab “Al-Ahkam” karya Abi Hasan al-Amadi, lalu kitab “Al-Minhaj”
karangan Baidhowi al-Syafi’i.
Kedua adalah
kelompok Hanafiyah, “Ulama al-Hanafiyah”. Kelompok ini lebih menekankan
pada gaya
metodologi induktif (istiqra). Mereka membangaun kaidah-kaidah ushul
fikih dengan berdasar pada hukum-hukum cabang yang telah dibuat oleh imam
madzhab mereka. Dari cabang-cabang tersebut kemudian di susun satu persatu
kaidah sebagai metodologinya. Diantara karya yang terkenal dari kelompok ini
adalah kitab “Ushulu Abi Zaid al-Dabusi”, kemudian kitab “Ushulu
Fakhru al-Islam al-Bazdawi”, lalu kitab “Al-Mannar” karya Al-Hafidz
al-Nasafi serta syarahnya yang terkenal dengan nama “Misykat
al-Anwar”.
Ketiga adalah
kelompok yang mencoba menggabungkan gaya
berijtihad diantara keduanya. Yaitu dengan membuat kaidah-kaidah sebagai dasar
metodologisnya akan tetapi juga tidak melupakan persesuainnya dengan
cabang-cabang hukum yang ada dalam fikih turats. Diantara kitab yang terkenal
dari kelompok ini adalah “Badi’ al-Nidzam al-Jami’ baina al-Bazdawi wa
al-Ahkam” karya Mudhafar al-Din al-Baghdadi, lalu kitab “al-Tahrir”
karya Kamal bin al-Hamam, lalu kitab “Jam’u al-Jawami’” karya
Imam Ibnu Subky.
Fase yang
terakhir dari perkembangan sejarah hukum Islam dan ushul fikih adalah fase
pasca pembukuan (ma ba’da tadwin). Fase ini dimulai sejak berakhirnya
masa tabi’in dan tabi’i al-tabi’in dan berjalan sampai sekarang. Fase inilah
yang dikatakan sebagai fase awal kemunduran ilmu-ilmu Islam termasuk di
dalamnya ilmu fikih dan ushul fikih. Banyaknya perebutan kekuasaan antar umat
Islam dan semakin meluasnya daerah Islam yang dikuasai kaum non muslim
menjadikan Islam semakin mundur. Banyak yang mengatakan bahwa pintu Ijtihad
telah tertutup dan menyebabkan segala permasalahan yang baru hanya
diqiyas-qiyaskan dengan teks-teks lama walaupun terkadang tidak menemukan
kesamaan illatnya. Pembacaan terhadap teks pun mulai menjauh dari nilai-nilai
inklusif yang dahulu diusung oleh para penggagas ushul fikih sehingga sekarang
ini banyak produk-produk hukum yang terkesan rigid, kaku, dan kurang bisa
diterima oleh masyarakat.
C. Membuka
Kembali Pintu Ijtihad
Fenomena yang
terjadi dalam diskursus fikih dalam masyarakat akhir-akhir ini tentu saja
menyisakan banyak pertanyaan yang harus dibenahi dan dipelajari ulang. Semakin
banyaknya produk hukum yang dihasilkan oleh instansi-instansi keagamaan maupun
pesantren yang kurang mendapat sambutan positif dari masyarakat setidaknya
mengisyaratkan adanya permasalahan dalam fikih maupun dalam metodologi
pembuatnya. Tentu saja kita tidak bisa dengan apatis mengatakan bahwa
perkembangan zaman yang semakin tua membuat masyarakat semakin kehilangan nilai
keagaamnya sehingga seakan tidak lagi mau menerima dan menghormati
produk-produk hukum yang dihasilkan oleh agama. Justru fenomena ini harus bisa kita
jadikan sebagai awal untuk berintropeksi diri, memandang ke dalam dan membenahi
kesalahan-kesalahan.
