Rabu, 24 September 2008

Kritik Nalar Imamah dalam Syiah



Semua orang telah bersepakat tentang keharusan mendirikan satu pemerintahan dalam islam, namun yang menjadi perbedaan pendapat adalah siapa yang berhak menjadi imam. (Ayatullah Khomaeni)

Prolog

Petikan pendapat Imam Khoemini di atas menunjukkan betapa sebuah kelompok selalu meniscayakan adanya satu pemimpin. Dalam islam isu imamah mulai santer terdengar pasca wafatnya nabi Muhammad SAW. Terutama lagi imamah seakan menjadi bagian yang sangat dekat dengan islam ketika memasuki masa pemerintahan Ali bin Abi Tholib. Namun pertanyaannya adalah apakah sebelum itu nabi tidak pernah menyinggung tentang isu imamah [?]. Tentu saja tidak karena imamah adalah sebuah isu penting dalam agama yang pastinya tidak akan luput dari pikiran nabi Muhammad SAW. Namun masalahnya menjadi semakin serius ketika nabi tidak menyebutkan nama siapa yang berhak untuk menjadi pewaris kekuasaan islam pasca dirinya. Itulah yang akhirnya mengawali banyak cerita dan kecurigaan antar kabilah dan suku yang melahirkan banyak kelompok islam pada kala itu. Sampai pada akhirnya muncullah Syiah salah satu pengusung konsep imamah yang menjagokan Ali sebagai Ahlul Bait dan rentetan imam-imam lainnya yang disiapkan untuk memimpin dunia islam. Kemudian seberapa jauhkah sebenarnya konsep imamah dalam sejarahnya [?], bagaimana relefansinya antara konsep tersebut dengan kenyataan empirisnya [?], dan seberapa dalamkah kebenaran konsep tersebut menurut pandangan islam [?]. Makalah ini akan mencoba melakukan pembacaan kembali mengenai konsep imamah dalam Syiah Itsna ‘Asyariyah.
Sekilas Tentang Imamah

Imamah menurut etimologinya berarti : seorang pemimpin baik itu pemimpin dalam hal yang baik ataupun dalam hal yang buruk. Kemudian ia dipinjam maknanya untuk menyebut seseorang yang mempunyai satu kekuasaan atas satu masyarakat tertentu . Sedangkan menurut Muhammad Rasyid Ridho dalam bukunya Al Khilafah, kata imamah, khilafah, serta amirul mukminin ketiganya mempunyai makna yang sama yaitu kepemimpinan satu pemerintahan islam yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umatnya . Dalam arti luasnya imamah berarti perwakilan Syari’ untuk menjaga kehidupan dunia atau menurut pengertian Imam Mawardi “ Imamah adalah satu sebutan pengganti nabi dalam menjaga kelanggengan agama dan politik dunia” .

Dalam kenyataannya tema imamah ini terjadi dan menjadi pembahasan yang serius hampir disetiap kelompok keagamaan dalam islam. Ahlu sunnah dan Syiah adalah dua diantara kelompok islam yang paling getol membahas tema imamah meskipun dengan nama dan konsep yang berbeda. Sejarah telah mencatat dan membuktikan bahwa penyebab dari munculnya kelompok syiah adalah karena faktor politik. Begitu pun munculnya tema imamah dalam kelompok mereka lebih dilatarbelakangi dengan latar belakang politis yang memang sedang mengalami gejolak yang sangat panas pasca wafatnya nabi Muhammad SAW .

Kemunculan imamah dalam Syiah sebenarnya berawal dari rasa cinta dan penghormatan yang berlebihan kaum ahlul bait kepada sahabat Ali yang merasa paling berhak mewarisi kepemimpinan yang ditinggalkan oleh nabi Muhammad SAW. Fanatisme kaum ahlul bait semakin besar dan mengkristal ketika mereka merasa bahwa hak kekuasaan itu telah dirampas oleh para sahabat nabi sebelum Ali. Ditambah dengan sentimen negatif antara mereka dengan pendukung Utsman bin ‘Affan yang pada akhirnya melahirkan Syiah menjadi satu kekuatan politik yang besar. Embrio terjadinya konsep imamah berawal dari klaim kaum pengikut Ali yang mengatakan bahwa nabi Muhammad SAW telah membaiat Ali dan mengangkatnya sebagai imam pengganti nabi Muhammad SAW. Kejadian yang sering di sebut sebagai “Yaum Al Ghadir Khum” itu terjadi ketika nabi menyampaikan pidato kenegaraannya selepas kembali dari haji wada’ kemudian terkenal lah hadits itu sebagai Hadits Al Ghadir Khum . Hingga kini masyarakat syiah masih selalu memperingati hari itu disetiap tanggal 18 dzulhijjah.

