Sabtu, 06 Juli 2013

Reaktualisasi Hukum Islam (penegasan kembali nilai dinamis, rasional. dan inklusif)


A. Pendahuluan

Dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia, Tuhan selalu membekali manusia dengan aturan-aturan hidup berupa agama. Tercatat telah banyak agama langit (agama samawi) yang diturunkan oleh Tuhan lengkap dengan tokoh manusia yang dijadikan sebagai duta untuk menyampaikan agama-agama tersebut. Islam yang pada akhirnya dijadikan sebagai agama paripurna tentu saja dituntut mempunyai ciri khas khusus yang memungkinkan ia bertahan melawati perubahan-perubahan zaman.

Kata sifat “sholihatun li kulli zaman wa makan”  (tetap aktual untuk sepanjang masa dan keadaan) maksudnya adalah bahwa aturan-aturan yang terkandung dalam wahyu Tuhan tersebut dapat selalu digunakan sebagai pedoman hidup (way of life) melewati berbagai ruang dan waktu. Salah satu aspek yang menarik dan menjadi titik tolak dari wahyu Tuhan itu adalah mengenai hukum Islam atau “Syari’ah Islamiyah”. Dalam beberapa kajian, tema itu sering juga disebut dengan istilah “Fikih Islam”.

Fikih islam sendiri merupakan kumpulan hukum-hukum syariah yang bersifat ilmiyah dan diambil  melalui dalil-dalil yang terperinci. Dalil-dalil yang dijadikan sebagai undang-undang hidup (way of life) tersebut bersumber dari dua kurva utama yaitu al-Quran dan Sunnah Rosul kemudian ditambah dengan dalil-dalil tambahan lainnya. Keberadaan fikih Islam menjadi sangat penting karena setiap hal-hal baru yang muncul dalam masyarakat harus terlebih dahulu diverivikasi dan diknfirmasi kebolehannya dengan menggunakan fikih tersebut.

Hal ini menjadi sangat penting dan sensitif ketika belakangan ini sering kita jumpai stigmatisasi negatif terhadap hukum islam oleh beberapa kalangan masyarakat baik kalangan luar Islam maupun masyarakat Islam sendiri. Maraknya kelompok-kelompok islam konservatif yang sering melakukan aksi teror dengan mengatasnamakan hukum Tuhan menjadi salah satu sebab dari stigmatisasi negatif tersebut. Ditambah lagi dengan perkembangan kajian fikih pesantren yang terkesan kaku dan belum bisa melepaskan diri dari superioritas teks-teks turast. Berbagai kajian hukum Islam yang dihasilkan oleh kalangan pesantren terkadang malah membuat masyarakat semakin susah dan terkesan tidak dapat berdialog positif dengan konteks yang ada sekarang ini.

Berawal dari premis-premis di atas, fikih Islam dianggap seperti kehilangan nilai dinamisnya. Ia menjadi seperti barang mati yang tidak dapat dikembangkan kembali dan pembacaannya terkesan hanya bersifat repetitif saja. Lebih ironis lagi ketika produk-produk hukum yang dihasilkan oleh fikih Islam belakangan ini terkesan sangat keras, kaku, sangar dan kurang mencerminkan sifat “rahmatan lil ‘alamin”nya. Fikih Islam lalu dipandang sebagai produk yang eksklusif, bukan inklusif dan tidak rasional karena banyak produk hukumnya yang terkesan aneh dalam masyarakat.

Maka dalam makalah ini, saya ingin mencoba melakukan pembacaan kembali terhadap fenomena tersebut. Setidaknya ada beberapa hal yang harus kembali dititik beratkan untuk menjawab stigmatisasi negatif yang sudah berkembang itu. Salah satu caranya adalah dengan mempelajari kembali ushul fikih dan mengkaji perangkat-perangkat pembuat hukum sebelum ia menjadi satu produk yang siap untuk ditanzilkan ke masyarakat.

B. Kilas Balik Historisitas Hukum Islam

Pada masa Rosulullah, sumber hukum berpusat langsung pada Rosulullah SAW. Keberadaan Rosul sebagai pensyarah tunggal atas al-Qur’an menjadikan semua permasalahan hukum dalam masyarakat dikembalikan pada beliau. Pada saat itu kebutuhan hukum praktis bersifat pertanyaan-pertanyaan langsung dari para sahabat dan kemudian dijawab oleh Rosulullah baik melalui turunnya wahyu ataupun dengan ijtihadnya sendiri. Al hasil secara umum sember hukum pada saat itu bersumber pada wahyu al-Quran dan Sunnah Rosul.

Belum terdapat perbedaan pendapat dan perselisihan tentang hukum pada masa Rosulullah, karena semua permasalahan dapat langsung dikonfirmasikan kepada Rosul. Pun kala itu kebutuhan akan sebuah metodelogi hukum belum begitu terasa karena kebutuhan untuk berijtihad sendiri masih sangat minim. Semua permasalahan hukum yang terjadi pada masyarakat langsung dikonfirmasi dengan turunnya ayat al-Quran lalu kemudian Rosul menjelaskan maksud dari ayat-ayat tersebut secara interaktif.

