- Pendahuluan
Terandaikan,
Islam adalah sebuah samudera yang maha luas. Maka pada kedalamannya yang tak
terjamah matahari itulah khazanah tasawuf bersemayam. Tasawuf bukan sebagai
“benalu”, sebaliknya tasawuflah harta karun, spirit (ruh)
bagi bangunan Islam. Sebagai kerajaan
batin yang menghimpun sekian lukisan hakekat kehidupan, yang terjaga dalam
setiap ‘arsy - kalbu - para sufi. Di mana penggambaran hakekat tersebut
jauh lebih jernih dibanding tumpukan sketsa realita yang diilustrasikan oleh
gugusan indera dan nalar manusia.
Saat
melalui wahyu ilahi (ilham), dengan cahaya yang memancar dari kejernihan mata
hati (bashiroh), penyelaman segenap jiwa sufi itu dimulai; menempuh
lintasan spiritual, kassyaf, selanjutnya mampu menjangkau mutiara demi
mutiara alam makrifat, merasakan sejatinya kelezatan, sebagai anugrah
kenikmatan bagi seorang hamba yang paling pucuk.
Dan
nyatanya, mengetahui hakekat alam semesta juga menjadi hasrat setiap manusia.
Khususnya bagi mereka yang memendam kerinduan untuk mengenali lebih “akrab”
kepada Sang Penciptanya. Maka sangat wajar (dharurah fithriyyah) jika
kemudian keberadaan para sufi, para kekasih Allah itu diposisikan sebagai
perantara (wasilah). Bak lentera dalam gulita. Ajarannya menjadi
cermin pandangan hidup, benih-benih makrifat, pandu untuk pengembaraan
jiwa raga manusia. Bahkan kewajaran tersebut telah menjadi sebuah kelaziman
bagi umat Islam pada khususnya, ketika seorang muslim harus memahami seruan
firman Allah Swt., “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan carilah wasilah (perantara yang
mendekatkan diri kepada-Nya)”.[1]
Karena
al-sair ila Allah[2] (perjalanan menuju Allah) bukanlah tugas jasmani
manusia yang tumbuh secara natural (Thabi’i); dari nuthfah
(sperma) menjadi segumpal darah, lalu sempurna membentuk janin di dalam rahim,
kemudian lahir sebagai bayi, tumbuh sebagai anak-anak, remaja, beranjak dewasa
dan sampailah di garis usia senja. Yang kesemua tahapan tersebut akan berhenti
pada satu gerbang; kematian.[3] Akan tetapi al-sair ila Allah tersebut telah
diamanatkan pada ruhani manusia, yang perkembangannya bersifat ikhtiyari (pilihan).
Yaitu berupa pilihan tulus jiwa manusia, untuk melakukan pendakian ruhaniyah
dengan penuh kesadaran dan ketaatan kepada Allah Swt., sesuai ajaran al-Qur`an
dan sunnah rasul, dengan cara tashdiq serta taslim mengikuti
jalan khusus (thariqah) yang telah diberikan oleh segenap wali musryid,
para ulama al-‘arifin bi Allah wa rasulih untuk merasakan tingkat
kesempurnaan iman yang tak terhingga.
Sebab
muatan agama Islam memang tidaklah sederhana. Beragama Islam bukan hanya
berarti mandeg pada keterpikatan atas pilar-pilar ilmu al-yaqin
(syariat), tetapi lebih lanjut juga mampu menyelami, meneguk kelezatan iman
sepanjang aliran sungai ‘ain al-yaqin (tarekat), untuk kemudian sampai
pada kesempurnaan ihsan, tercelup di bahtera haq
al-yaqin (hakekat).[4]
Dengan
demikian, kehadiran thariqah shufiyyah (Tarekat sufi) dalam dunia
tasawuf pun menjadi sebuah keniscayaan. Sebagai jalur hidayah Allah yang
tersematkan –biidznillah- pada tradisi para sufi, pada jejak-jejak
ulama’, yang menjadi rel bersuluk (berprilaku). Untuk memasuki gerbang
hakekat, sumber keindahan hidup di dunia dan di akhirat. Namun begitu,
pada perkembangan selanjutnya tarekat mempunyai model ritual yang pada kahirnya
sulit dihubungkan dengan keadaan manusia moderen. Tarekat tersebut
(konvensional) kemudian menjadi titik kritik dari jalan yang sebenarnya
bertujuan untuk mendekat kepada Tuhan.