Adalah Abdullah bin Saba’ orang yang pertama kali menyebarkan isu imamah kepada kaum ahlul bait. Sumber sejarah islam menyebutkan bahwa semasa hidupnya Abdullah bin Saba’ telah mengembara ke berbagai penjuru daerah islam untuk mempropagandakan isu imamah Ali ini. Tercatat ia pernah berpindah-pindah mulia dari Hijaz, Basyroh, Kufah, Mesir dan Syam. Dialah orang pertama yang mengkampanyekan konsep imamah syiah kepada masyarakat islam. Menurutnya konsep imamah dalam syiah adalah konsep yang akan membawa islam kepada arah kemajuan, kesejahteraan umat islam. Untuk menjaga hukum-hukum serta syariat Allah maka umat islam membutuhkan satu pemerintahan yang sesuai dengan mandat rasul .

Secara tidak langsung kemunculan tema imamah dalam syiah sangat erat hubungannya dengan kemunculan syiah sebagai sebuah organisasi keagamaan politik kala itu. Hal itu dikarenakan antara keduanya tidak dapat dipisahkan dan mempunyai hubungan yang saling terkaitan. Dr. Arif Tamir dalam bukunya Al Imamah fi Al Islam mengatakan bahwa Pada kelanjutannya syiah pada akhirnya terpecah menjadi 82 kelompok dan setiap kelompok mempunyai konsep tentang imamah yang berbeda-beda bahkan dalam hal jumlah imamah yang di nash oleh Allah. Ada kelompok yang mengatakan bahwa jumlah imamah hanya ada lima, tujuh, delapan, dua belas dan juga tiga belas . Namun karena pembahasan kali ini sebagai bagian dari kajian Wilayah Al Faqih dimana konsep tersebut dibawa oleh Syiah Ja’fariyah Itsna ‘Asyariyah maka konsentrasi makalah ini hanya akan tertuju pada konsep imamah milik Syiah Itsna ‘Asyariyah saja.

Syiah Itsna ‘Asyariyah meyakini bahwa Allah telah menunjuk dua belas imam untuk memimpin dunia dan juga menggantikan peran-Nya dalam menjaga syariat dan hukum Allah. Kedua belas imam tersebut secara berurutan dimulai dari 1. Abu Al Hasan Ali bin Abi Thalib bergelar (Al Murtadho), 2. Abu Muhammad Al Hasan bin Ali (Az Zaky), 3. Abu Abdullah Al Husain bin Ali (Sayyid Al Syuhada’), 4. Abu Muhammad Ali bin Al Husain (Zain Al ‘Abidin), 5. Abu Ja’far Muhammad bin Ali (Al Baqir), 6. Abu Abdullah Ja’far bin Muhammad (As Shodiq), 7. Abu Ibrahim Musa bin Ja’far (Al Kadhim), 8. Abul Hasan Ali bin Musa (Al Ridho), 9. Abu Ja’far Muhammad bin Ali (Al Jawwad), 10. Abul Hasan Ali bin Muhammad (Al Hadi), 11. Abu Muhammad Al Hasan bin Ali (Al ‘Asykari), 12. Abul Qosim Muhammad bin Al Hasan (Al Mahdi Al Muntadhor). Imam yang ke dua belas ini diyakinioleh kaum syiah telah mengalami dua kali masa ke-ghaib-an. Ke ghaiban yang pertama terjadi pada tahun 260 H kemudian pemerintahannya diwakilkan kepada empat imam pengganti yaitu: Umar Utsman bin Said Umar, Abu Ja’far Muhammad bin Utsman bin Said, Abu Al Qosim Husain bin Ruh, dan yang terakhir adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad as Samary. Masa keghaiban yang pertama ini disebut dengan ghaibah As Syuhro. Sedangkan keghaiban yang kedua terjadi pada tahun 329 H dimulai dari mangkatnya imam pengganti terakhir yaitu Abu Hasan Ali bin Muhammad as Samary sampai waktu munculnya kembali imam yang ke dua belas yaitu Al Mahdi Al Muntadhor .

Kritik Epistemologi Imamah

Untuk membaca kembali dan menilai secara objektif mengenai konsep imamah dalam Syiah Itsna ‘Asyariyah maka pertama kali kita perlu melacak dari sumber sejarah tentang asal mula kemunculan konsep ini. Juga dengan cara menimbang dan membaca kembali mengenai landasan-landasan normatif baik berupa teks suci Al Quran dan Hadits maupun pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama’ besar Syiah itu sendiri.

Tidak dapat dipungkiri ketika kita mencoba membaca kembali –melakukan kritik- terhadap konsep imamah ini terkadang kita terjebak dengan sebuah kebenaran relatif antar dua kelompok yang berbeda pandangan. Sebut saja ketika kita ingin melakukan kritik tentang landasan normatif imamah yang salah satunya berasal dari nash Al Quran maka kita mau tidak mau akan dihadapkan pada sebuah realita kontradiksi klasik antara kelompok Sunni dengan kelompok Syiah mengenai tafsir dan juga ta’wil satu teks nash tersebut. Maka pada akhirnya kita pun harus rela berada pada pihak kelompok yang berbeda jika memang ingin melihat kritik tersebut. Namun ada juga celah dimana kita bisa membaca ulang konsep imamah secara objektif tanpa terjebak dengan keberpihakan kepada satu golongan tertentu. Karena banyak ulama’ yang mengatakan bahwa konsep imamah yang dibawa oleh Syiah Itsna ‘Asyariyah terdapat banyak penyelewengan dari ajaran-ajaran pokok yang sudah menjadi ijma’ seluruh umat islam .