Setelah nabi Muhammad wafat dan al-Quran selesai masa tanzilnya, perkembangan hukum Islam mulai berbeda. Ketiadaan Rosul menuntut para sahabat untuk menyelesaikan sendiri permasalahan-permasalahan baru yang muncul dan belum pernah ada pada masa Nabi. Lalu timbullah ijtihad-ijtihad para sahabat yang tetap berpedoman pada dua sumber awal yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Pada fase ini embrio metodelogi konklusi hukum mulai muncul meskipun belum didiskursuskan secara formal dalam sebuah buku yang sistematik. Beberapa sahabat yang menggantikan peran Rosul sebagai pemimpin bahkan terkadang melampaui teks-teks primer dengan ijtihadnya masing-masing. Umar bin al-Khattab adalah salah satu yang dengan berani melakukan ijtihad dalam permasalahan hukum cambuk bagi peminum khamr. Dengan berlandaskan pada dalil kemaslahatan umum beliau menghukum para peminum khamr dengan cambukan sebanyak delapan puluh kali, padahal sebelumnya Rosulullah dan Abu Bakar hanya mencambuk mereka sebanyak empat puluh kali. Pada fase ini sumber hukum dalam masyarakat bertambah dari sebelumnya yang hanya menggunakan al-Quran dan Sunnah Rosul lalu bertambah dengan fatwa dan konsensus para sahabat.

Pada abad kedua dan ketiga hijriyah, masuklah perkembangan hukum Islam pada fase setelah sahabat yaitu fase tabi’in dan para mujtahid. Fase ini ditandai dengan adanya pembukuan hukum-hukum Islam yang di hasilkan oleh para pendahulu mereka yaitu para sahabat Rosul. Bahkan di tempat lain banyak dijumpai ulama’-ulama’ yang mengkodifikasikan fatwa-fatwa mereka menjadi sebuah buku. Generasi ini juga menjadi titik awal dimulainya pembukuan dan diskursus metodologi hukum Islam. Daerah kekuasaan Islam yang semakin meluas dan semakin bercampurnya orang arab dengan orang non arab membuat sedikit banyak dekadensi pada kualitas penguasaan pembacaan teks-teks primer dalam hukum Islam. Dari situlah para ulama’ mulai mencoba membuat satu metodologi dan membukukan kaidah-kaidah sebagai panduan dalam memproduk satu hukum.

Salah satu ciri khas dari fase ini adalah mulai tumbuhnya perbedaan pendapat yang disebabkan oleh perbedaan cara pandang dalam berijtihad dan juga faktor tipologi sosial tempat seseorang hidup. Ada dua tipologi ulama’ dalam berijtihad yang mana antara yang satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan yang sangat kontras.

Pertama, kubu yang dikenal dengan “Ahlu al-Hadits” yang berbasis di daerah Hijaz dan sekitarnya. Beberapa ulama’ memandang bahwa diantara yang melatarbelakangi paradigma literalistik pembacaan kelompok ini adalah karena keterpengaruhan oleh metodologi Abdullah bin Umar dari kalangan sahabat dan Said bin Musaib dari kalangan Tabiin. Meereka adalah tokoh-tokoh yang terkenal memperoleh banyak akses perbendaharaan hadits Rosul. Faktor lain adalah kondisi sosio kultural sekitar wilayah tersebut yang sebagian besar merupakan tempat turunnya wahyu, sehingga kebudayaan literalistik tekstualis wahyu begitu terasa kental di sana. Salah satu ulama’ yang menjadi pioner garda depan kelompok Ahlu al-Hadits ini adalah Imam Malik bin Anas dengan kumpulan fatwanya berupa kitab “Muwatta’” . Ketika itu Imam Malik membukukan fatwa-fatwanya atas permintaan pemerintahan khalifah Al-Mansur yang bermaksud ingin menjadikan faham Imam Malik sebagai faham resmi pemerintahan pada kala itu.

Kedua, adalah kubu yang dikenal dengan “Ahlu al-Ra’yi” yang berbasis di daerah Irak. Kelompok ini secara umum mempunyai ciri memberikan ruang yang sangat luas pada akal manusia dalam berijtihad. Peran akal lumayan diapresiasi oleh kelompok ini karena keterpengaruhan mereka dengan gaya metodologi ijtihad Abdullah bin Mas’ud yang merupakan salah satu murid dari Umar bin al-Khattab. Faktor lain yang mempengaruhi kecenderungan rasionalisme kelompok ini adalah tipologi masyarakat daerak Irak yang memungkinkan berbaurnya banyak aliran dan madzhab seperti Khawarij, Syiah, bahkan terdapat juga aliran-aliran tradisional. Tempat yang jauh dari daerah turunnya wahyu juga menyebabkan terbatasnya akses terhadap hadits-hadits Rosul dan tafsir-tafsir sahabat. Kemudian dari metodologi ijtihad dan ciri khas yang berbeda-beda diantara kedua kelompok itulah nantinya timbul banyak madzhab dalam kajian Hukum Islam. Dan yang paling terkenal adalah munculnya madzhab fikih empat (madzhab Maliki, madzhab Hanafi, madzhab Syafi’i, dan madzhab Hambali) yang sampai sekarang masih dijadikan sebagai referensi utama dalam berit’ba’ dan bertaqlid.