Salah satu titik
point penting dari diskursus tersebut adalah tentang ijtihad. Ijtihad berarti
satu aktivitas yang dilakukan dengan mengerahkan segala kemampuan untuk
menghasilkan satu produk hukum dengan cara merujuk pada al-Quran dan hadits
rosul (istinbat). Aktivitas ijtihad ini sering kali dipahami sebagai
satu aktivitas eksklusif yang sulit dijangkau dan tidak boleh dimasuki oleh
siapapun kecuali orang-orang tertentu yang sudah memenuhi persyaratan sebagai
seorang mujtahid. Asumsi seperti ini pada beberapa abad lalu sempat menimbulkan
satu pendapat bahwa pintu untuk melakukan aktivitas ijtihad telah tertutup
untuk umum. Asumsi tertutupnya pintu ijtihad bisa jadi ikut mempengaruhi gaya metodologi pembuatan
hukum pada masyarakat kita sekarang ini. Hal itu berdampak pada kemalasan kita
untuk mempelajari metodologi ushul fikih dan lebih suka mengqiyas-qiyaskan
masalah yang baru dengan fikih-fikih yang sudah dikodifikasikan oleh para
pendahulu. Sehingga ketika hukum itu menemukan korelasinya kita tetap tidak
mengetahui “illat” (alasan rasional) dari produk hukum yang telah kita
hasilkan. Dan lebih ironis lagi ketika permasalahan baru tersebut tidak
menemukan “illat” yang sama akan tetapi masih terus dipaksa
dianalogikan.
Wacana
tertutupnya pintu ijtihad sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke empat
hijriyah. Dimulai saat pertengahan abad
ketiga ketika penulisan karya-karya ilmiyah dalam diskursus hukum Islam mulai
berkurang, terjadi kemunduran intelektualitas pada zamannya. Akan tetapi
teks-teks al-Quran yang terbatas kemudian menyebabkan kebutuhan untuk
berijtihad tidak dapat dihindarkan. Ijtihad saat ini merupakan hal yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, kebutuhan akan adanya ijtihad sangat mendesak
karena permasalahan yang akan muncul tidak akan habis dan selalu membutuhkan
konfirmasi hukum dalam Islam. Seperti pendapat imam Syatibi dalam kitab “Muwafaqot”
nya ; “sesungguhnya permasalah di dalam dunia ini tidak terbatas maka
kita tidak bisa mengebiri permasalahan-permasalahan itu dalam dalil-dalil yang
terbatas. Maka dari itu dibutuhkan pembukaan pintu ijtihad dengan metodologi
Qiyas ataupun yang lainnya”.
Beberapa pemikir
mencoba menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan banyaknya ulama yang
berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Salah satu kesimpulan dari
analisis itu adalah bahwa ketertutupan itu disebabkan kesimpulan mereka bahwa
tidak akan ada orang bahkan ulama pasca masa “tadwin” yang mampu sampai
pada taraf mujtahid. Karena keyakinan mereka akan tidak dapat terpenuhinya
syarat-syarat untuk sampai ke tingkatan mujtahid itulah kemudian mereka
menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak berakhirnya masa tadwin
tersebut.
Sebetulnya
permasalahan persyaratan verifikatif untuk menjadi seorang mujtahid adalah satu
persoalan yang komplek namun sensitif. Disatu sisi ada yang berpendapat
sebaiknya memang kemungkinan untuk masuk dalam persyaratan itu tidak dibuka
terlalu lebar agar menghindari kecerobohan setiap orang yang ingin melakukan
aktivitas ijtihad. Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa persyaratan
ferivikatif tersebut tidak selayaknya dibuat sangat ketat dan berat, justru
harus dibuka dan dimudahkan akses dalam persyaratan itu agar aktivitas ijtihad
dapat dicapai oleh lebih banyak orang dan fikih dapat terus berkembang secara
dinamis.
Dalam
perkembangan metodologi ijtihad memang telah terjadi semacam pergeseran
paradigmatik yang menjadi konsekuensi dari perkembangan zaman. Pada masa
sahabat, aktivitas ijtihad tidak diikat oleh persyaratan apapun mengingat
karakter para sahabat yang masih sangat dekat dengan masa kenabian dan mereka
juga ikut mengalami sendiri perjalanan turunnya wahyu, sehingga persyaratan
normatif kala itu hanya berkisar pada kemampuan dalam memahami wahyu Tuhan dan Sunnah
rosul ditambah dengan memahami konsensus sahabat. Baru setelah masa sahabat
mulai terjadi perbedaan pendapat antara para ulama mengenai persyaratan yang
harus dipenuhi agar seseorang diperbolehkan melakukan aktifitas ijtihad dan
bahkan memberikan fatwa. Imam Ghazali mengatakan bahwa pada masa itu perbedaan
pendapat antara para ulama berputar pada tiga persyaratan inti. Hampir semua
ulama sepakat bahwa untuk menjadi mujtahid seseorang setidaknya harus menguasai
tiga ilmu inti itu yaitu ilmu hadits, ilmu bahasa, dan ilmu ushul fikih selain
tentunya ditambah sumber pokok sebelumnya yaitu al-Quran, Sunnah rosul, dan
konsensus sahabat. Akan tetapi mereka berbeda pendapat pada tataran detail dari
ketiga ilmu ilmu yang dibuat sebagai standarisasi persyaratan mujtahid.
