Sabtu, 06 Juli 2013

Menyoal Tarekat Konvensional


  1. Pendahuluan
            Terandaikan, Islam adalah sebuah samudera yang maha luas. Maka pada kedalamannya yang tak terjamah matahari itulah khazanah tasawuf bersemayam. Tasawuf bukan sebagai “benalu”, sebaliknya tasawuflah harta karun, spirit (ruh) bagi  bangunan Islam. Sebagai kerajaan batin yang menghimpun sekian lukisan hakekat kehidupan, yang terjaga dalam setiap ‘arsy - kalbu - para sufi. Di mana penggambaran hakekat tersebut jauh lebih jernih dibanding tumpukan sketsa realita yang diilustrasikan oleh gugusan indera dan nalar manusia.
            Saat melalui wahyu ilahi (ilham), dengan cahaya yang memancar dari kejernihan mata hati (bashiroh), penyelaman segenap jiwa sufi itu dimulai; menempuh lintasan spiritual, kassyaf, selanjutnya mampu menjangkau mutiara demi mutiara alam makrifat, merasakan sejatinya kelezatan, sebagai anugrah kenikmatan bagi seorang hamba yang paling pucuk.
            Dan nyatanya, mengetahui hakekat alam semesta juga menjadi hasrat setiap manusia. Khususnya bagi mereka yang memendam kerinduan untuk mengenali lebih “akrab” kepada Sang Penciptanya. Maka sangat wajar (dharurah fithriyyah) jika kemudian keberadaan para sufi, para kekasih Allah itu diposisikan sebagai perantara (wasilah). Bak lentera dalam gulita. Ajarannya menjadi cermin pandangan hidup, benih-benih makrifat, pandu untuk pengembaraan jiwa raga manusia. Bahkan kewajaran tersebut telah menjadi sebuah kelaziman bagi umat Islam pada khususnya, ketika seorang muslim harus memahami seruan firman Allah Swt., “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (perantara  yang mendekatkan diri kepada-Nya)”.[1]
            Karena al-sair ila Allah[2] (perjalanan menuju Allah) bukanlah tugas jasmani manusia yang tumbuh secara natural (Thabi’i); dari nuthfah (sperma) menjadi segumpal darah, lalu sempurna membentuk janin di dalam rahim, kemudian lahir sebagai bayi, tumbuh sebagai anak-anak, remaja, beranjak dewasa dan sampailah di garis usia senja. Yang kesemua tahapan tersebut akan berhenti pada satu gerbang; kematian.[3] Akan tetapi al-sair ila Allah tersebut telah diamanatkan pada ruhani manusia, yang perkembangannya bersifat ikhtiyari (pilihan). Yaitu berupa pilihan tulus jiwa manusia, untuk melakukan pendakian ruhaniyah dengan penuh kesadaran dan ketaatan kepada Allah Swt., sesuai ajaran al-Qur`an dan sunnah rasul, dengan cara tashdiq serta taslim mengikuti jalan khusus (thariqah) yang telah diberikan oleh segenap wali musryid, para ulama al-‘arifin bi Allah wa rasulih untuk merasakan tingkat kesempurnaan iman yang tak terhingga.
            Sebab muatan agama Islam memang tidaklah sederhana. Beragama Islam bukan hanya berarti mandeg pada keterpikatan atas pilar-pilar ilmu al-yaqin (syariat), tetapi lebih lanjut juga mampu menyelami, meneguk kelezatan iman sepanjang aliran sungai ‘ain al-yaqin (tarekat), untuk kemudian sampai pada kesempurnaan ihsan, tercelup di bahtera haq al-yaqin (hakekat).[4]
            Dengan demikian, kehadiran thariqah shufiyyah (Tarekat sufi) dalam dunia tasawuf pun menjadi sebuah keniscayaan. Sebagai jalur hidayah Allah yang tersematkan –biidznillah- pada tradisi para sufi, pada jejak-jejak ulama’, yang menjadi rel bersuluk (berprilaku). Untuk memasuki gerbang hakekat, sumber keindahan hidup di dunia dan di akhirat. Namun begitu, pada perkembangan selanjutnya tarekat mempunyai model ritual yang pada kahirnya sulit dihubungkan dengan keadaan manusia moderen. Tarekat tersebut (konvensional) kemudian menjadi titik kritik dari jalan yang sebenarnya bertujuan untuk mendekat kepada Tuhan.
  1. Sekilas Tentang Tarekat
            Istilah tarekat tidak asing di tengah masyarakat muslim bumi nusantara. Ia berasal dari bahasa Arab “al-thariqah”, yang berarti “sebuah jalan”. Bahkan secara gamblang, kalimat thariqah tersebut dipakai di dalam al-Qur`an untuk mengisyaratkan makna “agama Islam”. Yaitu pada surat al-Jin ayat 16 yang berbunyi:
ان لو ا ستقاموا على الطريقة لأسقينهم ماء غد قا
Artinya: “Dan bahwasanya; jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang melimpah)”
Maka secara etimologi keabsahan kalimat thariqah menjadi tidak layak untuk dicurigai secara berlebihan. Karena memang terbukti mempunyai jejak kebahasaan yang jelas dari lubuk nash. Sehingga “goyangan” keraguan dari beberapa golongan tekstualis yang gemar mengklaim sebuah kebenaran secara “lugu”, sudah seharusnya tidak lagi menggoda.