Fase ini bisa dibilang merupakan fase keemasan dari perkembangan hukum Islam. Selain banyaknya pembukuan fatwa-fatwa hukum Islam dalam berbagai madzhab fase ini juga mengawali sebuah pembahasan medologolis sebagai perangkat hukum yang kemudian kita sebut dengan istilah “Ushul Fikih”. Jika fikih merupakan kumpulan produk-produk hukum yang sudah jadi maka ushul fikih adalah kumpulan kaidah-kaidah yang digunakan sebagai perangkat untuk menghasilkan hukum itu sendiri. Para ulama’ pada masa ini sangat sadar bahwa kebutuhan untuk memformulasikan sebuah metodologi menjadi sangat penting ketika teks-teks primer dianggap sangat terbatas sedangkan permasalahan-permasalahn baru tidak akan pernah berhenti sepanjang masa. Maka dengan membuat formulasi metodologi ushul fikih diharapkan generasi yang akan datang akan terus mampu mengatasi tantangan zaman dalam membuat hukum yang sesuai dengan asas al-Quran dan Sunnah Rosul tanpa harus melakukan penjiplakan dan pemaksaan analogi dengan naskah-naskah teks fikih para pendahulunya.

Dalam daftar buku-buku “Fihrisat” yang disusun oleh Ibnu Nadim seorang ahli sejarah sebenarnya penyusunan metodologi ushul fikih sudah dimulai pertama kali oleh Yusuf Shohib Abi Hanifah akan tetapi naskah itu sampai sekarang tidak dapat ditemukan. Sehingga yang lebih akrab dengan kita adalah karya Muhammad bin Idris as-Syafi’i yang terkenal dengan kitabnya “Al-Risalah”.

Dalam kajian usuhul fikih sendiri terdapat perbedaan tipologi pemikiran yang secara umum dapat kita bagi menjadi tiga kelompok. Pertama adalah kelompok ahli kalam “Ulama al-Kalam” . kelompok ini mempunyai identitas gaya metodologi deduktif. Mereka lebih berkonsentrasi pada pembentukan kaidah-kaidah dasar ushul fikih secara ilmiyah tanpa harus memperhatikan persesuaiannya dengan hukum-hukum cabang yang diusung dalam fikih madzhabnya. Diantara karya-karya kelompok ini yang terkenal adalah kitab “Al-Mustashfa” karangan Abu Hamid al-Ghazali al-Syafi’i, kemudian kitab “Al-Ahkam” karya Abi Hasan al-Amadi, lalu kitab “Al-Minhaj” karangan Baidhowi al-Syafi’i.

Kedua adalah kelompok Hanafiyah, “Ulama al-Hanafiyah”. Kelompok ini lebih menekankan pada gaya metodologi induktif (istiqra). Mereka membangaun kaidah-kaidah ushul fikih dengan berdasar pada hukum-hukum cabang yang telah dibuat oleh imam madzhab mereka. Dari cabang-cabang tersebut kemudian di susun satu persatu kaidah sebagai metodologinya. Diantara karya yang terkenal dari kelompok ini adalah kitab “Ushulu Abi Zaid al-Dabusi”, kemudian kitab “Ushulu Fakhru al-Islam al-Bazdawi”, lalu kitab “Al-Mannar” karya Al-Hafidz al-Nasafi serta syarahnya yang terkenal dengan nama “Misykat al-Anwar”.

Ketiga adalah kelompok yang mencoba menggabungkan gaya berijtihad diantara keduanya. Yaitu dengan membuat kaidah-kaidah sebagai dasar metodologisnya akan tetapi juga tidak melupakan persesuainnya dengan cabang-cabang hukum yang ada dalam fikih turats. Diantara kitab yang terkenal dari kelompok ini adalah “Badi’ al-Nidzam al-Jami’ baina al-Bazdawi wa al-Ahkam” karya Mudhafar al-Din al-Baghdadi, lalu kitab “al-Tahrir” karya Kamal bin al-Hamam, lalu kitab “Jam’u al-Jawami’” karya Imam Ibnu Subky.