Secara historis konsep imamah ini dapat diterima keberadaannya. Artinya jika kita merujuk kembali pada buku-buku sejarah imamah maka hampir semua akan menuliskan asal cerita yang hampir sama persis . Akan tetapi sesuatu yang dapat kita baca kembali dan mungkin bisa menjadikan satu kritik atas konsep imamah tersebut adalah latar belakang dan entitas yang melingkupi sejarah tersebut. Misalnya saja ketika kejadian “Yaum Al Ghadir Khum” setelah haji wada’ nabi Muhammad SAW. Secara historis hampir semua ahli sejarah mengatakan bahwa kejadian tersebut adalah salah satu titik tolak lahirnya satu konsep imamah dalam Syiah Itsna ‘Asyariyah. Ketika kesepakatan akan kebenaran kejadian “Yaum Al Ghadir Khum” tersebut di amini oleh hampir semua ulama’ maka kita jelas tidak akan bisa menemukan celah untuk membaca kembali dan melakukan kritik sejarah atas kejadian tersebut. Namun dari kejadian tersebut ada entitas dan kejadian lain yang bisa kita baca ulang dan kritik di sana. Yaitu ketika “Yaum Al Ghadir Khum” itu juga merupakan saat dimana turunnya dua ayat Al Quran surat Al Maidah dan satu ayat awal surat Al Ma’arij. Ditambah juga dengan terjadinya satu hadits nabi yang nantinya disebut dengan Hadits Ghadir Khum. Kedua nash tersebut dalam hubungannya dengan kejadian “Yaum Al Ghadir Khum” juga dapat dijadikan dalil tambahan sehingga terciptalah satu dalil ganda dari satu kejadian. Pertama yaitu kejadian “Yaum Al Ghadir Khum” itu sendiri dan yang kedua adalah teks-teks yang turun dan terjadi pada saat “Yaum Al Ghadir Khum”.

Jika kebenaran historis “Yaum Al Ghadir Khum” hampir pasti disepakati oleh ulama’ maka lain lagi dengan teks-teks yang turun di saat kejadian tersebut. Kedua teks dari Al Quran dan Hadits itu pada akhirnya memang dijadikan sebagai salah satu landasan normatif tentang mandat Tuhan yang diturunkan melalui nabi Muhammad atas ke-imamah-an sahabat Ali dan juga imam-imam seterusnya yang berjumlah dua belas. Justifikasi sepihak dan klaim kaum Syiah terhadap penafsiran kedua teks inilah yang bisa kita baca ulang dan kritisi atas kebenarannya –kebenaran penafsirannya-.

Surat Al Maidah ayat 67 yang mereka namakan dengan Ayat Al Tabligh tersebut menurut mereka turun atas nama Ali. Ayat “Ya ayyuhal rosulu balligh ma unzila ilaika min rabbika waillam taf’al fama ballaghta risalatah, waallahu ya’shimuka minan al nas, inna allaha la yahdil kauma al kafirin” mereka katakan sebagai perintah dari Allah agar nabi Muhammad tidak ragu-ragu dalam memberikan mandat imamah kepada Ali dan pengikutnya. Kemudian jadilah bahwa kaum Syiah paling berhak mewarisi imamah nabi dengan landasan normatif ayat tersebut. Al Thusy adalah salah satu ulama’ yang membenarkan tafsir tersebut .

Namun banyak ulama’ menolak tafisr kaum Syiah tersebut dan menganggap bahwa mereka telah melakukan satu penyelewengan penafsiran ayat Al Quran dan mengarang cerita Asbab An Nuzul tentang ayat tersebut. Diantara ulama tafsir yang menentang tafsir kaum Syiah atas ayat tersebut adalah Ibnu Katsir dan Al Thabary dalam kitab tafsirnya . Imam Thabary menuliskan tafsir atas ayat tersebut sebagai berikut :

“ayat ini menunjukkan perintah Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan pesan kepada kaum yahudi dan nasrani –dua kaum ahli kitab- yang telah diceritakan oleh Allah pada ayat-ayat sebelumnya tentang apa yang telah mereka lakukan, buruknya agama mereka, dan penyelewengan mereka atas ajaran Allah, kitab Allah, sikap buruk mereka teradap nabi-nabi Allah, kejinya tempat dan makanan mereka. Maka janganlah kamu –Muhammad SAW- takut untuk memperingatkan mereka hanya karena meraka mengancammu. Atau karena jumlah mereka yang lebih banyak dari pada jumlah pengikutmu. Karena meskipun hanya seidikit saja engaku tidak menyampakan pesanku maka itu akan menjadi kesalahan dan dosa bagimu. Dan para ahli ta’wil sepakat dengan pendapat ini” .