- Sekilas
Tentang Tarekat
Istilah
tarekat tidak asing di tengah masyarakat muslim bumi nusantara. Ia berasal dari
bahasa Arab “al-thariqah”, yang berarti “sebuah jalan”. Bahkan secara
gamblang, kalimat thariqah tersebut dipakai di dalam al-Qur`an untuk
mengisyaratkan makna “agama Islam”. Yaitu pada surat al-Jin ayat 16 yang
berbunyi:
ان
لو ا ستقاموا على الطريقة لأسقينهم ماء غد قا
Artinya:
“Dan bahwasanya; jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu
(agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air
yang segar (rezeki yang melimpah)”
Maka
secara etimologi keabsahan kalimat thariqah menjadi tidak layak untuk
dicurigai secara berlebihan. Karena memang terbukti mempunyai jejak kebahasaan
yang jelas dari lubuk nash. Sehingga “goyangan” keraguan dari beberapa golongan
tekstualis yang gemar mengklaim sebuah kebenaran secara “lugu”, sudah
seharusnya tidak lagi menggoda.
Adapun secara
terminologi, ada banyak definisi tarekat yang sempat dilontarkan oleh para
ulama. Kesemuanya hanya beragam dalam elaborasi kata, yang pada hakikatnya
mengandung kesamaan makna.[5]
Sehingga dalam tulisan ini, perlu disuguhkan beberapa definisi yang
komprehensif, simpel, akurat namun juga punya landasan hukum yang kuat. Salah
satu definisi thariqah yang menurut penulis memenuhi syarat tersebut
adalah sebagai berikut:
الطريقة هي دعوة الى الله لإحياء السنة ونبذ البدعة
السيئة بالحكمة والموعظة الحسنة ولها شيخ, درعه وسيفه كتاب الله وسنة رسوله –صلى
الله عليه وسلم- ،وواجب على المريد طاعة شيخه علما بأن طاعة المريد لشيخه كطاعة
المأموم لإمام فى الصلاة لا يخرج كونها طاعة لله تعالى.
“Thariqah ialah dakwah kepada Allah untuk menghidupkan sunnah
dan melepaskan bid’ah, dengan cara hikmah dan mau’izhoh khasanah. Dan Thariqah
mempunyai syeikh yang berperisaikan al-Qur`an dan sunnah. Dan wajib bagi murid
taat kepada syeikhnya, karena bahwasanya ketaatan murid pada syeikhnya tersebut
seperti halnya taatnya makmum pada imam di dalam sholat. Yang tidak berarti
keluar dari rel ketaatan kepada Allah Swt.”.
Hampir
senada dengan definisi di atas Prof. Dr. Aboebakar Atjeh juga mengatakan dalam
bukunya mengenai definis tarekat secara terminologi. Dia mengatakan tarekat
adalah jalan, petunjuk dalam melakukan sesuatu iabadat sesuai dengan ajaran
yang ditentukan dan dicontohkan oleh nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan
tabi’in, turun temurun sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai
berantai.[6]
Pada
awalnya tarekat itu merupakan bentuk praktik ibadah yang yang diajarkan secara
khusus kepada orang tertentu. Misalnya, nabi Muhammad saw mengajarkan wirid
atau dzikir yang perlu diamalkan oleh Ali bin Abi Thalib. Atau, Nabi saw
memerintahkan kepada sahabat A untuk banyak mengulang-ulang kalimat tahlil dan
tahmid. Pada sahabat B, Muhammad memerintahkan untuk banyak membaca ayat
tertentu dari surat dalam al-Qur’an. Ajaran-ajaran khusus Rasulullah saw itu
disampaikan sesuai dengan kebutuhan penerimanya, terutama berkaitan dengan
faktor psikologis.[7]
Orang
islam yang tidak mengerti ilmu tasawuf acap kali bertanya secara mengejek,
mengapa ada pula ilmu tarekat, apa tidak cukup ilmu fikih itu saja dikerjakan
untuk melaksanakan ajaran ilmu Islam itu?. Orang yang bertanya demikian
sebenarnya sudah melakukan ilmu tarekat itu sendiri. Tatkala gurunya yang
mengajarkan ilmu fikih itu kepadanya, misalnya solat, menunjuk dan membimbing
dia, bagaimana cara melakukan iabadat tersebut dengan baik, bagaiman mengangkat