Fase yang terakhir dari perkembangan sejarah hukum Islam dan ushul fikih adalah fase pasca pembukuan (ma ba’da tadwin). Fase ini dimulai sejak berakhirnya masa tabi’in dan tabi’i al-tabi’in dan berjalan sampai sekarang. Fase inilah yang dikatakan sebagai fase awal kemunduran ilmu-ilmu Islam termasuk di dalamnya ilmu fikih dan ushul fikih. Banyaknya perebutan kekuasaan antar umat Islam dan semakin meluasnya daerah Islam yang dikuasai kaum non muslim menjadikan Islam semakin mundur. Banyak yang mengatakan bahwa pintu Ijtihad telah tertutup dan menyebabkan segala permasalahan yang baru hanya diqiyas-qiyaskan dengan teks-teks lama walaupun terkadang tidak menemukan kesamaan illatnya. Pembacaan terhadap teks pun mulai menjauh dari nilai-nilai inklusif yang dahulu diusung oleh para penggagas ushul fikih sehingga sekarang ini banyak produk-produk hukum yang terkesan rigid, kaku, dan kurang bisa diterima oleh masyarakat.

C. Membuka Kembali Pintu Ijtihad 

Fenomena yang terjadi dalam diskursus fikih dalam masyarakat akhir-akhir ini tentu saja menyisakan banyak pertanyaan yang harus dibenahi dan dipelajari ulang. Semakin banyaknya produk hukum yang dihasilkan oleh instansi-instansi keagamaan maupun pesantren yang kurang mendapat sambutan positif dari masyarakat setidaknya mengisyaratkan adanya permasalahan dalam fikih maupun dalam metodologi pembuatnya. Tentu saja kita tidak bisa dengan apatis mengatakan bahwa perkembangan zaman yang semakin tua membuat masyarakat semakin kehilangan nilai keagaamnya sehingga seakan tidak lagi mau menerima dan menghormati produk-produk hukum yang dihasilkan oleh agama. Justru fenomena ini harus bisa kita jadikan sebagai awal untuk berintropeksi diri, memandang ke dalam dan membenahi kesalahan-kesalahan.

Salah satu titik point penting dari diskursus tersebut adalah tentang ijtihad. Ijtihad berarti satu aktivitas yang dilakukan dengan mengerahkan segala kemampuan untuk menghasilkan satu produk hukum dengan cara merujuk pada al-Quran dan hadits rosul (istinbat). Aktivitas ijtihad ini sering kali dipahami sebagai satu aktivitas eksklusif yang sulit dijangkau dan tidak boleh dimasuki oleh siapapun kecuali orang-orang tertentu yang sudah memenuhi persyaratan sebagai seorang mujtahid. Asumsi seperti ini pada beberapa abad lalu sempat menimbulkan satu pendapat bahwa pintu untuk melakukan aktivitas ijtihad telah tertutup untuk umum. Asumsi tertutupnya pintu ijtihad bisa jadi ikut mempengaruhi gaya metodologi pembuatan hukum pada masyarakat kita sekarang ini. Hal itu berdampak pada kemalasan kita untuk mempelajari metodologi ushul fikih dan lebih suka mengqiyas-qiyaskan masalah yang baru dengan fikih-fikih yang sudah dikodifikasikan oleh para pendahulu. Sehingga ketika hukum itu menemukan korelasinya kita tetap tidak mengetahui “illat” (alasan rasional) dari produk hukum yang telah kita hasilkan. Dan lebih ironis lagi ketika permasalahan baru tersebut tidak menemukan “illat” yang sama akan tetapi masih terus dipaksa dianalogikan.

Wacana tertutupnya pintu ijtihad sebenarnya sudah dimulai sejak abad ke empat hijriyah.  Dimulai saat pertengahan abad ketiga ketika penulisan karya-karya ilmiyah dalam diskursus hukum Islam mulai berkurang, terjadi kemunduran intelektualitas pada zamannya. Akan tetapi teks-teks al-Quran yang terbatas kemudian menyebabkan kebutuhan untuk berijtihad tidak dapat dihindarkan. Ijtihad saat ini merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, kebutuhan akan adanya ijtihad sangat mendesak karena permasalahan yang akan muncul tidak akan habis dan selalu membutuhkan konfirmasi hukum dalam Islam. Seperti pendapat imam Syatibi dalam kitab “Muwafaqot” nya ; “sesungguhnya permasalah di dalam dunia ini tidak terbatas maka kita tidak bisa mengebiri permasalahan-permasalahan itu dalam dalil-dalil yang terbatas. Maka dari itu dibutuhkan pembukaan pintu ijtihad dengan metodologi Qiyas ataupun yang lainnya”.

Beberapa pemikir mencoba menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan banyaknya ulama yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Salah satu kesimpulan dari analisis itu adalah bahwa ketertutupan itu disebabkan kesimpulan mereka bahwa tidak akan ada orang bahkan ulama pasca masa “tadwin” yang mampu sampai pada taraf mujtahid. Karena keyakinan mereka akan tidak dapat terpenuhinya syarat-syarat untuk sampai ke tingkatan mujtahid itulah kemudian mereka menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak berakhirnya masa tadwin tersebut.