At Thabary menambahkan setelah menafsirkan ayat tersebut bahwa ia sepakat dengan kebenaran kejadian “Yaum Al Ghadir Khum” seperti yang dituturkan oleh para ahli sejarah. Namun ia berbeda pendapat mengenai latar belakang –Asbab An Nuzul- ayat tersebut dengan apa yang disampaikan kaum Syiah. Menurut Thabary ayat tersebut secara dhahir sama sekali tidak ada yang menunjukkan tentang pengangkatan sahabat Ali sebagai mandat imamah setelah rasul.

Bagitu pula dengan hadits yang turun ketika kejadian “Yaum Al Ghadir Khum”. Dalam hadits itu diceritakan satu hadits oleh Baridah bin Al Hasib Al Aslamy. Nabi Muhammad SAW ketika turun di daerah Ghadir Khum setelah pulang dari haji wada’ ia memegang tangan Ali kemudian mengangkatnya dan berkhotbah didepan para kaum muslimin yang hadir kala itu. Nabi bersabda: wahai kaum muslimin, bukankah aku lebih berhak (Aula) atas kalian semua? Kemudian mereka menjawab: iya, lalu nabi bersabda kembali: barang siapa yang merasa bahwa aku lebih berharhak atas dirinya maka Ali juga lebih berhak atas dirinya (man kuntu maulahu fa Ali maulahu) .

Ulama’ Syiah ber-istidlal (mengambil dalil) bahwa yang dimaksud dengan kata Maula pada hadits di atas adalah “Aula bi At Tasharruf “ yang artinya lebih berhak untuk mengurus segala halnya. Dan pen-ta’wil-an itu lah yang akhirnya mengarah pada arti imamah. Artinya bahwa yang dimaksud dengan Aula bi At Tasharruf tidak lain adalah Aula bi Al Imamah atau lebih berhak untuk menjadi imam. Kemudian kesalahan ta’wil itu terlihat melalui dua hal, yang pertama: dengan inkarnya masyarakat arab terhadap kemungkinan kata Maula diartikan dengan makna kata Aula. Meskipun ada satu ulama’ (Abu Zaid Al Lughawi) yang memperbolehkan terjadinya pemindahan makna tersebut akan tetapi mayoritas ulama’ arab bersepakat bahwa pemindahan makna itu tidak mungkin terjadi. Abu Zaid memberikan contoh ayat Al Quran (hiya maulakum) yang bisa dipindahkan maknanya dari Maula ke Aula artinya menjadi (ai hiya aula bikum). Akan tetapi para ahli tafsir dan lughoh sepakat bahwa penta’wilan itu salah dan tidak dapat diterima. Penafsiran yang benar dari ayat tersebut adalah (an naru maqorrukum wa mashirukum wa al maudhi’ al laiq bikum). Kedua: para ahli bahasa mengatakan bahwa seandainya Maula bisa dita’wilkan dengan menggunakan makna Aula maka makna yang tepat bukanlah Aula bi At Tasharruf. Karena penarikan makna dengan menggunakan arti tersebut dianggap telah melakukan distorsi yang terlalu jauh dan tidak menemukan relefansinya. Justru yang lebih tepat menurut ahli bahasa adalah menggunakan makna Aula bi Al Mahabbah wa At Ta’dhim .

Maka dengan pembacaan kemabali terhadap landasan normatif historis dan teks yang melingkupinya di atas menunjukan bahwa justifikasi imamah yang di katakan sebagai mandat langsung dari tuhan adalah hal yang salah dan perlu dipertanyakan kembali kebenarannya. Selain hal-hal di atas masih ada beberapa isu pokok yang menjadi landasan dan epistem penting dalam konsep Imamah Syiah Itsna ‘Asyariyah yang juga masih membuka celah untuk dilakukannnya kritik serta pembacaan kembali atas kebenarannya.

Imamah Sebagai Bagian Dari Aqidah Pokok Syiah

Syiah Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan bahwa imamah adalah salah satu syarat mutlaq dari keimanan seorang muslim. Imamah adalah bagian dari pokok aqidah Syiah Itsna ‘asyariyah bukan merupakan cabang ajarannya. Bahkan banyak dari ulama’ Syiah yang menuliskan dalam buku-buku karangan mereka bahwa pengakuan seorang muslim terhadap dua belas imam merupakan syarat diterimanya amal ibadah dan perbuatan baik di sisi allah SWT.