Adapun secara terminologi, ada banyak definisi tarekat yang sempat dilontarkan oleh para ulama. Kesemuanya hanya beragam dalam elaborasi kata, yang pada hakikatnya mengandung kesamaan makna.[5] Sehingga dalam tulisan ini, perlu disuguhkan beberapa definisi yang komprehensif, simpel, akurat namun juga punya landasan hukum yang kuat. Salah satu definisi thariqah  yang menurut penulis memenuhi syarat tersebut adalah sebagai berikut:
الطريقة هي دعوة الى الله لإحياء السنة ونبذ البدعة السيئة بالحكمة والموعظة الحسنة ولها شيخ, درعه وسيفه كتاب الله وسنة رسوله –صلى الله عليه وسلم- ،وواجب على المريد طاعة شيخه علما بأن طاعة المريد لشيخه كطاعة المأموم لإمام فى الصلاة لا يخرج كونها طاعة لله تعالى.
“Thariqah ialah dakwah kepada Allah untuk menghidupkan sunnah dan melepaskan bid’ah, dengan cara hikmah dan mau’izhoh khasanah. Dan Thariqah mempunyai syeikh yang berperisaikan al-Qur`an dan sunnah. Dan wajib bagi murid taat kepada syeikhnya, karena bahwasanya ketaatan murid pada syeikhnya tersebut seperti halnya taatnya makmum pada imam di dalam sholat. Yang tidak berarti keluar dari rel  ketaatan kepada Allah Swt.”.
            Hampir senada dengan definisi di atas Prof. Dr. Aboebakar Atjeh juga mengatakan dalam bukunya mengenai definis tarekat secara terminologi. Dia mengatakan tarekat adalah jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu iabadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai berantai.[6]
            Pada awalnya tarekat itu merupakan bentuk praktik ibadah yang yang diajarkan secara khusus kepada orang tertentu. Misalnya, nabi Muhammad saw mengajarkan wirid atau dzikir yang perlu diamalkan oleh Ali bin Abi Thalib. Atau, Nabi saw memerintahkan kepada sahabat A untuk banyak mengulang-ulang kalimat tahlil dan tahmid. Pada sahabat B, Muhammad memerintahkan untuk banyak membaca ayat tertentu dari surat dalam al-Qur’an. Ajaran-ajaran khusus Rasulullah saw itu disampaikan sesuai dengan kebutuhan penerimanya, terutama berkaitan dengan faktor psikologis.[7]
            Orang islam yang tidak mengerti ilmu tasawuf acap kali bertanya secara mengejek, mengapa ada pula ilmu tarekat, apa tidak cukup ilmu fikih itu saja dikerjakan untuk melaksanakan ajaran ilmu Islam itu?. Orang yang bertanya demikian sebenarnya sudah melakukan ilmu tarekat itu sendiri. Tatkala gurunya yang mengajarkan ilmu fikih itu kepadanya, misalnya solat, menunjuk dan membimbing dia, bagaimana cara melakukan iabadat tersebut dengan baik, bagaiman mengangkat tangan saat solat, cara berwudhu yang benar, berniat yang sah, dan lain sebagainya. Semua bimbingan itu sebenarnya merupakan bentuk dari tarekat. Secara minimal dapat dikatakan tarekat, tetapi jika pelaksanaan ibadat itu berbekas kepada jiwanya, pelaksanaan itu secara maksimal disebut dengan hakikat sedang hasil tujuan dari proses itu adalah mengenal Tuhan dengan lebih dekat dan mesra.[8]
            Sebelum masa kematangan sebagai lembaga dan ordo, mistisme Islam tidak lebih merupakan gerakan individual dari elit-elit kerohanian. Memang harus diakui, sudah terdapat perbedaan kecenderungan, jalan maupun pemikiran yang dipakai oleh para tokoh sufi pada saat itu. Annemeria Schimmel menyebutnya sebagai dua tipe ajaran mistik yaitu mysticism of Infinity dan mysticism of personality.[9]
            Mysticism of Infinity adalah paham mistik yang memandang Tuhan sebagai realitas yang absolut dan tidak terhingga. Tuhan diibaratkan sebagai lautan yang tidak terbatas dan tidak terikat dengan zaman. Paham ini melihat manusia sebagai percikan atau ombak lautan serba ilahi. Manusia bersumber dari Tuhan dan dapat mencapai penghayatan kesatuan kembali dengan Tuhan.[10] Sedangkan mysticism of personality adalah suatu aliran mistik yang menekankan aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada aliran kedua ini hubungan manusia dengan Tuhan dilakukan sebagai hubungan antara kawula (makhluk) dengan Gusti (khalik). Paham ini secara normatif mempertahankan adanya perbedaan yang esensial antara manusia dan Tuhan. Tuhan dipandang sebagai dzat yang bersifat transenden mengatasi alam semesta.[11]
            Perlu ditegaskan bahwa dua kecenderungan di atas bukan merupakan aliran tarekat sebagaimana yang kita kenal. Proses pelembagaan secara rapi aliran-aliran sufi dalam bentuk tarekat sebagaimana yang kita kenal baru terjadi pada abad ke 13. Dalam perjalanannya, tarekat bukan hanya sebagai lembaga spiritual dimana di dalamnya anggota sebuah tarekat melakukan latihan-latihan secara kolektif, tetapi juga menjadi jaringan sosial bahkan organisasi sosial yang mempunyai fungsi-fungsi sosiologis.[12]
            Pada mulanya tarekat dilalui oleh seorang sufi secara individual. Tetapi dalam perjalanannya kemudian tarekat diajarkan kepada orang lain baik secara individual maupun kolektif. Pengajaran tarekat kepada orang lain ini sudah dimulai sejak zaman Al-Hallaj (858-922).[13] Selanjutnya praktek-praktek pengajaran yang seperti itu dilakukan pula oleh sufi-sufi besar yang lainnya. Dengan demikian, timbullah salam sejarah Islam kumpulan-kumpulan sufi yang mempunyai sufi tertentu sebagai syekhnya dengan tarekat tertentu sebagai amalannya, juga pengikut-pengikut atau murid-murid.[14] Sistem hubungan antara mursyid (guru atau pembimbing) dan murid (aspiran) pada tahap selanjutnya menjadi pondasi bagi pertumbuhan tarekat sebagai sebauh ordo (organisasi) dan jaringan.