Hal ini juga berhubungan
dengan permasalah boleh tidaknya melakukan aktivitas ijtihad parsial (tajazu
al-ijtihad) dalam fikih. Yang dimaksud dengan ijtihad parsial atau tajazu
al-ijtihad adalah aktivitas seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad secara
rinci terhadap satu permasalahan akan tetapi ia tidak mampu melakukan ijtihad
terhadap permasalah-permasalahan lainnya karena keterbatasan pengetahuan
mengani dalil-dalil pendukungnya. Sebagian besar ulama’ ushul fikih membolehkan
seseorang melakukan ijtihad parsial dan hukum yang dihasilkan tetap sah dan
boleh dijadikan satu fatwa hukum. Diantara ulama yang berpendapat demikian
adalah al-Hindi, al-Rofi’i, al-Ghazali, Ibnu Daqiq al-‘Id, al-Subky.
Meskipun ada juga sebagian kecil ulama yang tidak memperbolehkan ijtihad parsial
dan mengharuskan seseorang yang ingin menjadi mujtahid harus mampu melakukan
ijtihad dalam berbagai masalah yang ada secara terperinci. Maka apabila
mayoritas ulama me-sahkan metodologi ijtihad parsial ini, secara otomatis
batasan-batasan jumlah hadits yang harus dikuasai oleh seseorang yang ingin
melakukan ijtihad tidak menjadi penting lagi. Seorang mujtahid hanya diharuskan
cukup memiliki kemampuan untuk menganalisis permasalahan yang ada dengan
dalil-dalilnya baik dari al-Quran, hadits nabi ataupun dalil sekunder lainnya
dalam ruang dan waktu saat terjadi permasalah itu saja. Ia tidak diharuskan
mengetahui dan menguasai analisis dalam permasalahan lain apalagi menguasai
dalil-dalil dalam permasalahan lainya.
Hampir sama
dengan permasalahan ilmu hadits di atas, al-Ghazali juga kembali menjadi salah
satu tokoh yang membuka dan memudahkan persyaratan normatif tentang penguasaan
ilmu bahasa dan ushul fikih. Dalam ilmu bahasa (‘Ilm al-Lughoh) Ghazali
berbeda pendapat dengan Syatibi. Menurut Ghazali seseorang tidak diharuskan
menguasai ilmu bahasa sampai detail hingga menyamai tingakatan ahli bahasa
seperti Imam Kholil, Imam Syibawaih, al-Mubarrod dan lain
sebagainya. Seorang mujtahid hanya dituntut dapat menganalisis satu bahasa teks
al-Quran dan hadits dan dapat membedakan susunan kalimat menurut tarkibnya
masing-masing.
Dari
pendapat-pendapat di atas dapat kita simpulkan bahwa pintu ijtihad sebenarnya
tidak pernah ditutup oleh para ulama. Mereka membatasi aktivitas ijtihad dengan
memperketat persyaratan-persyaratan normatif untuk menghindari kecerobohan
orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan agama dalam melakukan ijtihad dan
membuat satu hukum. Hal tersebut juga perlu kita apresiasi karena bagaimanapun
akan menjadi sangat berbahaya jika kran ijtihad dibuka bebas tanpa diberikan
batasan-batasan normatif secara hal itu akan mengakibatkan merebaknya
hukum-hukum yang kurang bisa dipertangungjawabkan kebenaran ilmiyahnya. Akan
tetapi bagi mereka yang mempunyai basic ilmu agama yang mencukupi dan mampu
melakukan aktivitas ijtihad meskipun hanya sebatas ijtihad parsial ataupun
ijtihad jama’i maka akan sangat dianjurkan untuk mengambil peran
tersebut untuk menjaga agak hukum islam tidak statis.