tangan saat solat, cara berwudhu yang benar, berniat yang sah, dan lain
sebagainya. Semua bimbingan itu sebenarnya merupakan bentuk dari tarekat. Secara
minimal dapat dikatakan tarekat, tetapi jika pelaksanaan ibadat itu berbekas
kepada jiwanya, pelaksanaan itu secara maksimal disebut dengan hakikat sedang
hasil tujuan dari proses itu adalah mengenal Tuhan dengan lebih dekat dan
mesra.[8]
Sebelum masa kematangan sebagai
lembaga dan ordo, mistisme Islam tidak lebih merupakan gerakan individual dari
elit-elit kerohanian. Memang harus diakui, sudah terdapat perbedaan
kecenderungan, jalan maupun pemikiran yang dipakai oleh para tokoh sufi pada
saat itu. Annemeria Schimmel menyebutnya sebagai dua tipe ajaran mistik yaitu mysticism
of Infinity dan mysticism of personality.[9]
Mysticism
of Infinity adalah paham mistik yang memandang Tuhan sebagai realitas yang
absolut dan tidak terhingga. Tuhan diibaratkan sebagai lautan yang tidak
terbatas dan tidak terikat dengan zaman. Paham ini melihat manusia sebagai
percikan atau ombak lautan serba ilahi. Manusia bersumber dari Tuhan dan dapat
mencapai penghayatan kesatuan kembali dengan Tuhan.[10]
Sedangkan mysticism of personality adalah suatu aliran mistik yang
menekankan aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada aliran kedua ini
hubungan manusia dengan Tuhan dilakukan sebagai hubungan antara kawula
(makhluk) dengan Gusti (khalik). Paham ini secara normatif mempertahankan
adanya perbedaan yang esensial antara manusia dan Tuhan. Tuhan dipandang sebagai
dzat yang bersifat transenden mengatasi alam semesta.[11]
Perlu
ditegaskan bahwa dua kecenderungan di atas bukan merupakan aliran tarekat
sebagaimana yang kita kenal. Proses pelembagaan secara rapi aliran-aliran sufi
dalam bentuk tarekat sebagaimana yang kita kenal baru terjadi pada abad ke 13.
Dalam perjalanannya, tarekat bukan hanya sebagai lembaga spiritual dimana di
dalamnya anggota sebuah tarekat melakukan latihan-latihan secara kolektif,
tetapi juga menjadi jaringan sosial bahkan organisasi sosial yang mempunyai
fungsi-fungsi sosiologis.[12]
Pada
mulanya tarekat dilalui oleh seorang sufi secara individual. Tetapi dalam
perjalanannya kemudian tarekat diajarkan kepada orang lain baik secara
individual maupun kolektif. Pengajaran tarekat kepada orang lain ini sudah
dimulai sejak zaman Al-Hallaj (858-922).[13]
Selanjutnya praktek-praktek pengajaran yang seperti itu dilakukan pula oleh
sufi-sufi besar yang lainnya. Dengan demikian, timbullah salam sejarah Islam
kumpulan-kumpulan sufi yang mempunyai sufi tertentu sebagai syekhnya dengan
tarekat tertentu sebagai amalannya, juga pengikut-pengikut atau murid-murid.[14]
Sistem hubungan antara mursyid (guru atau pembimbing) dan murid
(aspiran) pada tahap selanjutnya menjadi pondasi bagi pertumbuhan tarekat
sebagai sebauh ordo (organisasi) dan jaringan.
Tarekat
dalam proses bimbingan di atas, pada mulanya adalah suatu metode praktis yang
biasanya sejajar dengan istilah-istilah lain seperti mazhab, ri’ayah, dan suluk
untuk membimbing seorang pencari dengan menelusuri jalan berfikir, merasa dan
bertindak dengan melalui urutan tahap-tahap (maqomat) dan
pengalaman-pengalaman psikologis yang disebut “keadaan-keadaan” (ahwal)
menuju pengalaman tentang realitas ilahi (haqiqoh). Dengan demikian,
sebagaimana dikutip oleh Muhsin Jamil mengenai catatan J. Spencer Trimingham,
pada awalnya tarekat berarti sekedar metode gradual mistisme kontemplatif dan
pelepasan diri. [15]
J.