            Tarekat dalam proses bimbingan di atas, pada mulanya adalah suatu metode praktis yang biasanya sejajar dengan istilah-istilah lain seperti mazhab, ri’ayah, dan suluk untuk membimbing seorang pencari dengan menelusuri jalan berfikir, merasa dan bertindak dengan melalui urutan tahap-tahap (maqomat) dan pengalaman-pengalaman psikologis yang disebut “keadaan-keadaan” (ahwal) menuju pengalaman tentang realitas ilahi (haqiqoh). Dengan demikian, sebagaimana dikutip oleh Muhsin Jamil mengenai catatan J. Spencer Trimingham, pada awalnya tarekat berarti sekedar metode gradual mistisme kontemplatif dan pelepasan diri. [15]
            J. Spencer Trimingham juga sempat memetakan perkembangan tarekat pada masa-masa awal kemasyhurannya. Dia membagi kawasan-kawasan utama pemikiran danpraktek-praktek sufi berdasarkan perkembangan tarekat menajdi tiga lingkungan utama; 1) lingkungan Mesopotamia, 2) lingkungan Mesir dan Maghribi dan 3) lingkungan Iran, Turki dan India. Lingkungan utama tarekat di Mesopotamia meliputi Baghdad, Syiria, hingga ke Mesir. Alur utama isnad tarekat dalam lingkungan ini adalah al-Junaid al-Baghdadi (w. 298/910). Tarekat-tarekat utama yang tumbuh dari lingkungan Mesopotamia adalah Sughrawardiyah, Rifaiyah, dan Qodiriyah.
            Adapun Mesir dan Maghribi lebih merupakan lingkungan perkembangan beberapa tarekat besar setelah masa pembentukan sebelumnya. Tarekat yang berkembang secara baik pada lingkungan ini adalah Syadziliyah. Namun demikian jaringan yang muncul dari lingkungan ini mencakup banyak tarekat-tarekat kecil yang sangat banyak dan kurang tersebar ke berbagai wilayah lain.
            Sementara itu, lingkungan Iran memadukan dua kecenderungan sufi awal Iraqi dan Kurasani yang dikaitkan dengan nama al-Junaidi (sufi Mesopotamia) dan Abu Yazid  al-Bistami (sufi Malamati, Kurasani). Tarekat-tarekat besar yang tumbuh di lingkungan ini adalah kubrawiyah, Yasaviyah, Maulawiyah, Khawajangan-Naqsabandiyah, Chistiyah, dan Sgrawardiyah India.
            Dengan demikian, tarekat yang pada mulanya merupakan perkumpulan orang sufi yang berdiri secara spontan dan tanpa ikatan, berkembang menajdi organisasi sufi populer yang mempunyai peraturan-peraturan tertentu dan berkembang menjadi jaringan yang sangat luas dan tersebar di berbagai wilayah dunia Islam.[16]
  1. Kritik Atas Tarekat Konvensional
            Dalam wacana intelektual Islam, tarekat sering dituduh sebagai penyebab kemunduran dunia Islam. Walaupun tuduhan itu tidak sepenuhnya benar, namun pandangan semacam itu agaknya cukup dominan baik dikalangan pemikir non muslim maupun pemikir muslim. Tidak heran apabila peran-peran sosial politik yang sebenarnya riil dimainkan oleh tarekat tidak muncul dalam catatan-catatan sejarah. Di Indonesia misalnya walaupun terdapat pengakuan bahwa tarekat memainkan peran cukup signifikan dalam proses penyebaran Islam, akan tetapi kajian tarekat dalam hubungannya dengan dinamika sosial politik Indonesia kurang mendapat perhatian.
