Rabu, 03 September 2008

Salahkah Aku Merokok [?]



Dalam kehidupan kita rokok bukanlah barang yang asing. Apalagi bagi para kaum lelaki mereka pasti sangat akrab dengan yang namanya rokok. Isu rokok kembali hangat setelah di Indonesia baru-baru ini Seto Mulyadi alias Kak Seto ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta MUI untuk mengeluarkan fatwa haram merokok. Fatwa itu dinilai penting untuk melindungi anak-anak dari kecanduan dini merokok.

Terang saja isu tersebut sampai dampaknya pada mahasiswa mesir (masisir) secara kita sebagai anak indonesia pasti akan selalu peduli dengan segala hal yang terjadi di negara kita tercinta. Apalagi ini tentang rokok, sesuatu yang sudah kadung akrab dengan kehidupan sosial kita dan lagi selalu penuh dengan kontroversi.

Pro dan kontra seputar permasalahan rokok biasanya lebih heboh ketika ia dibawa kedalam pembahasan yang bersifat hukum legal formal agama (islam). Kenyataan itu terjadi mungkin karena beberapa faktor diantaranya adalah fakta empiris bahwa sebagian besar penduduk negara Indonesia adalah pemeluk agama islam sehingga kecenderungan mereka pasti akan meruju’ kembali kepada islam. Mungkin juga kekuatan hukum islam itu dipandang lebih ampuh efeknya dalam masyarakat sehingga sering kali kita melihat banyak oknum memanfaatkan hukum islam untuk mendukung pendapatnya.


Pertanyaannya sekarang adalah “apakah mereka yang merokok tidak tahu dan tidak sadar bahwa merokok akan memberikan dampak negatif bagi kesehatan mereka ?”. Di setiap box rokok selalu tercantum tulisan peringatan tentang bahaya yang dapat ditimbulkan rokok bagi para penghisapnya. Di sini (Cairo) malah lebih ekstrim lagi tidak hanya tulisan tetapi juga disertai berupa gambar yang terkadang membuat kita merinding melihatnya. Artinya adalah saya yakin mereka yang memutuskan diri untuk menghisap sebatang rokok pasti sangat sadar akan bahaya yang mungkin bisa menimpa dirinya. Oleh karena itu sebenarnya peringatan itu sudah lebih dari cukup sebagai informasi tentang bahaya merokok.


Dalam berbagai kesempatan kita tentu sudah sangat sering mendengarkan paparan argument dari orang-orang yang mendukung rokok juga dari orang-orang yang menentang adanya rokok. Banyak dalil dalam argument mereka mulai dari dalil riset kesehatan hingga dalil agama yang bersumber dari fikih. Mereka yang tidak setuju dengan adanya rokok mengatakan bahwa dampak buruk rokok sudah terbukti secara medis dan dibuktikan dengan hasil riset yang valid. Ia bisa mengakibatkan sang penghisapnya mengalami penyakit jantung, paru-paru, impotensi hingga penyakit lainnya. Itu berarti tidak sesuai dengan perintah agama yang mewajibkan setiap manusia untuk selalu menjaga anggota tubuh kita dari sesuatu yang bisa membahayakan seperti dalam kaidah fikih “adh dharar yuzalu”. Maka dalil tersebut mereka anggap cukup untuk memberikan label “haram” pada rokok. Sebalikya mereka yang mendukung berdalih bahwa riset medis itu bersifat sangat relatif dan bukanlah sesuatu yang final. Faktanya adalah dampak negatif tersebut tidak terjadi pada semua orang yang merokok. Mereka juga menganggap dalil fikih yang dijadikan sandaran keharaman merokok itu tidak kuat karena pada kenyataannya di dalam al qur’an maupun hadits tidak pernah disebutkan secara khusus tentang keharaman merokok. Masih banyak dalil lain tentunya yang saya rasa tidak perlu disebutkan disini. Dan lagi sejak dulu para ulama’ masih berbeda pendapat tentang hukum rokok tersebut. Belum lagi jika kita melihat realitas empiris di negara indonesia dimana rokok telah memberikan masukan devisa yang lumayan besar bagi negara dan juga telah memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat yang jumlahnya tidak sedikit. Al hasil rokok menurut mereka bukan hanya permasalahan hukum agama saja akan tetapi sudah masuk dalam tataran sosial dan ekonomi masyarakat sehingga menghukumi haram bukanlah solusi yang baik. Perdebatan dan tarik ulur seputar hukum merokok itu sampai sekarang masih terjadi dan saya rasa akan terus terjadi dalam kehidupan kita. Hal itu dikarenakan Kedua-duanya memiliki dalil yang sama kuat.