Spencer Trimingham juga sempat memetakan perkembangan tarekat pada masa-masa
awal kemasyhurannya. Dia membagi kawasan-kawasan utama pemikiran
danpraktek-praktek sufi berdasarkan perkembangan tarekat menajdi tiga
lingkungan utama; 1) lingkungan Mesopotamia, 2) lingkungan Mesir dan Maghribi
dan 3) lingkungan Iran, Turki dan India. Lingkungan utama tarekat di Mesopotamia
meliputi Baghdad, Syiria, hingga ke Mesir. Alur utama isnad tarekat
dalam lingkungan ini adalah al-Junaid al-Baghdadi (w. 298/910). Tarekat-tarekat
utama yang tumbuh dari lingkungan Mesopotamia adalah Sughrawardiyah, Rifaiyah,
dan Qodiriyah.
Adapun
Mesir dan Maghribi lebih merupakan lingkungan perkembangan beberapa tarekat
besar setelah masa pembentukan sebelumnya. Tarekat yang berkembang secara baik
pada lingkungan ini adalah Syadziliyah. Namun demikian jaringan yang muncul
dari lingkungan ini mencakup banyak tarekat-tarekat kecil yang sangat banyak
dan kurang tersebar ke berbagai wilayah lain.
Sementara
itu, lingkungan Iran memadukan dua kecenderungan sufi awal Iraqi dan Kurasani
yang dikaitkan dengan nama al-Junaidi (sufi Mesopotamia) dan Abu Yazid al-Bistami (sufi Malamati, Kurasani).
Tarekat-tarekat besar yang tumbuh di lingkungan ini adalah kubrawiyah,
Yasaviyah, Maulawiyah, Khawajangan-Naqsabandiyah, Chistiyah, dan Sgrawardiyah
India.
Dengan
demikian, tarekat yang pada mulanya merupakan perkumpulan orang sufi yang
berdiri secara spontan dan tanpa ikatan, berkembang menajdi organisasi sufi
populer yang mempunyai peraturan-peraturan tertentu dan berkembang menjadi
jaringan yang sangat luas dan tersebar di berbagai wilayah dunia Islam.[16]
- Kritik
Atas Tarekat Konvensional
Dalam
wacana intelektual Islam, tarekat sering dituduh sebagai penyebab kemunduran
dunia Islam. Walaupun tuduhan itu tidak sepenuhnya benar, namun pandangan
semacam itu agaknya cukup dominan baik dikalangan pemikir non muslim maupun
pemikir muslim. Tidak heran apabila peran-peran sosial politik yang sebenarnya
riil dimainkan oleh tarekat tidak muncul dalam catatan-catatan sejarah. Di
Indonesia misalnya walaupun terdapat pengakuan bahwa tarekat memainkan peran
cukup signifikan dalam proses penyebaran Islam, akan tetapi kajian tarekat
dalam hubungannya dengan dinamika sosial politik Indonesia kurang mendapat
perhatian.
Pandangan
seperti ini muncul lebih dipengaruhi oleh asumsi konvensional yang mengandaikan
masyarakat tarekat sebagai masyarakat tardisional bahkan bagian dari komunitas
yang sangat konservatif di tengah masyarakat tradisional. Pandangan
konvensional tersebut, sesungguhnya sangat dipengaruhi teori tipologi
masyarakat (social tipology) sebagaimana yang dibuat Talcot Parson.
Tokoh yang mempunyai banyak penganut dari perspektif struktural fungsional ini
membuat sejumlah pasangan kategori dikotomis dalam melihat masyarakat.
Masyarakat menurutnya harus dilihat dari kategori moderen dan tradisional
dengan karakteristiknya masing-masing.[17]
Dalam
kategori itu biasanya masyarakat tarekat dianggap sebagai masyarakat
tradisional yang memiliki pandangan berorientasi afektif, difuse,
partikularistik, dan berorientasi kolektifistik. Dengan demikian ia tidak bisa
berdialektika dengan modernisasi dengan segala bentuk perubahan sosial, budaya,
dan politiknya. Bahkan dunia tarekat dianggap sebagai pelarian dari
ketidaksanggupan menghadapi moderenisasi itu sendiri.
