Rabu, 03 September 2008

Para Penghianat Kemerdekaan



Semua orang yang mengaku sebagai warga negara indonesia pasti mafhum dan sepakat kalau kita harus menghormati jasa dan perjuangan para pahlawan dulu yang telah mangkat di medan peperangan. Alih-alih mengikuti kata pepatah bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghormati para pejuangnya.

Betapa tidak jika kita membaca kembali buku sejarah yang dahulu pernah kita pelajari di sekolah SD hingga SMA atau sekadar menonton film-film dokumenter tentang perjuangan dulu pastilah kita merasakan betapa beratnya perjuangan mereka kala itu. Beragam pertempuran dengan musuh-musuh yang tangguh mulai dari belanda hingga jepang mereka lalui dengan susah payah hanya untuk menuntut satu kebebasan dan kehidupan yang damai di bumi mereka sendiri. Entah sudah berapa mayat terkubur untuk membayar sebuah arti kebebasan tersebut. Entah sudah berapa tahun mereka lewati dengan berbagai penyiksaan hanya untuk mempertahankan eksistensi di bumi mereka sendiri. Selogan “merdeka atau mati” bukanlah selogan yang kosong akan arti. Ia bak sebuah pekikan petir dari manusia-manusia yang mengidamkan satu kebebasan dan kedamaian. Ia seperti sebuah ikrar pengorbanan yang lebih dari segalanya, bahkan raga dan nyawa pun mereka relakan untuk membayar sebuah kemerdekaan tersebut.

350 tahun berada dalam kekangan dan perintah orang asing bukanlah hal mudah untuk dilalui. Bayangkan jika berada dalam masa-masa itu betapa beratnya menanggung kehidupan di bawah tangan para penjajah. Kerja rodi, penyiksaan, pembodohan politik, pembodohan intelektual, pengebirian kebebasan dalam berbaai hal adalah sedikit dari bentuk-bentuk konsekuwensi yang harus dirasakan oleh kakek-kakek kita dahulu kala.

Dan mungkin saja masih ada banyak kepedihan yang mereka rasakan dulu yang tidak sempat terekam oleh fakta sejarah sehingga tidak sampai pada kita. Saya rasa semua itu sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan kita betapa perjuangan itu harus kita hargai dan apresiasi.

Hingga tiba pada tanggal 17 Agustus 1945 dimana semua rakyat indonesia bersepakat untuk melawan penjajah dan mendeklarasikan kemerdekaannya. Dengan orasi politik yang dibacakan oleh Bapak Soekarno indonesia mencoba membawa nasibnya sendiri ke arah yang lebih baik. Keberanian untuk mengambil resiko melawan penjajah dan mengumumkan kepada dunia bahwa indoensia telah merdeka menjadi awal kehiduapan di bumi pertiwi ini. Dan hingga kini berkat semua jerih payah mereka kita bisa menikmati apa arti sebuah kebebasan di bumi sendiri.

Saya yakin Bung Karno beserta para pejuang yang lainnya ketika itu tidak hanya berhenti pada itu saja. Pasti ada satu impian yang ingin mereka capai untuk negara serta anak cucu mereka dahulu. Meraka pasti mengidamkan agar kepedihan dan keterpurukan yang mereka rasakan selama dalam masa penjajahan tidak lagi dirasakan oleh anak cucu meraka. Jangan ada lagi pengekangan sosial, politik, pendidikan, atau segala hal lainnya. Jangan ada lagi interfensi apapun dari orang asing di bumi indonsia. Jangan ada lagi perampokan kesejahteraan oleh pemerintahan yang semena-mena terhadap rakyatnya. Meraka tentu memimpikan suatu saat nanti indonesia bisa menjadi satu negara maju yang dikagumi serta dihormati oleh negara-negara lain di dunia.

Sudah barang tentu impian dan cita-cita Bung Karno dan kawan-kawan juga adalah tanggungjawab kita semua. Sampai kapanpun masyarakat indonesia berkewajiban meneruskan dan menjaga cita-ciat leluhur itu. Pertanyaannya sekarang adalah “sudah sampai dimana saat ini cita-cita itu tercapai?”. Tentu saja kita akan bingung atau malah kesulitan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Sangat ironis memang kalau kita melihat apa yang terjadi di indonesia saat ini. Hari ini tepat 63 tahun setelah kemerdekaan itu tapi kita masih terasa sangat jauh dari apa yang dicita-citakan para pejuang dulu. Justru perjalanan selama 60 an tahun itu malah ternodai dengan berbagai tingkah polah anak-anak bangsa yang dengan tega bersikap seperti penjajah di negerinya sendiri.