            Pandangan seperti ini muncul lebih dipengaruhi oleh asumsi konvensional yang mengandaikan masyarakat tarekat sebagai masyarakat tardisional bahkan bagian dari komunitas yang sangat konservatif di tengah masyarakat tradisional. Pandangan konvensional tersebut, sesungguhnya sangat dipengaruhi teori tipologi masyarakat (social tipology) sebagaimana yang dibuat Talcot Parson. Tokoh yang mempunyai banyak penganut dari perspektif struktural fungsional ini membuat sejumlah pasangan kategori dikotomis dalam melihat masyarakat. Masyarakat menurutnya harus dilihat dari kategori moderen dan tradisional dengan karakteristiknya masing-masing.[17]
            Dalam kategori itu biasanya masyarakat tarekat dianggap sebagai masyarakat tradisional yang memiliki pandangan berorientasi afektif, difuse, partikularistik, dan berorientasi kolektifistik. Dengan demikian ia tidak bisa berdialektika dengan modernisasi dengan segala bentuk perubahan sosial, budaya, dan politiknya. Bahkan dunia tarekat dianggap sebagai pelarian dari ketidaksanggupan menghadapi moderenisasi itu sendiri.
            Terlepas dari analisa sosial masyarakat yang diungkapkan oleh Parson, sebenarnya ada persoalan lain di dalam konsep tarekat konvensional itu sendiri. Banyak masyarakat perkotaan yang tertarik untuk mendalami tasawuf sebagai jalan spiritualitas dan olah batin mendekati Tuhan. Namun, seringkali ada persoalan yang menjadi momok ketika mereka berhadapan dengan aspek esoteris Islam itu, yaitu adanya tarekat. Apa yang ditakutkan dalam tarekat diantaranya adalah persoalan baiat dan ketaatan buta kepada guru.[18]          
            Di dalam konsep tarekat konvensional memang ada lima hal yang umumnya ada sebagai sebuah persyaratan berjalannya tarekat sebagai sebuah ordo. Kelima hal tersebut adalah mursyid, murid, baiat, silsilah, dan ajaran. Kelima hal tersebutlah yang kadangkala menjadikan tarekat konvensional bersifat aksesif jika dihadapkan dengan realitas masyarakat moderen yang cenderung berfikir realistis dan rasional. Selain ada beberapa hal lain yang bersifat ritual seperti khalwat, zawiyah, dzikir, dan yang lainnya. Maka berikut ini akan kita coba jabarkan beberapa hal di atas yang tentu saja dengan menggunakan pisau analisis kritis sebagai sebuah upaya konstruktif dalam mengimplementasikan tarekat sebagai sebuah jalan menuju Tuhan yang dapat diterima.
  1. Mursyid dan Murid
            Syeikh Muhammad Amin al-Kurdi, seorang penganut tarekat Naqsyabandiyah, dalam kitabnya Tanwir al-Qulub fi Mu’amalat al-‘Ilmi al-Ghuyub, seperti diterjemahkan oleh Aboebakar Atjeh dalam buku Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian tentang Mistik), menjelaskan tentang posisi murid di hadapan gurunya.
            Engkau laksana mayat terlentang
Di depan gurumu terletak membentang
Dicuci, dibalik, laksana batang
Janganlah engkau berani menentang

Perintahnya jangan engkau elakkan
Meskipun haram seakan-akan
Tunduk dan taat diperintahkan
Engkau pasti ia cintakan

Biarkan semua perbuatannya
Meskipun berlainan dengan syara’nya
Kegelapan hati akan nyatanya
Bagimu akan jelas rahasianya

Ingat cerita Khidir dan Musa
Tentang pembunuhan anak desa
Musa seakan putus asa
Pada akhirnya ia terasa

Pada akhirnya jelaslah sudah
Tampak padanya secara mudah
Kekuasaan Allah tidak tertadah
Ilmunya luas tidak termadah.[19]

            Dalam tradisi tarekat konvensional memang sering muncul adagium yang berbunyi “Barang siapa belajar tasawuf tanpa berguru (syaikh; Persian pir) maka setanlah yang akan menjadi pembimbingnya” (One who has no master has satan for a leader).
            Syair dan ungkapan tersebut tersebut mengandung beberapa dampak sekaligus. Diantaranya adalah anggapan bahwa tarekat merupakan ilmu yang bersifat eksklusif, elitis, dan khusus. Ia tidak boleh diajarkan kepada semua lapisan masyarakat. Ilmu bisa menjadi sesuatu yang kontraproduktif bila jatuh ke tangan orang-orang yang belum siap untuk menerimanya.
            Dalam tarekat konvensional, guru sufi mempunyai otoritas yang mutlak untuk tidak dibantah. Karena dalam ucapan, tindakan, dan perintah yang mereka keluarkan terdapat rahasia dan fungsi-fungsi khusus yang hanya bisa diketahui oleh sang guru. Sikap seorang murid dihadapan guru adalah seperti sikap mayit terhadap orang yang hendak memandikannya. Kisah pertemuan Khidir dan Musa dengan segala kegiatan-kegaiatannya acapkali digunakan sebagai dalih dalam membangun hubungan antara guru dan murid.
            Cukup susah bila kita menggunakan rasio untuk memahami hubungan guru-murid dalam tradisi tarekat konvensional ini. Hubungan kedua belah pihak itu biasanya disebut dengan iradah, yang biasanya diartikan dengan rindu atau keinginan. Guru disebut sebagai murad, orang yang dirindukan atau diinginkan. Orang yang mengikuti disebut dengan murid, orang yang rindu atau berkeinginan.