Awal dari perbedaan pendapat ini sebenarnya terletak pada tarik ulur isu apakah mengangkat seorang imam itu kewajiban umat atau kewajiban Allah [?]. kelompok Ahlu Sunnah mengatakan bahwa nusbu al imamah atau mengangkat seorang imam adalah kewajiban umat manusia sendiri sedangkan kelompok Syiah mengatakan sebaliknya. Imbas dari pendapat kelompok Syiah inilah yang mengakibatkan sebuah konsekuensi langsung tentang keimanan imamah dari tuhan. Karena tuhan yang berkewajiban mengangkat imam sebagai mandataris-Nya di bumi, maka mempercayai imam yang diangkat oleh tuhan adalah wajib hukumnya .

Imam khoemini menuliskan pendapatnya dalam kitab “Al Arba’un Haditsan” tentang masalah ini : “riwayat-riwayat yang menceritakan tentang masalah ini –masalah imamah bagian dari agama- sangat banyak. Kita bisa mengambil kesimpulan dari semua itu bahwa mengakui otoritas ahlul bait merupakan syarat diterimanya amal manusia di sisi Allah SWT bahkan ia juga menjadi syarat diterimanya iman seseorang kepada Allah SWT dan nabi Muhammad SAW”

Ayyatullah Abul Qosim Al Khui salah satu ulama’ besar Syiah juga menuliskan pendapatnya mengenai kewajiban iman kepada imamah dalam bukunya “Misbah Al Faqohah fi Al Mu’amalat” : “....bahkan sudah tidak diragukan lagi tentang kekufuran mereka –orang yang berbeda pendapat tentang keimanan imamah-. Karena inkar kepada otoritas para imam meskipun hanya satu imam saja dan meyakini akan imam yang lain dapat menyebabkan kufur dan zindik. Kekufuran para penentang imamah itu dikuatkan dengan hadits-hadits yang jelas dan mutawatir” . Masih banyak lagi riwayat-riwayat dari para ulama’ Syiah mengenai keharusan akan keimanan imamah ini.

Ketika kaum Syiah Itsna ‘Asyariyah mengatakan bahwa yang wajib mengangkat dan menentukan imam adalah Allah maka hal itu akan menyisakan beberapa kerancuan. Pertama: Kenyataan tersebut bisa terbantahkan dengan bukti empiris dimana sejak awal munculnya berbagai kelompok islam, mereka menentukan pemimpinnya masing-masing secara independen tanpa ada hubungannya dengan mandat tuhan secara langsung. Hal itu dibuktikan dengan kesepakatan mayoritas kelompok islam yang mengatakan bahwa perpindahan imam harus melalui jalan “Istikhlaf” yaitu diserahkan kepada umat dan diputuskan dengan kesepakatan umat melalui musyawarah . Kedua: jika mereka mengatakan bahwa Allah lah yang wajib mengangkat dan menentukan imam (nusbu al imamah wajibun ‘ala allah) maka hal itu akan mengingkari pendapat mayoritas ulama’ ahli kalam yang mengatakan bahwa tidak ada kewajiban atas dzat Allah untuk melakukan sesuatu hal. Karena dengan mengatakan Allah wajib melakukan sesuatu itu berarti menunjukan sifat lemah Allah karena dia bergantung atas sesuatu dan hal itu tidak mungkin terjadi pada dzat Allah .

Dengan dalil tersebut maka sebenarnya pendapat kaum Syiah yang mengatakan bahwa imamah adalah bagian pokok dari agama dan pengingkaran terhadapnya adalah kafir adalah kurang tepat dan tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam itu sendiri. Karena pada kenyataanya imamah sepanjang perjalanan islam selalu dipilih oleh manusia baik melalui istikhlaf ataupun melalui bai’ah dan ta’yin.

Seorang Imam Harus Ditunjuk Oleh Tuhan

Seperti halnya nabi dan rosul yang ditunjuk langsung oleh Allah melalui nash yang jelas begitu pula kaum Syiah berkeyakinan bahwa seorang imam harus ditunjuk oleh Allah atau rosul-Nya. Hal itu berangkat dari keyakinan mereka bahwa yang berhak mengangkat seorang imam adalah Allah, maka seorang imam harus mendapat mandat secara langsung oleh Allah atau oleh utusan Allah SWT. Dari deskripsi di atas terlihat bahwa Syiah menyamakan posisi imam dengan nabi dan rosul. Keduanya sama-sama bersifat ikhtiyari bukan muktasab. Artinya bahwa seorang yang sudah dikehendaki oleh Allah untuk menjadi seorang imam maka secara otomatis ia akan mempunyai kesiapan mental dan ruhani yang diberikan oleh Allah. Hal juga berarti bahwa seorang yang sudah memenuhi syarat untuk menjadi seorang imam tidak akan pernah bisa menjadi imam selama ia tidak mempunyai surat mandataris dari Allah yang diberikan melalui Rosul-Nya.