Saya sangat prihatin dengan keadaan indonesia saat ini. Beberapa hari ini kita begitu kenyang disuguhi dengan berita-berita yang seakan membuat kita tak mampu tersenyum kembali. Betapa tidak suatu institusi yang seharusnya mengawal cita-cita bangsa untuk mensejahterakan rakyat dan mengangkat martabat bangsa malah berebut dan berlomba mengeruk harta negara. Korupsi menjadi-jadi bahkan sudah menjadi hal yang bukan tabu lagi di semua kalangan bangsa ini. Mulai dari tingkat yang paling rendah saat pembuatan KTP hingga ketingkat yang paling tinggi seperti penjualan aset-aset negara dan penyelundupan uang negara.

Entah apakah itu imbas dari kekuasaan mutlak Soeharto selama hampir 32 tahun ataukah itu merupakan suatu hasil panjang dari akumulasi sifat-sifat rakus para pejabat kita. Nyatanya hingga kini kasus korupsi terus saja meraja lela bahkan trend korupsi kini ikut menular ke gedung DPR MPR. Para dewan yang terhormat itu satu persatu digelandang oleh Polisi karena kasus penggelapan uang dan penyuapan. Bagaimana bisa dewan yang dikatakan sebagai perwakilan rakyat malah memakan sendiri harta rakyat dan membiarkan rakyatnya sengsara di desa-desa. Ternyata hiruk pikuk reformasi yang hampir sepuluh tahunan yang lalu digembar-gemborkan oleh para dewan telah sukses untuk mengelabuhi rakyatnya sendiri.

Kita tidak sadar bahwa selama 63 tahun kita telah terjajah oleh bangsa kita sendiri. Hak-hak masyarakat untuk mendapat kesejahteraan mereka telah dirampas oleh oknum-oknum yang sama sekali tidak perperi kemanusiaan. Mereka itulah para penghianat kemerdekaan yang telah tega menelantarkan rakyat dan menghianati seluruh bangsa. Merekalah para penjajah yang sebenarnya sama bahayanya dengan orang-orang asing yang 63 tahun yang lalu diusir oleh para pejuang kemerdekaan.

Dan selama ini saya menganggap berbagai kemeriahana yang kita adakan dihari 17 Agustus hanya merupakan satu hiburan untuk melupakan sejenak kepedihan yang selama ini masih terus kita rasakan. Rakyat Indonesia seakan sedang mencoba menghibur dirinya sendiri dengan menyibukkan harinya dengan berbagai hiburan rakyat dan lomba-lomba. Kemudian dua hari setelah itu mereka akan sadar kembali bahwa kehidupan mereka belum terlepas dari penjajahan. Ya..wajar memang dan bahkan sangat wajar karena hanya itu yang bisa meraka lakukan saat ini. Histerisitas meraka sudah dianggap kuno dan klise untuk diungkpan dengan demo-demo anti korupsi, atau dengan satu orasi politik tentang kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung rakyat. Toh para pejabat dan para dewan yang terhormat di sana juga belum tentu mau mendengarkan keluh kesah rakyatnya atau memang karena mereka sudah menganggap hal yang biasa jika rakyat mengeluhkan kesejahteraan mereka.

Sampai pada akhirnya kita harus sadar bahwa perjuangan itu belumlah berkahir. Cita-cita para pejuang itu masih sangat jauh dari kenyataan. Api itu masih sangat jauh dari pangggang. Selama kesejahteraan rakyat belum bisa terpenuhi, selama jaminan pendidikan belum bisa tercapai, selama kebebasan masih selalu dikebiri oleh pihak-pihak tertentu, maka selama itu bangsa Indonesia belum akan merasakan arti kemerdekaan yang hakiki seperti yang dicita-citakan para pejuang kemerdekaan dulu.


0 comments:

Posting Komentar

 
;