Sebetulnya permasalahan persyaratan verifikatif untuk menjadi seorang mujtahid adalah satu persoalan yang komplek namun sensitif. Disatu sisi ada yang berpendapat sebaiknya memang kemungkinan untuk masuk dalam persyaratan itu tidak dibuka terlalu lebar agar menghindari kecerobohan setiap orang yang ingin melakukan aktivitas ijtihad. Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa persyaratan ferivikatif tersebut tidak selayaknya dibuat sangat ketat dan berat, justru harus dibuka dan dimudahkan akses dalam persyaratan itu agar aktivitas ijtihad dapat dicapai oleh lebih banyak orang dan fikih dapat terus berkembang secara dinamis.

Dalam perkembangan metodologi ijtihad memang telah terjadi semacam pergeseran paradigmatik yang menjadi konsekuensi dari perkembangan zaman. Pada masa sahabat, aktivitas ijtihad tidak diikat oleh persyaratan apapun mengingat karakter para sahabat yang masih sangat dekat dengan masa kenabian dan mereka juga ikut mengalami sendiri perjalanan turunnya wahyu, sehingga persyaratan normatif kala itu hanya berkisar pada kemampuan dalam memahami wahyu Tuhan dan Sunnah rosul ditambah dengan memahami konsensus sahabat. Baru setelah masa sahabat mulai terjadi perbedaan pendapat antara para ulama mengenai persyaratan yang harus dipenuhi agar seseorang diperbolehkan melakukan aktifitas ijtihad dan bahkan memberikan fatwa. Imam Ghazali mengatakan bahwa pada masa itu perbedaan pendapat antara para ulama berputar pada tiga persyaratan inti. Hampir semua ulama sepakat bahwa untuk menjadi mujtahid seseorang setidaknya harus menguasai tiga ilmu inti itu yaitu ilmu hadits, ilmu bahasa, dan ilmu ushul fikih selain tentunya ditambah sumber pokok sebelumnya yaitu al-Quran, Sunnah rosul, dan konsensus sahabat. Akan tetapi mereka berbeda pendapat pada tataran detail dari ketiga ilmu ilmu yang dibuat sebagai standarisasi persyaratan mujtahid.

Ada sebagian ulama yang mensyaratkan mumpunyai hapalan minimal tiga ribu hadits. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya oleh seorang muridnya tentang berapa hadits yang harus dihapal untuk bisa mencapai tingkatan mujtahid dia menjawab sampai angka limaratus ribu hadits. Akan tetapi mayoritas ulama memudahkan persyaratan ini dan tidak mengharuskan seseorang untuk menghapal sekian ribu hadits. Diantara yang berpendapat seperti itu adalah Imam Ghazali dalam kitab Mustashfanya, Imam Syatibi dalam kitab Muwafaqotnya, dan Imam al-Asnawi dalam kitab Nihayah al-Sulnya. Menurut imam Syatibi, para mujtahid hanya diharuskan mempunyai kemampuan tentang ilmu hadits secara normatif mapun analistis (diroyah wa riwayah). Mereka juga tidak membatasai hitungan hadits yang harus dihapal oleh seseorang yang ingin menjadi mujtahid, hal yang diperlukan hanyalah kemampuan untuk bisa merujuk pada sumber hadits ketika tejadi satu permasalahan.

Hal ini juga berhubungan dengan permasalah boleh tidaknya melakukan aktivitas ijtihad parsial (tajazu al-ijtihad) dalam fikih. Yang dimaksud dengan ijtihad parsial atau tajazu al-ijtihad adalah aktivitas seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad secara rinci terhadap satu permasalahan akan tetapi ia tidak mampu melakukan ijtihad terhadap permasalah-permasalahan lainnya karena keterbatasan pengetahuan mengani dalil-dalil pendukungnya. Sebagian besar ulama’ ushul fikih membolehkan seseorang melakukan ijtihad parsial dan hukum yang dihasilkan tetap sah dan boleh dijadikan satu fatwa hukum. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah al-Hindi, al-Rofi’i, al-Ghazali, Ibnu Daqiq al-‘Id, al-Subky. Meskipun ada juga sebagian kecil ulama yang tidak memperbolehkan ijtihad parsial dan mengharuskan seseorang yang ingin menjadi mujtahid harus mampu melakukan ijtihad dalam berbagai masalah yang ada secara terperinci. Maka apabila mayoritas ulama me-sahkan metodologi ijtihad parsial ini, secara otomatis batasan-batasan jumlah hadits yang harus dikuasai oleh seseorang yang ingin melakukan ijtihad tidak menjadi penting lagi. Seorang mujtahid hanya diharuskan cukup memiliki kemampuan untuk menganalisis permasalahan yang ada dengan dalil-dalilnya baik dari al-Quran, hadits nabi ataupun dalil sekunder lainnya dalam ruang dan waktu saat terjadi permasalah itu saja. Ia tidak diharuskan mengetahui dan menguasai analisis dalam permasalahan lain apalagi menguasai dalil-dalil dalam permasalahan lainya.