Pen-Qiyas-an kaum Syiah atas posisi dan kedudukan imam dengan rosul juga tampak dari perkataan imam Khoemini dalam kitab Al Hukumah Al Islamiyah: “seorang imam mempunyai kedudukan dan derajat yang tinggi, dan mandat langsung dari Allah (khilafah takwiniyah) membuat setiap seorang imam berhak memimpin seluruh alam ini, sesungguhnya di dalam madzhab kami kedudukan seorang imam tidak dapat ditandingi oleh malaikat yang soleh bahkan seorang nabi dan rosul” . Bahkan Dr. Imarah mengatakan bahwa Imam Khoemini tidak melakukan pembacaan yang kritis atas teks-teks para pendahulunya. Khoemini dikatakan hanya melakukan taklid buta dari pendapat-pendapat para pendahulunya tentang masalah imamah. Hal itu terlihat dari kesamaan pendapat khoemini dengan pendapat para ulama’ Syiah zaman dahulu yang terkesan terlalu berlebihan dalam menyanjung kedudukan imamaah. Kesan fanatisme buta dan berlebihan itu sangat ketara bahkan ada satu qoul yang mengatakan bahwa kedudukan seorang imam di mata Allah lebih baik dari pada kedudukan seorang nabi karena kekuasaan seorang nabi terbatas pada zamannya sedangkan imam mempunyai kekuasaan yang mutlak tidak terbatas .

Secara historis landasan normatif dari penunjukan imam melalui teks Al Quran dan Hadits telah saya tuturkan di awal makalah dalam pembahasan historis “Yaum Ghadir Khum”. Kalaupun ada hadits-hadits lain tentang penunjukan imam dalam Syiah Itsna ‘Asyariyah kebanyakan hadits tersebut terbukti adalah merupakan hadits yang dhoif bahkan terindikasi maudhu’ atau sengaja dibuat-buat. Kalaupun ada hadits yang tidak dhoif maka kebanyakan juga terdapat hadits lain yang bertentangan dan lebih mutawatir. Maka secara Naqli klain dan landasan normatif tersebut sudah terbantahkan dengan metode yang sama pula.

Kemudian secara Aqli –rasional- dalil dan epistema ini juga menyisakan beberapa pertanyaan yang melemahkan kebenarannya secara ilmiyah. Pertama: seandainya memang benar ada teks Al Quran yang menunjuk pengangkatan imam secara keseluruhan, maka seharusnya teks itu bersifat muatawatir dan diketahui oleh banyak ulama’. Namun kenyataanya banyak ulama’ dari kelompok lain yang tidak mengakui klaim ulama’ Syiah tersebut. Hal ini sangat tidak mungkin karena semua umat islam sepakat bahwa Al Quran adalah kitab yang bersifat mutawatir dan kebenarannya diakui oleh semua golongan. Jadi sangat tidak mungkin ada suatu kebenaran dalam Al Quran yang hanya diketahui oleh sekelompok orang secara dhohir. Begitu pula dengan hadits nabi yang selain mensyaratkan adanya kesahihan sanad juga mensyaratkan adanya tawafuq dengan riwayat lain yang muatawatir. Contohnya adalah hadits yang mereka klaim bahwa nabi telah mengatakan bahwa nabi telah mengangakat Ali dan 12 imam, padahal dalam hadits itu hanya dikatakan bahwa imam itu ada 12 dimulai dari Ali dan diakhiri dengan Al qoim itupun dengan catatan bahwa hadits itu adalah maudhu’. Kaum syiah mencoba melakukan serangan balik atas pertanyaan ini dengan menggunakan alasan Taqiyyah . Akan tetapi penyembunyian –taqiyyah- itu tidak dapat dibenarkan dalam islam karena akan menghilangkan kekuatan hujjah dari dalil tersebut . Kedua: sejarah telah membuktikan secara empiris bahwa sistem peralihan imamah dalam Syiah Itsna ‘Asyariyah ini mengundang keraguan akan klaim penunjukan tuhan tersebut. Imam Fahruddin Ar Razi dalam bukunya Al Mahshul membahas satu bab khusus di akhir buku tentang konsep imamah Syiah ini. beliau menuturkan ketidakmungkinan kedua belas imam itu diangakat langsung oleh Allah melalui landasan teks normatif. Sedangkan sepanjang perjalanan Syiah kita menemukan perpecahan dalam Syiah itu dimulai ketika para ulama’ berselisih pendapat mengenai siapa yang berhak mewarisi imam setelah sang imam yang lama wafat. Sebagian kecil contohnya adalah ketika wafatnya imam ke 6 yaitu Abu Abdullah Ja’far bin Muhammad wafat sedangkan ia meninggalkan 4 anak kemudian semuanya merasa berhak mewarisi imamah ayahnya, lalu bertambahlah pecahan Syiah menjadi pengikut Abdullah (Syiah Afthuhiyah atau Imariyah), kemudian pengikut Ismail (Syiah Ismailiyah), kemudian pengikut Musa (Syiah Fadhiliyah). Begitu seterusnya sepanjang periode imam sampai Syiah terpecah menjadi 82 kelompok. Hal ini membuktikan bahwa sejarah telah menghancurkan klaim mandataris tuhan itu menjadi sebuah sistem ta’yin atau semacam monarki (kekuasaaan warisan) .