D. Maqosid
Syar’iyah dan Inklusivitas Fikih
Agama dan akal
adalah dua rahmat Tuhan yang diberikan kepada manusia untuk kebaikan dan
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Keduanya berposisi sebagai penuntun sehingga
keberadaannya harus saling melengkapi. Agama sendiri (wahyu) diturunkan oleh
tuhan melewati ruang dan waktu tertentu, sehingga ia mau tidak mau juga
merupakan sebuah hasil dialektika dengan kebudayaan dan permasalahan yang
terjadi pada zamannya. Untuk itulah kita sebagai generasi yang tidak mengalami
masa itu harus dapat membaca dan mendialektikannya dengan konteks dimana kita
hidup saat ini. Kontekstualisasi tersebut salah satu caranya adalah dengan
mengurai nilai-nilai luhur yang menjadi maksud dalam setiap teks (nash)
kemudian menariknya kedalam aspek lainnya yang lebih luas. Konsep inilah yang
dalam ilmu fikih terkenal dengan istilah Maqosid al-Syar’iyah.
Epistem awal
dari konsep ini bertumpu pada kemaslahatan umum. Inilah yang menyebabkan konsep
ini sangat berperan penting dalam mengukuhkan nuansa inklusifitas fikih.
Berawal dari keyakinan bahwa segala hukum yang diturunkan oleh Tuhan dalam
al-Quran pasti dimaksudkan untuk kemaslahatan hidup manusia. Baik dalam
kehidupan di dunia maupun kelak dalam kehidupan di akhirat. Hal itu karena
Tuhan adalah dzat yang maha Cukup sehingga Ia tidak membutuhkan kemaslahatan karea
Dia lah sang pencipta kemaslahatan itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah salah murid dari Ibnu Taimiyah bahwa inti dari semua
hukum Tuhan adalah untuk kemaslahatan umat itu sendiri.
Yusuf Qordhowi
seorang pemikir kontemporer dan ahli fikih mendefinisikan maqosid syari’ah
dengan istilah “tujuan akhir dari wahyu (nushus) yang berupa kumpulan
perintah, larangan, dan nilai-nilai positif di dalamnya”. Atau maqosid ini bisa
kita sebut dengan istilah “hikmah” dari sebuah hukum. Ia kemudian
membedakan antara hikmah dengan “illat” (alasan hukum) yang
biasanya digunakan untuk menganalogikan dua hukum dalam epistemologi qiyas. Hikmah
adalah nilai umum yang melatarbelakangi suatu hukum sementara illat adalah
alasan yang melatarbelakangi terjadinya satu hukum. Illat bersifat lebih khusus
dan lebih mudah dianalisis sedangkan hikmah lebih umum dan terkadang tidak
dapat dianalisis dengan mudah. Contoh kasusnya adalah hukum haramnya meminum
khamr dalam fikih. Illat atau alasan yang melatarbelakangi hukum haram tersebut
adalah karena sifat memabukkan (muskir) yang terkandung dalam khamr.
Sedangkan hikmah dari hukum haram meminum khamr di atas adalah untuk menjaga
kesehatan akal manusia (hifdzi al-‘aqli). Illat hukum nantinya bisa
dijadikan alat untuk menganalogikan permaslahan lain ke hukum awal ketika
mempunyai kesamaan illat seperti ketika meganalogikan hukum haramnya meminum bir
anggur (nabidh) dengan khamr karena mempunyai kesamaan illat (alasan
hukum) yaitu dapat memabukkan. Sedangkan hikmah hukum tidak dapat digunakan
sebagai alat untuk menganalogikan hukum.
Setelah masuk ke
dalam epistemnya kemudian kita membahas bagaimana cara untuk mengetahui maqosid
yang terkandung dalam wahyu Tuhan untuk kemudian ditransformasikan ke dalam
hal-hal lain yang lebih umum. Ada
dua cara untuk menganalisis satu teks dan mencari nilai maqosid atau hikmah
yang melatarbelakangi teks itu.