Hampir sama dengan permasalahan ilmu hadits di atas, al-Ghazali juga kembali menjadi salah satu tokoh yang membuka dan memudahkan persyaratan normatif tentang penguasaan ilmu bahasa dan ushul fikih. Dalam ilmu bahasa (‘Ilm al-Lughoh) Ghazali berbeda pendapat dengan Syatibi. Menurut Ghazali seseorang tidak diharuskan menguasai ilmu bahasa sampai detail hingga menyamai tingakatan ahli bahasa seperti Imam Kholil, Imam Syibawaih, al-Mubarrod dan lain sebagainya. Seorang mujtahid hanya dituntut dapat menganalisis satu bahasa teks al-Quran dan hadits dan dapat membedakan susunan kalimat menurut tarkibnya masing-masing.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat kita simpulkan bahwa pintu ijtihad sebenarnya tidak pernah ditutup oleh para ulama. Mereka membatasi aktivitas ijtihad dengan memperketat persyaratan-persyaratan normatif untuk menghindari kecerobohan orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan agama dalam melakukan ijtihad dan membuat satu hukum. Hal tersebut juga perlu kita apresiasi karena bagaimanapun akan menjadi sangat berbahaya jika kran ijtihad dibuka bebas tanpa diberikan batasan-batasan normatif secara hal itu akan mengakibatkan merebaknya hukum-hukum yang kurang bisa dipertangungjawabkan kebenaran ilmiyahnya. Akan tetapi bagi mereka yang mempunyai basic ilmu agama yang mencukupi dan mampu melakukan aktivitas ijtihad meskipun hanya sebatas ijtihad parsial ataupun ijtihad jama’i maka akan sangat dianjurkan untuk mengambil peran tersebut untuk menjaga agak hukum islam tidak statis.

D. Maqosid Syar’iyah dan Inklusivitas Fikih

Agama dan akal adalah dua rahmat Tuhan yang diberikan kepada manusia untuk kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Keduanya berposisi sebagai penuntun sehingga keberadaannya harus saling melengkapi. Agama sendiri (wahyu) diturunkan oleh tuhan melewati ruang dan waktu tertentu, sehingga ia mau tidak mau juga merupakan sebuah hasil dialektika dengan kebudayaan dan permasalahan yang terjadi pada zamannya. Untuk itulah kita sebagai generasi yang tidak mengalami masa itu harus dapat membaca dan mendialektikannya dengan konteks dimana kita hidup saat ini. Kontekstualisasi tersebut salah satu caranya adalah dengan mengurai nilai-nilai luhur yang menjadi maksud dalam setiap teks (nash) kemudian menariknya kedalam aspek lainnya yang lebih luas. Konsep inilah yang dalam ilmu fikih terkenal dengan istilah Maqosid al-Syar’iyah.

Epistem awal dari konsep ini bertumpu pada kemaslahatan umum. Inilah yang menyebabkan konsep ini sangat berperan penting dalam mengukuhkan nuansa inklusifitas fikih. Berawal dari keyakinan bahwa segala hukum yang diturunkan oleh Tuhan dalam al-Quran pasti dimaksudkan untuk kemaslahatan hidup manusia. Baik dalam kehidupan di dunia maupun kelak dalam kehidupan di akhirat. Hal itu karena Tuhan adalah dzat yang maha Cukup sehingga Ia tidak membutuhkan kemaslahatan karea Dia lah sang pencipta kemaslahatan itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Qoyyim al-Jauziyah salah murid dari Ibnu Taimiyah bahwa inti dari semua hukum Tuhan adalah untuk kemaslahatan umat itu sendiri.

Yusuf Qordhowi seorang pemikir kontemporer dan ahli fikih mendefinisikan maqosid syari’ah dengan istilah “tujuan akhir dari wahyu (nushus) yang berupa kumpulan perintah, larangan, dan nilai-nilai positif di dalamnya”. Atau maqosid ini bisa kita sebut dengan istilah “hikmah” dari sebuah hukum. Ia kemudian membedakan antara hikmah dengan “illat” (alasan hukum) yang biasanya digunakan untuk menganalogikan dua hukum dalam epistemologi qiyas. Hikmah adalah nilai umum yang melatarbelakangi suatu hukum sementara illat adalah alasan yang melatarbelakangi terjadinya satu hukum. Illat bersifat lebih khusus dan lebih mudah dianalisis sedangkan hikmah lebih umum dan terkadang tidak dapat dianalisis dengan mudah. Contoh kasusnya adalah hukum haramnya meminum khamr dalam fikih. Illat atau alasan yang melatarbelakangi hukum haram tersebut adalah karena sifat memabukkan (muskir) yang terkandung dalam khamr. Sedangkan hikmah dari hukum haram meminum khamr di atas adalah untuk menjaga kesehatan akal manusia (hifdzi al-‘aqli). Illat hukum nantinya bisa dijadikan alat untuk menganalogikan permaslahan lain ke hukum awal ketika mempunyai kesamaan illat seperti ketika meganalogikan hukum haramnya meminum bir anggur (nabidh) dengan khamr karena mempunyai kesamaan illat (alasan hukum) yaitu dapat memabukkan. Sedangkan hikmah hukum tidak dapat digunakan sebagai alat untuk menganalogikan hukum.