            Bila seorang murid yang tulus lagi bersungguh-sungguh masuk dalam tarekat dan patuh pada sang guru, maka kondisi, nuansa, semangat, dan alam spiritual akan mengalir dari jiwa sang guru ke dalam jiwa murid. Kepatuhan seorang murid kepada gurunya dipahami sebagai sebuah proses psikologis untuk menanggalkan kepribadian yang jahat dan rendah kemudian menggantikannya dengan kepribadian dan jiwa yang suci dengan cara menghancurkan ego. Akan tetapi itu semua hanya akan terjadi bila seorang murid benar-benar patuh dan tunduk secara penuh pada sang gurunya. Inilah yang menjadi salah satu titik kritis dari konsep tarekat konvensional. Karena di sini kita diharuskan bertaqlid buta kepada perintah dan instruksi sang guru dalam hal apapun bahkan sesuatu yang tidak rasional dan terkesan melanggar syariat seperti yang terjadi pada cerita Khidir dan Musa.[20]
            Dalam tradisi masyarakat yang biasa dengan dialog, komunikasi seimbang, dan berkeyakinan tentang kesejajaran manusia, perilaku yang terjadi pada wacana spiritual menjadi fenomena keberadaan manusia yang kritis. Guru dan murid sama-sama berada di posisi yang bisa menjebak dalam bahaya jika ada kesalahan sedikit saja dalam pemahaman tekhnisnya.
            Dalam gambaran seperti tersebut di atas, guru sufi tak ubahnya seperti seorang diktator seumur hidup, bahkan manusia setengah dewa. Sementara bagi murid, kepatuhan butanya bisa membawa kepada ketumpulan otak, ketersesatan, dan sangat mudah dibihongi.
            Memang, bila guru yang dipilih adalah betul-betul seorang guru yang baik, maka kepatuhan buta seorang murid adalah berkah. Seperti itulah kepatuhan dan “kebutaan” Abu Bakar as-Shidiq kepada nabi Muhammad saw. Ketika semua orang menolak peristiwa Isra Mi’raj Muhammad saw, Abu Bakar adalah orang pertama yang membenarkannya. Bahkan ia berkata, “Seandainya Muhammad berkata bahwa matahari terbit dari barat, maka saya adalah orang pertama yang membenarkannya”.[21]
  1. Baiat
            Baiat sering kali menjadi persoalan yang paling sensitif dalam tasawuf. Namun, tak jarang ia menjadi tindakan yang sangat ditunggu-tunggu oleh para penempuh jalan spiritual. Baiat yang sering melahirkan kultus individu kepada seorang guru (master, mursyid) mendapat kritik pedas di masyarakat barat. Namun seiring dengan derasnya kritik itu, masyarakat barat banyak yang memimpikan munculnya seorang yang bisa dijadikan patron dalam hidup, bisa menjadi pembimbing, seorang mursyid. Nah, dalam konteks inilah kita perlu berbicara tentang baiat.
            Seseorang yang ingin bergabung dengan suatu tarekat tertentu, biasanya tidak bisa langsung masuk ke pondokan guru tarekatnya. Ada tarekat yang mensyaratkan kepada calon muridnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu. Bila ia telah memenuhi persyaratan tersebut, barulah sang guru menerimanya sebagai seorang murid. Dan sering kali seorang guru melihat-lihat terlebih dahulu kondisi calon muridnya. Apakah orang tersebut patut dijadikan muridnya atau harus menunggu sekian waktu atau langsung ditolak.
            Dan, kadangkala seorang murid tidak cukup hanya sekedar memenuhi persyaratan awal yang diminta oleh calon gurunya untuk menjadi anggota tarekat. Setelah memenuhi persyaratan “administratif”, calon murid harus melakukan sumpah setia di hadapan gurunya. Dalam tradisi tarekat, sumpah setia itu disebut dengan baiat (bay’ah), initiation.
            Baiat dikembangkan dalam tarekat dengan mengikuti sikap yang pernah dilakukan oleh nabi Muhammad saw ketika menerima keislaman beberapa kelompok masyarakat ketika itu. Sumpah setia para sahabat yang masuk Islam kepada Rasulullah saw dalam sejarah dikenal dengan sebutan perjanjian Baitul Aqobah I dan Baitul Aqobah II.
            Bentuk dasar dari baiat adalah dengan melakukan jabat tangan. Bentuk lainnya adalah dengan memberikan baju seragam atau topi atau ciri khas tertentu dari tarekat yang diikuti. Ada juga tarekat yang dalam praktek sumpah setia dengan melakukan pencukuran rambut. Setiap tarekat mempunyai model baiat yang berbeda dari tarekat yang lainnya.
            Baiat menjadi sangat penting karena menunjukkan simbol penerimaan dan pengakuan dari sang guru mursyid atas muridnya. Baiat sekaligus menjadi awal pintu masuk dimana seorang murid harus benar-benar pasrah dan tunduk kepada apa yang diperintahkan oleh gurunya.