Saya yakin selamanya masalah ini tidak akan selesai jika kita tetap saling “eyel-eyelan” mengenai hukum merokok apakah itu diperbolehkan dalam agama ataukah diharamkan. Karena masing-masing pendapat sama-sama mempunyai kemungkinan untuk benar dan salah. Sekali lagi ini bukanlah permasalahan yang pasti dalam islam (qot’i), oleh karena itu setiap mujtahid berhak melakukan ijtihad didalamnya dan setiap orang diperbolehkan mengikuti pendapat yang ia suka. Saya malah cenderung agak khawatir persoalannya akan menjadi tambah rumit bila saja suatu ketika nanti ada oknum-oknum tertentu yang memaksakan agar hukum rokok ini dilegalkan melalui satu institusi keagamaan. Pemaksaan legalitas hukum inilah yang pada akhirnya akan menyebabkan kehidupan menjadi tidak harmonis.

Hal yang harus kita perhatikan ketika menemui masalah seperti ini mungkin adalah dengan cara mengembalikannya kepada hati nurani dan norma hukum etika kita masing-masing. Jika banyak orang akan berbeda pendapat mengenai hukum rokok dalam islam, saya yakin semuanya akan sepakat bila kita menggunakan aturan dan etika kehidupan yang ada. Karena mungkin saja variabel etika secara umum tidak akan mengalami banyak perbedaan diantara banyak orang. Semuanya harus berawal dari kelapangan hati kita untuk bisa menerima perbedaan pendapat tersebut. Setelah itu dilanjutkan dengan kesadaran hati kita bahwa kita tidak bisa memaksakan satu hal yang kita inginkan kepada orang lain apapun itu bentuknya.

Artinya adalah pemaksaan pendapat kepada seseorang agar berhenti merokok tentu saja tidak dapat dibenarkan menurut dasar etika dan norma sosial yang berlaku. Itu dikarenakan dalam norma sosial kita harus menghormati segala keputusan yang dilakukan seseorang sepanjang itu memiliki dalil dan argument yang jelas serta tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Apalagi jika pemaksaan itu kemudian dilembagakan dalam sebuah peraturan umum yang mengikat dan terkesan sangat eksklusif. Akan tetapi kampanye, ajakan, himbauan, atau apapun itu sepanjang tidak keluar dari koridor pemaksaan maka hal itu sah-sah saja untuk dilakukan. Bahkan dalam kasus ini bisa jadi mereka yang menganggap merokok dapat merugikan kesehatan serta lingkungan sangat dianjurkan untuk mensosialisasikan pendapat mereka.

Dipihak lain untuk menuju satu kehidupan yang damai tanpa ada sentiment apapun tentang perbedaan hukum merokok itu, maka pihak kedua dalam hal ini sang penghisap rokok juga harus mematuhi etika dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat atau lingkungannya. Sikap sadar diri itu tentunya harus hadir dari dua pihak bukan hanya pihak yang menentang aktivitas merokok tapi juga dari pihak yang mendukung aktivitas tersebut.

Tentu kita sangat faham ketika dalam satu ruangan ataupun forum terdapat himbauan untuk tidak merokok, maka akan sangat salah dan tidak sopan jika kita dengan santai melakukan aktivitas merokok di dalamnya. Atau ketika kebetulan disamping kita adalah seorang yang alergi dengan asap rokok dan kita sedang ingin merokok, maka sudah sepantasnya kita harus menghindar sejenak dan mencari tempat yang sepi agar tidak mengganggu kenyamanan dan hak orang lain. Sikap-sikap seperti itu saya rasa sangat umum dan dapat dipahami oleh semua orang yang memiliki kepekaan sosial dan paham akan etika kehidupan.

Akhirnya, sama sekali tidak ada gunanya jika kita terus-terusan berdebat tentang sesuatu yang memang tidak akan ada habisnya. Merokok bukanlah masalah siapa yang benar dan siapa yang salah, ia juga bukan masalah apakah ia halal atau haram. Akan tetapi merokok adalah bagian dari perbedaan yang harus kita hormati. Yakinlah bahwa seorang yang sedang merokok sangat sadar akan segala konsekuwensi yang mungkin bisa menimpa kesehatan mereka, dan himbauan anda sudah lebih dari cukup untuk menggugurkan keawajiban seorang manusia untuk saling mengingatkan dalam hal yang baik. Jadi...yang tidak merokok tidak perlu memaksakan orang lain untuk berhenti merokok dan yang sedang merokok harus selalu menghormati hak orang lain untuk hidup sehat tanpa asap rokok di sekelilingnya. Mari menghimbau seperlunya dan silakan merokok pada tempatnya.

3 comments:

Anonim mengatakan...

Sebenernya jalan tengah yang disampaikan diatas mirip ...
Banyak ulama yang menfatwakan bahwa musik itu haram.
Nah trus kita ada yg protes dan mengatakan di Al Quran dan Hadits khan tidak ada dalilnya, en ndenger musik khan hak asasi.
Nah masalahnya pihak yang protes ini kadang-kadang nggak ngerasa kalo udah melanggar privasi en hak asasi orang lain. Khususnya telinga yg mengharamkan. Nge-play musiknya kayak show musik, banter, kenceng en lagu mesum lagi...
Nah kalo sudah begini bagaimana ?