Pertama, metode analisis
bahasa. Meskipun tidak semua teks-teks (ayat-ayat) dalam al-Quran menyebutkan
satu alasan hukum ataupun hikmah dari satu hukum akan tetapi kadangkala kita
bisa mengalisisnya melalui cara ini. Biasanya ayat yang menjelaskan alasan
hikmah dibalik pensyariatan satu hukum menggunakan alat bantu huruf ta’lil
di dalamnya. Meskipun kadang kala juga kita bisa nemenukan dengan jelas dalam
ayat tertentu alasan hukumnya tanpa disertai dengan perantara huruf ta’lill
di dalamnya. Seperti pada ayat “ma afaa allahu ‘ala rosulihi min ahil
al-qura falillahi wa lirrosuli wa lidzi al-qurba wa al-yatama wa al-masakin wa
ibn al-sabil kay la yakuna dulatan baina al-aghniyai minkum” (Apa saja harta rampasan (fai-i) yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin
dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu. [al-Hasyr, ayat 7]). Dari ayat
tersebut kita dapat langsung mengetahui hikmah dari pembagian harta rampasan
perang kepada kelompok-kelompok yang telah ditentukan, yaitu agar harta
tersebut tidak berkumpul pada satu golongan saja sehingga dihawatirkan dapat
menimbulkan kapitalisme sosial karena harta tersebut hanya berputar pada
orang-orang kaya saja. Dari segi ilmu bahasa (bahasa arab) penunjukan ‘illat
pada ayat itu ditandai dengan “kay” yang merupakan salah satu huruf ta’lil.
Kedua, dengan
menggunakan metode analisis induktif (istiqro) pada hukum-hukum parsial
dalam nash kemudian memindahkannya kedalam kaidah-kaidah umum. Metode ini sudah
dibuatkan rancang epistemnya oleh ulama terdahulu dan terus mengalami evolusi
positif sepanjang generasi. Tokoh yang terkenal pertama kali mengangkat
metodologi ini adalah al-Ghazali kemudian diteruskan oleh al-Qurofi dan kemudian
sampai di tangan penggagas maqosid al-Syatibi. Metode ini secara umum membagi
tingkatan maslahah ke dalam lima
tingkatan secara hirarkhi:
1)
Hifdhu al-Din (menjaga
kemaslahatan agama)
2)
Hifdhu al-Nafs (menjaga
kemaslahatan jiwa)
3)
Hifdhu al-‘Aql (menjaga
kemaslahatan akal manusia)
4)
Hifdhu al-‘Irdhi (menjaga
kehormatan manusia)
5)
Hifdhu al-Mal (menjaga
harta manusia)
Selain konsep
maslahah yang dibuat oleh Ghazali diatas, para ulama juga menambahkan konsep
maslahah lain dalam kehidupan umat yang harus diposisikan sebagai hal primer (dhoruriyah)
seperti kebebasan (al-hurriyah), persamaan hak (al-musawah),
perlindungan hak hidup (al-takaful) dan hak asasi manusia (huquq
al-insan).
Kemudian konsep
maslahah tersebut dalam pelaksanaannya dibagi dalam tiga tingkatan. Sehingga
ketika seseorang dihadapkan pada satu masalah, dia bisa memilah dan memilih
kemaslahatan mana yang lebih penting dan harus didahulukan. Tiga tingkatan
tersebut adalah: Pertama, kemaslahatan primer (al-dhoruriyat), Kedua,
kemaslahatan sekunder (al-haajiyat) dan yang Ketiga, kemaslahatan
tertier (tahsinat). Pada prakteknya konsep tersebut harus dibawa ke arah
yang lebih luas dan produktif. Seperti contoh, ketika Islam sangat menjungjung
tinggi kemaslahatan akal dengan menempatkannya kedalam kebutuhan primer yang
harus dijaga. Buktinya adalah dengan memberikan hukum haram kepada minuman
khamr yang dapat memabukkan dan merusak akal manusia, maka lebih luas lagi
kemaslahatan akal itu juga harus dijaga dengan cara memberikan pendidikan yang
bermutu dan berkesinambungan, mengkaji ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk
orang lain dan lain sebagainya.
Maqosid Syari’ah
sebenarnya juga merupakan satu reaksi dari atas muncunya kelompok-kelompok yang
mempunyai paradigma berfikir yang radikal dalam hukum Islam. Baik paradigma
radikal kanan maupun paradigma radikal kiri. Terjadi fenomena paradigma dua
kelompok besar yang akhirnya mengilhami munculnya konsep maqosid syariah
sebagai penengah dari keduanya.
Kelompok yang
pertama adalah “Skriptualis Tekstualis” atau “al-dhohiriyah al-judud”.