            Konsep yang satu ini sering menjadi pertanyaan bagi para peminat tasawuf yang hendak memasuki tarekat. Kenapa harus dibaiat? Kenapa harus taklid buta kepada guru?. Para pengusung tarekat moderen kemudian merumuskan sebuah tarekat yang tidak mesti terkungkung dengan baiat, hubungan antara guru dan murid bersifat demokratis. Dalam tarekat moderen keikutsertaan seorang murid kepada gurunya didasarkan kepada kemauan diri sendiri. Rentang waktu untuk mengikuti perilaku sang guru juga diserahkan sepenuhnya kepada si murid. Tak ada hirarki antara guru dan murid, hubungan mereka bersifat wajar. Tak ada mitos tentang sang guru dan tak ada kewajiban untuk melakukan kepatuhan gila bagi si murid.[22]    
            Upaya lain yang mencoba diminimalisir dari keterikatan tarekat konvensional melalui sebuat baiat ini adalah dengan cara mengubah tarekat sebagai sebuah lembaga menjadi tarekat sebagai sebuah teks. Seorang penempuh jalan spiritual bisa mempelajari buku-buku tentang berbagai tarekat, merubah sosok mursyid yang merupakan person menjadi mursyid yang berupa buku. Pada tahap awal perjalanan menuju Tuhan, kehadiran seorang guru yang memberikan sebuah pengantar, penjelasan global, dan rambu-rambu sangat dibutuhkan. Namun, pada proses selanjutnya seorang salik harus bertemu dengan Tuhan dalam kekhasan dirinya, sebagai manusia yang memiliki perbedaan dengan manusia yang lain.[23]
  1. Khalwat dan Zawiyah
Salah satu ajaran ritual yang diajarkan oleh hampir seluruh tarekat adalah praktek khalwat (solitude, cloistering, atau confinement). Menurut tarekat Naqsyabandiyah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Amin al-Kurdi dalam Tanwir al-Qulub fi Mu’amalati ‘Alam al-Ghuyub, seorang penempuh jalan spiritual tidak akan mungkin dapat mencapai Tuhan kecuali mau melakukan khalwat. Tradisi khalwat diambil dari perilaku nabi Muhammad saw ketika menyepi di gua Hira’ sebelum diangkat menjadi Rasul Allah.
Sedang zawiyah adalah satu istilah yang cukup akrab di telinga orang-orang yang menggeluti persoalan tasawuf. Istilah lain yang searti dengan kata ini dalam bahasa Arab adalah ribath. Di Persia dikenal dengan nama khanqah, jamaat-khana. Di Turki disebut dengan tekke. Istilah ini sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi lodges atau hospices. Di Indonesia sendiri disebut dengan nama pondok atau pondokan.
Zawiyah merupakan tempat tinggal para sufi, tempat mereka melakukan ritual khalwat, ibadah, berdzikir, salat, membaca kitab suci, dan lainnya. Awalnya istilah ini muncul untuk menunjukkan satu ruangan di Masjid yang dipakai oleh para sahabat nabi Muhammad saw untuk beribadah. Kemudian istilah ini menjadi terkenal dan sering di pakai di Iran, Syiria, dan Mesir sejak abad ke 11.
Pandangan yang populer dalam tarekat mengatakan bahwa di zawiyahlah tempat para sufi menempa diri dan menyepi untuk beribadah. Di zawiyah ini mereka melakukan khalwat dan berdzikir selama sekian waktu yang telah ditentukan.
Umumnya kegiatan bertapa atau bermeditasi  itu dilakukan ditempat-tempat sunyi, di gunung, di gua, di pedesaan, atau ditempat-tempat yang terisolasi dari hubungan dengan manusia lain. Berbagai tempat sepi itu dipilih karena di sanalah, menurut anggapan yang ghalib, orang bisa mengkonsentrasikan pikiran, beribadah secara khusyuk, dan memiliki gagasan-gagasan segar. Di wilayah seperti inilah dan di lokasi yang jauh dari keramaian, sekali lagi berdasarkan keyakinan beberapa orang, keintiman dan kedekatan dengan Tuhan bisa tercapai.[24]
Persoalan muncul ketika pemilihan tempat yang “terasing” itu dihadapkan dengan peran manusia sebagai makhluk sosial. Posisi ini menuntut mereka untuk selalu berkomunikasi dengan sesamanya. Bahkan ada jenis komunitas masyarakat tertentu yang detik demi detik dari kehidupannya merupakan proses komunikasi sosial. Komunikasi baginya adalah profesi, pekerjaan, penghidupan, sesuatu yang mesti dilakukan untuk menyambung eksistensinya. Pada situasi seperti ini, apakah “menyepi” menjadi kegiatan yang perlu? Pertanyaan lain yang cukup penting adalah, apakah kadar kekhusyukan dan ketaqwaan seseorang ditentukan oleh tempat dan situasi? Apakah kita tidak bisa betapa di tempat yang ramai (tapa ngrame)?[25]
Suatu saat al-Jurayri memberikan jawaban terhadap pertanyaan orang tentang ‘uzlah (seclusion). Katanya, “Maksud dari ‘uzlah adalah kamu masuk dalam keramaian hiruk pikuk manusia, sementara kamu tetap menjaga hatimu agar mereka semua tidak menyerangmu dengan kehendak-kehendak buruk. Jaga dirimu dari perbuatan dosa, maka hatimu akan terhubunga dengan Tuhan”. Dikatakan pula, “barangsiapa memilih untuk mengasingkan diri (secara fisik) maka yang akan ia dapatkan hanyalah pengasingan diri itu”.[26]
Ada satu penjelasan yang cukup menarik tentang fungsi khalwat dan zawiyah tersebut. Pendapat ini dikemukakan oleh Nurcholish Madjid yang dikutip oleh Ahmad Najib Burhani dalam “Tarekat tanpa tarekat”. Menurutnya, secara spiritual pada saat-saat tertentu manusia memang perlu melakukan disengagement, solitude, atau khalwat. Mengapa? Manusia perlu melepaskan diri dari kehidupan sehari-hari supaya ia mampu membuat jarak dengannya dan dapat melihat kehidupan dengan lebih benar.