Terlepas
dari analisa sosial masyarakat yang diungkapkan oleh Parson, sebenarnya ada
persoalan lain di dalam konsep tarekat konvensional itu sendiri. Banyak
masyarakat perkotaan yang tertarik untuk mendalami tasawuf sebagai jalan
spiritualitas dan olah batin mendekati Tuhan. Namun, seringkali ada persoalan
yang menjadi momok ketika mereka berhadapan dengan aspek esoteris Islam itu,
yaitu adanya tarekat. Apa yang ditakutkan dalam tarekat diantaranya adalah
persoalan baiat dan ketaatan buta kepada guru.[18]
Di
dalam konsep tarekat konvensional memang ada lima hal yang umumnya ada sebagai
sebuah persyaratan berjalannya tarekat sebagai sebuah ordo. Kelima hal tersebut
adalah mursyid, murid, baiat, silsilah, dan ajaran. Kelima hal
tersebutlah yang kadangkala menjadikan tarekat konvensional bersifat aksesif
jika dihadapkan dengan realitas masyarakat moderen yang cenderung berfikir
realistis dan rasional. Selain ada beberapa hal lain yang bersifat ritual
seperti khalwat, zawiyah, dzikir, dan yang lainnya. Maka berikut ini
akan kita coba jabarkan beberapa hal di atas yang tentu saja dengan menggunakan
pisau analisis kritis sebagai sebuah upaya konstruktif dalam
mengimplementasikan tarekat sebagai sebuah jalan menuju Tuhan yang dapat
diterima.
- Mursyid
dan Murid
Syeikh
Muhammad Amin al-Kurdi, seorang penganut tarekat Naqsyabandiyah, dalam kitabnya
Tanwir al-Qulub fi Mu’amalat al-‘Ilmi al-Ghuyub, seperti diterjemahkan
oleh Aboebakar Atjeh dalam buku Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian tentang
Mistik), menjelaskan tentang posisi murid di hadapan gurunya.
Engkau laksana mayat terlentang
Di depan
gurumu terletak membentang
Dicuci,
dibalik, laksana batang
Janganlah
engkau berani menentang
Perintahnya
jangan engkau elakkan
Meskipun
haram seakan-akan
Tunduk
dan taat diperintahkan
Engkau
pasti ia cintakan
Biarkan
semua perbuatannya
Meskipun
berlainan dengan syara’nya
Kegelapan
hati akan nyatanya
Bagimu
akan jelas rahasianya
Ingat
cerita Khidir dan Musa
Tentang
pembunuhan anak desa
Musa
seakan putus asa
Pada
akhirnya ia terasa
Pada
akhirnya jelaslah sudah
Tampak
padanya secara mudah
Kekuasaan
Allah tidak tertadah
Ilmunya
luas tidak termadah.[19]
Dalam
tradisi tarekat konvensional memang sering muncul adagium yang berbunyi “Barang
siapa belajar tasawuf tanpa berguru (syaikh; Persian pir) maka
setanlah yang akan menjadi pembimbingnya” (One who has no master has satan
for a leader).
Syair
dan ungkapan tersebut tersebut mengandung beberapa dampak sekaligus.
Diantaranya adalah anggapan bahwa tarekat merupakan ilmu yang bersifat
eksklusif, elitis, dan khusus. Ia tidak boleh diajarkan kepada semua lapisan
masyarakat. Ilmu bisa menjadi sesuatu yang kontraproduktif bila jatuh ke tangan
orang-orang yang belum siap untuk menerimanya.
Dalam
tarekat konvensional, guru sufi mempunyai otoritas yang mutlak untuk tidak
dibantah. Karena dalam ucapan, tindakan, dan perintah yang mereka keluarkan
terdapat rahasia dan fungsi-fungsi khusus yang hanya bisa diketahui oleh sang
guru. Sikap seorang murid dihadapan guru adalah seperti sikap mayit terhadap
orang yang hendak memandikannya. Kisah pertemuan Khidir dan Musa dengan segala
kegiatan-kegaiatannya acapkali digunakan sebagai dalih dalam membangun hubungan
antara guru dan murid.
Cukup
susah bila kita menggunakan rasio untuk memahami hubungan guru-murid dalam
tradisi tarekat konvensional ini. Hubungan kedua belah pihak itu biasanya
disebut dengan iradah, yang biasanya diartikan dengan rindu atau
keinginan. Guru disebut sebagai murad, orang yang dirindukan atau
diinginkan. Orang yang mengikuti disebut dengan murid, orang yang rindu
atau berkeinginan.