‘Ismah Imamah

Kema’suman seorang imam dalam Syiah Itsna ‘Asyariyah mungkin menjadi puncak dari segala puja puji dan fanatisme kaum Syiah atas para imamnya. Salah satu buktinya adalah ketika isu kema’suman ini sangat sedikit sekali didukung dengan data teks nash baik dari Al Quran maupun Hadits. Berbeda dengan isu lainnya dalam Syiah yang di sana mereka mempunyai atau mungkin membuat satu klaim landasan normatif teks dibelakangnya. Mereka mengatakan imam harus ma’shum karena mereka menganggap imam sama kedudukannya dengan nabi bahkan dalam satu riwayat malah lebih tinggi dari nabi . Dalil analogi itulah yang pada akhirnya mengawali serangkaian dalial-dalil rasional –aqli- lainnya untuk menyokong pendapat mereka tentang kema’shuman seorang imam.

Setidaknya ada beberapa dalil yang mereka jadikan alasan mengapa seorang imam harus bersifat ma’shum selain dalil analogi kedudukan imam dengan nabi. Pertama: “bahwa seandainya seorang imam tidak ma’shum maka akan terjadi tasalsul. Karena alasan yang melatarbelakangi dibutuhkannya seorang imam adalah karena umat manusia sangat mungkin melakukan dosa kesalahan itulah mengapa dibutuhkan seorang imam, maka jika imam juga mungkin melakukan dosa dan kesalahan ia juga akan membutuhkan orang lain lagi dan terjadilah tasalsul”. Alasan ini sepintas terlihat sangat meyakinkan akan tetepi sebenarnya secara dhohir sudah terjadi kesalahan. Artinya bahwa kebutuhan umat akan seorang yang terpenting bukanlah masalah tentang kebutuhan akan sosok yang tidak mungkin berbuat dosa akan tetapi lebih kepada kebutuhan akan seorang pemimpin yang bisa mengawal syariat Allah dan membumikan kemaslahatan umat. Maka sebenarnya sifat “Adil” sudah cukup untuk menutup itu semua . Dalil lain adalah jika memang maksud dari kema’shuman imam itu adalah untuk menjaga umat dari kesalahan, maka disetiap daerah akan membutuhkan seorang imam yang ma’shum karena tidak mungkin satu imam ma’shum akan bisa menyelesaikan persoalan seluruh umat yang tersebar di berbagai penjuru daerah.

Kedua: “meraka mengatakan bahwa seorang imam adalah pengaja syariat Allah, maka dia harus mempunyai sifat ma’shum”. Alasan ini kurang dapat diterima karena pada dasarnya yang menjaga kelanggengan syariat Allah bukanlah terletak pada kema’shuman seorang imam akan tetapi pada penerapan syariah itu sendiri. Atau dengan kata lain yang menjaga kelangsungan syariat sebenarnya adalah Al Quran dan Hadits itu sendiri. Artinya selama Al Quran dan Hadits itu masih tetap diamalkan secara benar oleh umat manusia maka terjagalah syariat islam dan itu tidak membutuhkan kema’shuman seorang imam .

Ketiga: “mereka mengatakan bahwa hanya imam Ali yang ma’shum dan selain itu mereka bukanlah imam ma’shum bahkan tiga sahabat yang termasuk khulafa’ arba’ah”. Terjadi satu paradok pada kata-kata ulama’ syiah ini karena pada realitanya sejarah telah memperlihatkan kepada kita betapa setiap pengikut Syiah saling mengklaim kema’shuman imam mereka masing-masing. Alasan itu juga menyalahi kesepakatan mayoritas ulama’ bahwa Abu Bakar dan Umar bagaimanapun tetap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pada Ali. Jika Ali berhak menyandang pangkat ma’shum maka seharusnya kedua orang itu juga lebih berhak menyandang kema’shuman. Tetapi semua ulama’ sepakat bahwa Abu Bakar dan Umar tidak ma’shum lalu bagaimana bisa Ali diberi pangkat ma’shum [?] .

Hal lain yang masih menyisakan satu kejanggalan adalah bagaimana seorang untuk mengukur kema’shuman tersebut sedangkan ia adalah barang abstrak yang berbentuk kemampuan jiwa nurani –malakah nafsiyah- [?]. Dengan berbagai alasan diatas maka sebenarnya kema’shuman hanya bisa diketahui dengan nash ataupun berita dari orang yang memberikan kema’shuman tersebut. Seperti halnya kema’shuman nabi yang diberitakan langsung oleh Allah dalam Al Quran. Lalu bagaimana dengan kema’shuman para imam Syiah [?] apakah menurut mereka kema’shuman itu bisa diberikan oleh manusia kepada manusia lain sedangkan yang bisa menjaga dari dosa dan kesalahan hanyalah Allah semata.