Setelah masuk ke dalam epistemnya kemudian kita membahas bagaimana cara untuk mengetahui maqosid yang terkandung dalam wahyu Tuhan untuk kemudian ditransformasikan ke dalam hal-hal lain yang lebih umum. Ada dua cara untuk menganalisis satu teks dan mencari nilai maqosid atau hikmah yang melatarbelakangi teks itu.

Pertama, metode analisis bahasa. Meskipun tidak semua teks-teks (ayat-ayat) dalam al-Quran menyebutkan satu alasan hukum ataupun hikmah dari satu hukum akan tetapi kadangkala kita bisa mengalisisnya melalui cara ini. Biasanya ayat yang menjelaskan alasan hikmah dibalik pensyariatan satu hukum menggunakan alat bantu huruf ta’lil di dalamnya. Meskipun kadang kala juga kita bisa nemenukan dengan jelas dalam ayat tertentu alasan hukumnya tanpa disertai dengan perantara huruf ta’lill di dalamnya. Seperti pada ayat “ma afaa allahu ‘ala rosulihi min ahil al-qura falillahi wa lirrosuli wa lidzi al-qurba wa al-yatama wa al-masakin wa ibn al-sabil kay la yakuna dulatan baina al-aghniyai minkum”  (Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. [al-Hasyr, ayat 7]). Dari ayat tersebut kita dapat langsung mengetahui hikmah dari pembagian harta rampasan perang kepada kelompok-kelompok yang telah ditentukan, yaitu agar harta tersebut tidak berkumpul pada satu golongan saja sehingga dihawatirkan dapat menimbulkan kapitalisme sosial karena harta tersebut hanya berputar pada orang-orang kaya saja. Dari segi ilmu bahasa (bahasa arab) penunjukan ‘illat pada ayat itu ditandai dengan “kay” yang merupakan salah satu huruf ta’lil.

Kedua, dengan menggunakan metode analisis induktif (istiqro) pada hukum-hukum parsial dalam nash kemudian memindahkannya kedalam kaidah-kaidah umum. Metode ini sudah dibuatkan rancang epistemnya oleh ulama terdahulu dan terus mengalami evolusi positif sepanjang generasi. Tokoh yang terkenal pertama kali mengangkat metodologi ini adalah al-Ghazali kemudian diteruskan oleh al-Qurofi dan kemudian sampai di tangan penggagas maqosid al-Syatibi. Metode ini secara umum membagi tingkatan maslahah ke dalam lima tingkatan secara hirarkhi:
1)      Hifdhu al-Din (menjaga kemaslahatan agama)
2)      Hifdhu al-Nafs (menjaga kemaslahatan jiwa)
3)      Hifdhu al-‘Aql (menjaga kemaslahatan akal manusia)
4)      Hifdhu al-‘Irdhi (menjaga kehormatan manusia)
5)      Hifdhu al-Mal (menjaga harta manusia)
Selain konsep maslahah yang dibuat oleh Ghazali diatas, para ulama juga menambahkan konsep maslahah lain dalam kehidupan umat yang harus diposisikan sebagai hal primer (dhoruriyah) seperti kebebasan (al-hurriyah), persamaan hak (al-musawah), perlindungan hak hidup (al-takaful) dan hak asasi manusia (huquq al-insan).

Kemudian konsep maslahah tersebut dalam pelaksanaannya dibagi dalam tiga tingkatan. Sehingga ketika seseorang dihadapkan pada satu masalah, dia bisa memilah dan memilih kemaslahatan mana yang lebih penting dan harus didahulukan. Tiga tingkatan tersebut adalah: Pertama, kemaslahatan primer (al-dhoruriyat), Kedua, kemaslahatan sekunder (al-haajiyat) dan yang Ketiga, kemaslahatan tertier (tahsinat). Pada prakteknya konsep tersebut harus dibawa ke arah yang lebih luas dan produktif. Seperti contoh, ketika Islam sangat menjungjung tinggi kemaslahatan akal dengan menempatkannya kedalam kebutuhan primer yang harus dijaga. Buktinya adalah dengan memberikan hukum haram kepada minuman khamr yang dapat memabukkan dan merusak akal manusia, maka lebih luas lagi kemaslahatan akal itu juga harus dijaga dengan cara memberikan pendidikan yang bermutu dan berkesinambungan, mengkaji ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk orang lain dan lain sebagainya.

Maqosid Syari’ah sebenarnya juga merupakan satu reaksi dari atas muncunya kelompok-kelompok yang mempunyai paradigma berfikir yang radikal dalam hukum Islam. Baik paradigma radikal kanan maupun paradigma radikal kiri. Terjadi fenomena paradigma dua kelompok besar yang akhirnya mengilhami munculnya konsep maqosid syariah sebagai penengah dari keduanya.