Bila
seorang murid yang tulus lagi bersungguh-sungguh masuk dalam tarekat dan patuh
pada sang guru, maka kondisi, nuansa, semangat, dan alam spiritual akan
mengalir dari jiwa sang guru ke dalam jiwa murid. Kepatuhan seorang murid
kepada gurunya dipahami sebagai sebuah proses psikologis untuk menanggalkan
kepribadian yang jahat dan rendah kemudian menggantikannya dengan kepribadian
dan jiwa yang suci dengan cara menghancurkan ego. Akan tetapi itu semua hanya
akan terjadi bila seorang murid benar-benar patuh dan tunduk secara penuh pada
sang gurunya. Inilah yang menjadi salah satu titik kritis dari konsep tarekat
konvensional. Karena di sini kita diharuskan bertaqlid buta kepada perintah dan
instruksi sang guru dalam hal apapun bahkan sesuatu yang tidak rasional dan
terkesan melanggar syariat seperti yang terjadi pada cerita Khidir dan Musa.[20]
Dalam
tradisi masyarakat yang biasa dengan dialog, komunikasi seimbang, dan
berkeyakinan tentang kesejajaran manusia, perilaku yang terjadi pada wacana
spiritual menjadi fenomena keberadaan manusia yang kritis. Guru dan murid
sama-sama berada di posisi yang bisa menjebak dalam bahaya jika ada kesalahan
sedikit saja dalam pemahaman tekhnisnya.
Dalam
gambaran seperti tersebut di atas, guru sufi tak ubahnya seperti seorang
diktator seumur hidup, bahkan manusia setengah dewa. Sementara bagi murid,
kepatuhan butanya bisa membawa kepada ketumpulan otak, ketersesatan, dan sangat
mudah dibihongi.
Memang,
bila guru yang dipilih adalah betul-betul seorang guru yang baik, maka
kepatuhan buta seorang murid adalah berkah. Seperti itulah kepatuhan dan
“kebutaan” Abu Bakar as-Shidiq kepada nabi Muhammad saw. Ketika semua orang
menolak peristiwa Isra Mi’raj Muhammad saw, Abu Bakar adalah orang pertama yang
membenarkannya. Bahkan ia berkata, “Seandainya Muhammad berkata bahwa matahari
terbit dari barat, maka saya adalah orang pertama yang membenarkannya”.[21]
- Baiat
Baiat
sering kali menjadi persoalan yang paling sensitif dalam tasawuf. Namun, tak
jarang ia menjadi tindakan yang sangat ditunggu-tunggu oleh para penempuh jalan
spiritual. Baiat yang sering melahirkan kultus individu kepada seorang guru
(master, mursyid) mendapat kritik pedas di masyarakat barat. Namun seiring
dengan derasnya kritik itu, masyarakat barat banyak yang memimpikan munculnya
seorang yang bisa dijadikan patron dalam hidup, bisa menjadi pembimbing,
seorang mursyid. Nah, dalam konteks inilah kita perlu berbicara tentang baiat.
Seseorang
yang ingin bergabung dengan suatu tarekat tertentu, biasanya tidak bisa
langsung masuk ke pondokan guru tarekatnya. Ada tarekat yang mensyaratkan
kepada calon muridnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu. Bila ia telah
memenuhi persyaratan tersebut, barulah sang guru menerimanya sebagai seorang
murid. Dan sering kali seorang guru melihat-lihat terlebih dahulu kondisi calon
muridnya. Apakah orang tersebut patut dijadikan muridnya atau harus menunggu
sekian waktu atau langsung ditolak.
Dan,
kadangkala seorang murid tidak cukup hanya sekedar memenuhi persyaratan awal
yang diminta oleh calon gurunya untuk menjadi anggota tarekat. Setelah memenuhi
persyaratan “administratif”, calon murid harus melakukan sumpah setia di
hadapan gurunya. Dalam tradisi tarekat, sumpah setia itu disebut dengan baiat (bay’ah),
initiation.
Baiat
dikembangkan dalam tarekat dengan mengikuti sikap yang pernah dilakukan oleh
nabi Muhammad saw ketika menerima keislaman beberapa kelompok masyarakat ketika
itu. Sumpah setia para sahabat yang masuk Islam kepada Rasulullah saw dalam
sejarah dikenal dengan sebutan perjanjian Baitul Aqobah I dan Baitul Aqobah II.