Mereka adalah kelompok yang melakukan pembacaan teks secara tekstual (harfiyah)
dan tidak mau menggunakan akal sebagai alat bantu dalam mendialogkan teks
dengan konteks yang ada. Di satu tempat kelompok ini diidentikkan dengan
kelompok ahli hadits yang berada di Hijaz, tapi para ulama menganggap tidak
semua ahl al-hadits mempunyai gaya
berfikir tekstualis dan anti kotekstual. Ulama-ulama ahli hadits yang juga
terkenal sebagai ulama fikih (fakih) biasanya dapat menyeimbangkan
kebiasaan tekstual mereka dengan pola pikir yang lebih rasional dan inklusif
seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Bukhori, Abi Hajar al-‘Asqolani dan lain
sebagainya. Kelompok tekstualis ini dalam dunia kajian fikih direpresentasikan
oleh Imam Ibnu Hazm al-Dhahiri salah satu ahli fikih yang cerdas. Melalui kitab
“al-Ahkam” nya dia mengkonsep paradigma tekstualisnya dalam ushul fikih.
Dia menolak segala bentuk tafsir dan ta’wil atas teks al-Quran dan Hadits yang
mencoba membelokkan dari makna aslinya sebagai sebuah kalimat yang awal. Ada beberapa ciri khas
yang dapat kita lihat dari kelompok ini diantaranya, kelompok ini sangat
mengutamakan paradigma tekstualis. Biasanya kelompok ini lebih sering
memberikan hukum yang membebani dan menyulitkan. Menganggap kelompoknya yang
paling benar dan mudah mengkafirkan kelompok lain yang tidak sejalan dengan
kelompoknya.
Kelompok yang
kedua adalah “Liberalis Modernis” atau “al-mu’attolah al-judud”. Kelompok
ini adalah kebalikan dari kelompok pertama. Kelmpok ini mempunyai ciri
penuhanan akal dalam pembacaan teks sehingga seringkali meninggalkan makna
dhohir teks dan melenceng pada makna lain yang jauh dari maksud teks dengan
dalil maqosid dan kemaslahatan. Banyak ulama yang menisbahkan kelompok ini
dengan para pemikir dan aktivis barat. Biasanya kelompok ini lebih mendahulukan
analisa akal dari pada analisa teks dengan perangkat bahasanya, sehingga
menjadikan makna yang dihasilkannya terkadang keluar jauh dari maksud teks.
Mereka sering menganggap bahwa konsep hukum para ulama pendahulu sudah usang
dan tidak layka lagi untuk digunakan pada masa kini, sehingga dibutuhkan konsep
baru yang mampun bersinergi dengan kekinian. Sayangnya konsep-konsep yang
mereka bawakan lebih banyak berkiblat pada referensi luar Islam sehingga
khasanah keilmuan Islam menjadi hilang dari konsep mereka.
Lalu dari dua
paradigma itulah kemudian lahirlah paradigma maqosid syariah yang mencoba
menengahi keduanya dengan satu pembacaan teks yang tidak kaku, mampu berdialog
dengan konteks dan tidak terlalu bebas sampai melupakan nilai-nilai Islam yang
sebenarnya. Konsep ini diharapkan dapat menjembatani problematika keterputusan
sejarah antara konteks turunnya wahyu dan kontekstualisasinya dengan masa
sekarang.
E. Penutup
Demikianlah
pembahasan mengenai inklusifitas dan unsur dinamsime dalam fikih Islam yang
mulai memudar dan hilang. Para generasi
berikutnya perlu diyakinkan bahwa ijtihad merupakan satu aktivitas terbuka yang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Semakin banyak yang mempelajari Islam dan
dapat membuat hukum maka akan semakin luas dan kuat kekuatan Islam. Dan yang
tidak kalah penting adalah mengawal Islam melalui fikihnya agar selalu berada
pada jalurnya yang rasional. inklusif, jauh dari pemaksaan teks yang radikal
baik terlalu kaku ataupun terlalu bebas. Melalui maqosid Syariah tersebut kita
jaga keseimbangan hukum Islam agar dapat menjadi pedoman sepanjang masa sesuai
dengan kaidah jargonnya yaitu “solihah li kulli zaman wa makan”.
F. Daftar
Pustaka
a)
Al- Ijtihad bi Tahqiq al- Manath
wa Sulthonihi, Abdurrahman Zaidy
b)
‘Ilmu Ushul Fiqhi, Abdul Wahab
Kholaf
c)
Dirosah fi Fiqhi Maqosid
al-Syar’iyah, Yusuf Qordhowi
d)
Mushtasfa, Abu Hamid al-Ghazali
e)
Ushul al-Syari’ah, Muhammmad Said
al-‘Asymawi
f) Al-Quran al-Karim.
0 comments:
Posting Komentar