Perintah khalwat dan ‘uzlah menurut Cak Nur, dimaksudkan agar pada saat-saat tertentu kita berjarak dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari, supaya kita bisa merekonstruksi keadaan secara lebih jujur dan objektif. “seperti kalau kita ingin tahu rumah kita, ya kita keluar dulu sebentar, lalu kita lihat dari luar”, ujarnya. Setelah keluar sebentar, ia harus segera kembali lagi ke rumahnya untuk membangun yang lebih baik dari yang telah dia lihat dari luar tersebut.[27]  Maka sebenarnya khalwat di zawiyah atau ruang kecil dan tertutup itu adalah khalwat kecil. Khalwat yang sebenar-benarnya adalah berada di tengah-tengah masyarakat, di tengah hiruk pikuk dunia. Dalam adagium sufi, “The real halvet begins after halvet”. Khalwat yang sebenar-benarnya itu baru dimulai setelah kita keluar dari khalwat.
Bila seorang sufi terjebak pada sesuatu yang bersifat material, seperti keyakinan bahwa zawiyah itu haruslah berupa ruangan material, maka kesufiannya telah bisa dianggap melenceng dari ajaran dasar tasawuf. Bila seseorang mampu menghilangkan ketergantungan pada kekayaan harta benda namun kemudian menjadi tergantung pada formalitas ajaran tasawuf, maka orang ini sulit untuk disebut sebagai sufi.
  1. Penutup
Kesimpulan yang dapat diambil dari paparan di atas adalah bahwa tarekat sebagai sebuah jalan untuk menuju keintiman dengan Tuhan sangat wajar dan menemukan sambungannya di dalam Islam. Akan tetapi keberadaan tarekat yang sejak awal kemunculannya selalu mengalami perubahan pada akhirnya berbenturan dengan nilai-nilai masyarakat moderen yang rasional dan objektik. Untuk itu perlu diadakan gerakan rekonstruksi terhadap konsep tarekat konvensional sebagai langkah kritis terhadapanya. Dengan tujuan agar jalan menuju Tuhan tidak terbatasi dengan aktifitas-aktifitas ritualis yang formal dan kaku sehingga mengakibatkan terjadinya penjerakan dengan zaman.











Daftar Pustaka

Atjeh, Aboebakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian Tentang Mistik), Solo; Ramadhani, 1985
Badir’un, Faisol, al-Tasawuf al-Islamy al-Toriq wa al-Rijal. Cairo; Dar al-Ma’arif, 1998
Burhani, Ahmad Najib, Tarekat Tanpa Tarekat, Jakarta; Serambi Ilmu Semesta, 2002
Ghazali, Abu Hamid, Munqid min ad-Dhalal, Cairo; Dar al-Nashr al-Nil, 1990
Hilmy, Muhammad Musthofa, al-Hayat al-Ruhaniyah fi al-Islam, Cairo; Dar al-Ma’arif, 1997
Jamil, M. Muhsin, Tarekat Dan Dinamika Sosial Politik; Tafsir Sosial Sufi Nusantara, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005
Nicholson, Reynold A., alih bahasa oleh A. Syihabulmillah, Gagasan Personalitas Dalam Sufisme,   Yogyakarta; Pustaka Sufi, 2002
Taftazany, Abu Wafa Al- Ghanimy, , Madkhal ila al-Tasawuf al-Islami, Cairo; Dar al-Tsaqofah li al-           Nasyr wa al-Tauzi’, 1991



[1] Al-Qur’an al-Karim dan terjemahnya, surat al-Maidah ayat 35
[2] Muhammad Ustman Abduh al-Burhani, Tabri’at al-Dzimmah fî Nashhi al-Ummah, wa Tadzkirat Uli al-Albab li al-Sair ila al-Shawab. Dicetak oleh Jam’iyah al-Thariqah al-Burhamiyyah al-Dasuqiyyah al-Syadziliyyah, t.t., hlm. 272
[3] Sebagaimana firman Allah Swt.“wakholaqnakum athwara”(dan  aku ciptakan kamu sekalian secara bertahap), “waminkum man yatawaffa waminkum man yurid ila ardzali al-umur” (Sebagian dari kamu mati muda, dan ada sebagian dari kamu yang dipanjangkan sampai usia senja).
[4] Muhammad Ustman Abduh al-Burhani, Op. Cit., hal. 255.
[5] Mungkin tema ini hampir sama ketika kita mempelajari definisi tasawuf. Tasawuf yang secara etimologi mempunyai kemungkinan dari berbagai asal kata (musytaq) pun memiliki banyak variasi definitif dalam terminologinya. Hal itu disebabkan karena pengalaman hati sangat sulit diungkapkan dengan satu definisi yang sama. Semua menjadi bergantung pada pengalaman yang dirasakan oleh tiap salik.