Sama juga dengan rokok.
Ini khan hak gue. Gue ngerokok khan pake duit gue. Gue sakit juga gue yg nanggung.
Masalahnya asap rokok miliaran orang di bumi ini dari dulu numpuk ber-Ton-ton di atmosfir/ di udara yg kita hirup.
Klo udah begini, yg nggak ngerokok pun berhak protes bahkan berhak mengajukan gugatan. Kenapa asap rokok ente ada di paru-paru gue?, gue minta ganti rugi 100 Miliar....untuk mengobati paru-paru gue. en semua yg tidak ngerokok juga berhak minta ganti rugi lho...

Nah kalo begini siapa yang mau ikutan ?

Unknown mengatakan...

@atasku: terima kasih sebelumnya karena anda sudah sudi mampir dan memberikan komentar terhadap tulisan saya,
menanggapi komentar anda di atas, seperti yang sudah saya katakan dalam tulisan singkat saya bahwa sebetulnya hukum merokok dalam al qur'an dan hadits tidak terdapat secara jelas "sorih" itulah mengapa para ulama' berbeda pendapat dalam menghukumi rokok sesuai dengan "ilal" masing masing.
mengenai analogi yang anda berikan diatas saya kira secara tidak langsung anda menyetujui tulisan saya bahwa sebenarnya masalah seperti ini tidak akan selelsai kalau kita terus berdebat dan saling membenarkan hukum "dhanni" ini. masalah ini akan lebih mudah teratasi ketika kita mencoba menariknya ke dalam daerha kultural berupa etika sosial dan aturan masyarakat yang berlaku. anda berbicara tentang melanggar privasi orang lain dan itu menurut saya malah lebih dekat dan lebih mudah diatasi dengan cara memberikan pendidikan etika yang baik dan benar bukan dengan cara memaksakan hukum denagn cara melakukan "legalisasi" atau sebaliknya terhadap hukum itu sendiri. contohnya begini tivi dan menonton tivi itu kan bukan haram, tapi kita semua tahu bahwa banyak acara tv yang kurang baik dan kurang mendidik masyarakat kita, lalu apakah solusinya dengan cara mengharamkan TV itu sendiri sedangkan di sisi lain masih banyak juga acara lain yang mendidik dan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. solusi yang lebih baik mungkin adalah dengan mengatur acara TV itu dengan undang2 atau peraturan lain melalui instansi yang berwenang seperti KPPI atau yang lainnya bukan dengan cara membubarkan semua TV dan mengharamkannya.
begitu pula dengan rokok, solusi mengharamkan rokok selain akan membawa madharat bagi banyak orang juga akan menyalahi hukum sosial dalam kehidupan masyarakat yang heterogen di indonesia. coba anda bayangkan jika memang rokok itu diharamkan, saya tidak yakin akan efektif karena toh pada akhirnya yang kena hukum haram hanya lah orang islam saja. orang selain islam masih berhak untuk mengkonsumsi rokok karena mereka tidak termasuk orang islam yang terkena "taklif" hukum haram tersebut. dengan begitu pabrik rokok pasti akan punya alasan untuk meneruskan usahanya dan orang islam yang lainnya saya yakin pasti juga akan terpengaruh dengan realitas seperti itu.
alhasil menurut pendapatku yang paling bijak adalah mengembalikan semuanya pada hukum etika, yang merokok harus belajar menghormati hak orang lain yang tidak merokok dengan cara mencari tempat yang tidak mengganggu orang lain. dan yang tidak merokok juga harus menghormati pilihan orang lain untuk tetap merokok. terakhir, ini hanya sebatas pendapat saya dan sangat mungkin berbeda dengan pendapat orang lain. mari kita budayakan untuk saling menghormati pendapat sesama.
sekian dan terima kasih

Anonim mengatakan...

dalam hal ini pemerintah sama sekali tidak menunjukkan ketegasannya dalam menentukan sikap..
pemerintah saat ini masih condong ke produsen rokok.

fatwa mui pada 12 Agustus 2008 yang menetapkan hukum haram merokok bagi anak yang berusia dibawah 17 tahun itu saya rasa tidak ada gunanya, karena apakah pada usia tersebut sudah termasuk mukallaf ?(mungkin ada sebagian)

satu-satunya cara untuk mengurangi, mengapa saya sebut mengurangi ? karena pemerintah tidak akan rela kehilangan pemasukan 30 triliun pertahunnya. Dan satu-satunya cara yang menurut saya logis adalah merealisasikan pemikiran M jusuf kalla (dalam debat capres) dengan menaikkan harga rokok tersebut, otomatis secara tidak langsung konsumen rokok akan berfikir dua kali untuk membelanjakan uangnya....

maaf kalau tidak nyambung dengan topik..
karena saya juga seorang yang belajar berfikir..

Posting Komentar

 
;