Kelompok yang pertama adalah “Skriptualis Tekstualis” atau “al-dhohiriyah al-judud”. Mereka adalah kelompok yang melakukan pembacaan teks secara tekstual (harfiyah) dan tidak mau menggunakan akal sebagai alat bantu dalam mendialogkan teks dengan konteks yang ada. Di satu tempat kelompok ini diidentikkan dengan kelompok ahli hadits yang berada di Hijaz, tapi para ulama menganggap tidak semua ahl al-hadits mempunyai gaya berfikir tekstualis dan anti kotekstual. Ulama-ulama ahli hadits yang juga terkenal sebagai ulama fikih (fakih) biasanya dapat menyeimbangkan kebiasaan tekstual mereka dengan pola pikir yang lebih rasional dan inklusif seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Bukhori, Abi Hajar al-‘Asqolani dan lain sebagainya. Kelompok tekstualis ini dalam dunia kajian fikih direpresentasikan oleh Imam Ibnu Hazm al-Dhahiri salah satu ahli fikih yang cerdas. Melalui kitab “al-Ahkam” nya dia mengkonsep paradigma tekstualisnya dalam ushul fikih. Dia menolak segala bentuk tafsir dan ta’wil atas teks al-Quran dan Hadits yang mencoba membelokkan dari makna aslinya sebagai sebuah kalimat yang awal. Ada beberapa ciri khas yang dapat kita lihat dari kelompok ini diantaranya, kelompok ini sangat mengutamakan paradigma tekstualis. Biasanya kelompok ini lebih sering memberikan hukum yang membebani dan menyulitkan. Menganggap kelompoknya yang paling benar dan mudah mengkafirkan kelompok lain yang tidak sejalan dengan kelompoknya.

Kelompok yang kedua adalah “Liberalis Modernis” atau “al-mu’attolah al-judud”. Kelompok ini adalah kebalikan dari kelompok pertama. Kelmpok ini mempunyai ciri penuhanan akal dalam pembacaan teks sehingga seringkali meninggalkan makna dhohir teks dan melenceng pada makna lain yang jauh dari maksud teks dengan dalil maqosid dan kemaslahatan. Banyak ulama yang menisbahkan kelompok ini dengan para pemikir dan aktivis barat. Biasanya kelompok ini lebih mendahulukan analisa akal dari pada analisa teks dengan perangkat bahasanya, sehingga menjadikan makna yang dihasilkannya terkadang keluar jauh dari maksud teks. Mereka sering menganggap bahwa konsep hukum para ulama pendahulu sudah usang dan tidak layka lagi untuk digunakan pada masa kini, sehingga dibutuhkan konsep baru yang mampun bersinergi dengan kekinian. Sayangnya konsep-konsep yang mereka bawakan lebih banyak berkiblat pada referensi luar Islam sehingga khasanah keilmuan Islam menjadi hilang dari konsep mereka.

Lalu dari dua paradigma itulah kemudian lahirlah paradigma maqosid syariah yang mencoba menengahi keduanya dengan satu pembacaan teks yang tidak kaku, mampu berdialog dengan konteks dan tidak terlalu bebas sampai melupakan nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Konsep ini diharapkan dapat menjembatani problematika keterputusan sejarah antara konteks turunnya wahyu dan kontekstualisasinya dengan masa sekarang.

E. Penutup

Demikianlah pembahasan mengenai inklusifitas dan unsur dinamsime dalam fikih Islam yang mulai memudar dan hilang. Para generasi berikutnya perlu diyakinkan bahwa ijtihad merupakan satu aktivitas terbuka yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Semakin banyak yang mempelajari Islam dan dapat membuat hukum maka akan semakin luas dan kuat kekuatan Islam. Dan yang tidak kalah penting adalah mengawal Islam melalui fikihnya agar selalu berada pada jalurnya yang rasional. inklusif, jauh dari pemaksaan teks yang radikal baik terlalu kaku ataupun terlalu bebas. Melalui maqosid Syariah tersebut kita jaga keseimbangan hukum Islam agar dapat menjadi pedoman sepanjang masa sesuai dengan kaidah jargonnya yaitu “solihah li kulli zaman wa makan”.

F. Daftar Pustaka

a)      Al- Ijtihad bi Tahqiq al- Manath wa Sulthonihi, Abdurrahman Zaidy
b)      ‘Ilmu Ushul Fiqhi, Abdul Wahab Kholaf
c)      Dirosah fi Fiqhi Maqosid al-Syar’iyah, Yusuf Qordhowi
d)     Mushtasfa, Abu Hamid al-Ghazali
e)      Ushul al-Syari’ah, Muhammmad Said al-‘Asymawi
      f) Al-Quran al-Karim. 

0 comments:

Posting Komentar

 
;