[6] Abubakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, CV Ramadhani, Solo, cet. Ke 3, 1985, hal 67.
[7] Ahmad Najib Burhani, Tarekat tanpa Tarekat, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2002, hal. 101
[8] Ibid, hal. 69
[9] Annemerie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam, The Univensity of Carolina Press, 1978, hal. 5
[10] Ajaran kesatuan dengan Tuhan sangat populer dalam dunia tasawuf Islam. Ada beberapa ulama dan tokoh sufi terkenal yang mempunyai teori yang hampir sama. Seperti Ibnu Arabi dengan teori wahdah al-wujudnya, Abu Yazid al-Bistami dengan teori Ittihad, Fana,  dan Baqonya, dan juga al-Hallaj dengan teori Hululnya.
[11] M. Muhsin Jamil, M.A, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 47.
[12] Perlu dicatat bahwa istilah tarekat dalam terminologi barat sering disebut dengan sufi order (organisasi para sufi) dan juga disebut sufi brotherhood (persaudaraan para sufi). Lihat Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, Cambridge, 1998, hal. 168. Akan tetapi menurut penulis istilah-istilah tersebut sebenarnya tidaklah sama sekali identik. Istilah-istilah tersebut menunjuk kepada aspek organisatoris dari sufisme, sedangkat tarekat walaupun berbentuk organisasi namun sebenarnya adalah nama jalan sufi yang mendakwakan diri bisa menuntun manusia menuju pertemuan (communion) dengan Tuhan. Karena pada kenyataannya tarekat sebagai sebuah jalan tetap mampu sampai pada fungsi dan tujuannya meski tanpa pengorganisasian yang rapi seperti pada awal-awal kemunculannya.
[13] Nama lengkapnya adalah Abu Al-Mughits al-Hasan ibn Manshur ibn Muhammad al-Baidlawi. Dikenal dengan julukan al-Hallaj yang berarti penenun atau pengurai. Salah satu ajarannya yang paling terkenal adalah tentang kesatuan agama-agama (wahdah al-adyan) dan kesatuan entitas manusia dengan Tuhan (wahdah al-wujud).
[14] M. Muhsin Jamil, M.A, op. cit, hal. 50.
[15] Ibid, hal. 52
[16] Dr. Ahmad Tafsir, Tarekat dan Hubungannya dengan Tasawuf, Tasikmalaya, 1990, hal. 25
[17] Mengenai teori Parson, dapat dilihat di K.J Veeger, Realitas Sosial, Gramedia, Jakarta, 1993, hal. 192.
[18] Ahmad Najib Burhani, Tarekat tanpa Tarekat, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2002, hal. 97.
[19] Abubakar Atjeh,  Pengantar Ilmu Tarekat, CV Ramadhani, Solo, cet. Ke 3, 1985, hal 86.
[20] Ahmad Najib Burhani, op. cit, hal. 53.
[21] Abubakar Atjeh,  op. Cit,  hal 83. (dari analisa di atas, menurut penulis penolakan atas konsep mursyid-murid bukan dilatarbelakangi sepenuhnya atas ketidakvalidan konsep tersebut. Akan tetapi lebih kepada kekhawatiran akan adanya pemanfaatan negatif kesempatan yang terbuka melalui konsep tersebut. Buktinya kita sulit mengingkari ketika dihadapkan pada cerita Khidir (mursyid) dan Musa (murid) atau cerita Israk Mi’raj antara Jibril (mursyid) dan Muhammad (murid). Untuk itu mungkin menjadi penting merujuk kembali tentang teori-teori kewaliyan dan nubuwah dalam tasawuf  yang seakan-akan mendekatkan kemampuan psikologis seorang sufi yang sudah sampai pada derajat wali kepada derajat nubuwah seorang nabi).
[22] Ahmad Najib Burhani, Tarekat tanpa Tarekat, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2002, hal. 43.
[23] Ibid, hal. 112. (dalam kritik ini penulis menganggap bahwa yang dimaksudkan lebih pada merubah tarekat dari  sebuah ordo yang mempunyai kekhasan menjadi sebuah budaya intelektual keilmuan yang melulu hanya dilihat dengan kacamata teoritis saja. Padahal dalam banyak kesempatan para tokoh sufi seperti al-Ghazali sendiri meyakini bahwa tasawuf bukan hanya sebuah ilmu yang bersifat teoritis akan tetapi juga praktis. Sisi teoritis tasawuf mungkin akan dapat diterapkan dengan menggunakan metode pembalikan ini, akan tetapi akan sangat sulit dengan sisi praksisnya. Karena untuk sampai kepada Tuhan, dalam batasan tertentu seorang murid tetap membutuhkan bimbingan dan guide dari sang guru). Lih. Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidz min ad-Dhalal, Dar al-Hadits, Cairo, 2005, hal. 24
[24] Abubakar Atjeh,  Pengantar Ilmu Tarekat, CV Ramadhani, Solo, cet. Ke 3, 1985, hal 136.
[25] M. Muhsin Jamil, M.A, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 26.
[26] Abubakar Atjeh,  Op.Cit., hal 139.
[27] Ahmad Najib Burhani, Tarekat tanpa Tarekat, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2002, hal. 93.

0 comments:

Posting Komentar

 
;