Epilog

Demikian paparan singkat sekaligus pembacaan kembali tentang konsep imamah yang dibawa oleh Syiah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah. Apapun kesimpulan yang bisa kita ambil dari sebuah pembacaan kembali tehadap suatu konsep maka sebenarnya semuanya hanya akan kembali pada satu kebenaran hakiki yaitu Allah itu sendiri. Jadilah segala konsep yang dibuat oleh manusia pasti tidak akan bisa menyamai konsep yang dibuat oleh Allah. Seperti halnya kaum Syiah yang mencoba menganalogikan konsep nubuwah Allah dengan konsep imamah meraka. Wa Allah A’lam.

4 comments:

Anonim mengatakan...

www.jakfari.wordpress.com

Anonim mengatakan...

Dialog Ja’far al-Shiddiq dengan seorang Syi‘ah.[3]

Seorang rawi[4] menuturkan bahawa ada seorang Syi‘ah mendatangi Ja’far bin Muhammad al-Shiddiq[5] Karramallah Wajha lalu segera mengucap salam: “Assalamu‘alaikum waRahmatullahi waBarakatuhu.” Ja’far terus menjawab salam tersebut.

(Dialog pertama):

Syi‘ah tadi bertanya: Wahai putra Rasulullah, siapakah manusia terbaik setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?

Ja’far al-Shiddiq menjawab: Abu Bakar (radhiallahu ‘anh).

Syi‘ah bertanya: Mana hujahnya dalam hal itu?

Ja’far menjawab: Firman Allah Ta‘ala:

Kalau kamu tidak menolongnya (Nabi Muhammad) maka sesungguhnya Allah telahpun menolongnya, iaitu ketika kaum kafir (di Makkah) mengeluarkannya (dari negerinya Makkah) sedang ia salah seorang dari dua (sahabat) semasa mereka berlindung di dalam gua, ketika ia berkata kepada sahabatnya: “Janganlah engkau berdukacita, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan semangat tenang tenteram kepada (Nabi Muhammad) dan menguatkannya dengan bantuan tentera (malaikat) yang kamu tidak melihatnya. [al-Taubah 9:40]

Ja’far melanjutkan: Cuba fikirkan, apakah ada orang yang lebih baik dari dua orang yang nombor ketiganya adalah Allah ? Tidak ada seorang pun yang lebih afdhal daripada Abu Bakar selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Maka Syi‘ah berkata: Sesungguhnya ‘Ali bin Abu Thalib ‘alaihi salam telah tidur di tikar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (demi menggantikannya dalam peristiwa hijrah) tanpa mengeluh (jaza’, ertinya tabah) dan tidak takut (faza’, ertinya ia tegar).

Maka Ja’far menjawab: Dan begitu pula Abu Bakar, dia bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa jaza’ dan faza’.

Syi‘ah menyanggah: Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah menyatakan berbeza dengan apa yang anda katakan !

Ja’far bertanya: Apa yang difirmankan oleh Allah?

Syi‘ah menjawab: …ketika ia berkata kepada sahabatnya: “Janganlah engkau berdukacita, sesungguhnya Allah bersama kita” bukankah ketakutan tadi adalah jaza’ ?

Ja’far menjelaskan: Tidak kerana Huzn (sedih) itu bukan jaza’ dan faza’. Sedihnya Abu Bakar adalah khuatir jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibunuh dan agama Allah tidak lagi ditaati. Jadi kesedihannya adalah terhadap agama Allah dan terhadap Rasul Allah, bukan sedih terhadap dirinya. Bagaimana (dapat dikatakan dia sedih untuk dirinya sendiri padahal) dia disengat lebih dari seratus sengatan dan tidak pernah mengatakan “His” juga (tidak pernah) mengatakan “Uh” (tidak mengerang kesakitan).

Anonim mengatakan...

Related Artikel :

http://alfanarku.wordpress.com/2009/10/12/analisa-hadits-ghadir-khum-bagian-1/

Sufi mengatakan...

Kaum Syiah 12 Imam Adalah yang di sebut Oleh Rasul Sebagai Khoirul Bariyyah

Etimologi kata Syiah telah dikenal masyarakat Madinah bahkan saat Jamal Santer di sebut sebut sebagai pengikut paling setia Amiril Mukminin Ali KW

Khoirul bariyyah adalah surah al bayyinah ayat 7
seperti diredaksikan tafsir Thobari dan As Suyuthi

hingga pada masa itu Semua sahabat berlomba lomba agak disebut khoirul bariyyah

Sampai saat ghadirkum semua sahabat yang masih menyandang label Syiah membaiat Imam Ali KW

mereka baru melepaskan ke syiahan mereka ketika Rasul Wafat

jadi bagaimana tuduhan anda bisa terbukti bila Lisan Rasul pernah menyebut Syiah

apakah Rasul pernah menyebut golongan lain selain Syiah

Posting Komentar

 
;