Bentuk
dasar dari baiat adalah dengan melakukan jabat tangan. Bentuk lainnya adalah
dengan memberikan baju seragam atau topi atau ciri khas tertentu dari tarekat
yang diikuti. Ada juga tarekat yang dalam praktek sumpah setia dengan melakukan
pencukuran rambut. Setiap tarekat mempunyai model baiat yang berbeda dari
tarekat yang lainnya.
Baiat
menjadi sangat penting karena menunjukkan simbol penerimaan dan pengakuan dari
sang guru mursyid atas muridnya. Baiat sekaligus menjadi awal pintu masuk
dimana seorang murid harus benar-benar pasrah dan tunduk kepada apa yang
diperintahkan oleh gurunya.
Konsep
yang satu ini sering menjadi pertanyaan bagi para peminat tasawuf yang hendak
memasuki tarekat. Kenapa harus dibaiat? Kenapa harus taklid buta kepada guru?.
Para pengusung tarekat moderen kemudian merumuskan sebuah tarekat yang tidak
mesti terkungkung dengan baiat, hubungan antara guru dan murid bersifat
demokratis. Dalam tarekat moderen keikutsertaan seorang murid kepada gurunya
didasarkan kepada kemauan diri sendiri. Rentang waktu untuk mengikuti perilaku
sang guru juga diserahkan sepenuhnya kepada si murid. Tak ada hirarki antara
guru dan murid, hubungan mereka bersifat wajar. Tak ada mitos tentang sang guru
dan tak ada kewajiban untuk melakukan kepatuhan gila bagi si murid.[22]
Upaya
lain yang mencoba diminimalisir dari keterikatan tarekat konvensional melalui
sebuat baiat ini adalah dengan cara mengubah tarekat sebagai sebuah lembaga
menjadi tarekat sebagai sebuah teks. Seorang penempuh jalan spiritual bisa
mempelajari buku-buku tentang berbagai tarekat, merubah sosok mursyid yang
merupakan person menjadi mursyid yang berupa buku. Pada tahap awal perjalanan
menuju Tuhan, kehadiran seorang guru yang memberikan sebuah pengantar,
penjelasan global, dan rambu-rambu sangat dibutuhkan. Namun, pada proses
selanjutnya seorang salik harus bertemu dengan Tuhan dalam kekhasan
dirinya, sebagai manusia yang memiliki perbedaan dengan manusia yang lain.[23]
- Khalwat
dan Zawiyah
Salah satu ajaran
ritual yang diajarkan oleh hampir seluruh tarekat adalah praktek khalwat (solitude,
cloistering, atau confinement). Menurut tarekat Naqsyabandiyah,
seperti dikemukakan oleh Muhammad Amin al-Kurdi dalam Tanwir al-Qulub fi
Mu’amalati ‘Alam al-Ghuyub, seorang penempuh jalan spiritual tidak akan
mungkin dapat mencapai Tuhan kecuali mau melakukan khalwat. Tradisi khalwat
diambil dari perilaku nabi Muhammad saw ketika menyepi di gua Hira’
sebelum diangkat menjadi Rasul Allah.
Sedang zawiyah adalah
satu istilah yang cukup akrab di telinga orang-orang yang menggeluti persoalan
tasawuf. Istilah lain yang searti dengan kata ini dalam bahasa Arab adalah ribath.
Di Persia dikenal dengan nama khanqah, jamaat-khana. Di Turki disebut
dengan tekke. Istilah ini sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
menjadi lodges atau hospices. Di Indonesia sendiri disebut dengan
nama pondok atau pondokan.
Zawiyah merupakan
tempat tinggal para sufi, tempat mereka melakukan ritual khalwat, ibadah,
berdzikir, salat, membaca kitab suci, dan lainnya. Awalnya istilah ini muncul
untuk menunjukkan satu ruangan di Masjid yang dipakai oleh para sahabat nabi
Muhammad saw untuk beribadah. Kemudian istilah ini menjadi terkenal dan sering
di pakai di Iran, Syiria, dan Mesir sejak abad ke 11.
Pandangan yang populer dalam
tarekat mengatakan bahwa di zawiyahlah tempat para sufi menempa diri dan
menyepi untuk beribadah. Di zawiyah ini mereka melakukan khalwat dan berdzikir
selama sekian waktu yang telah ditentukan.
Umumnya kegiatan
bertapa atau bermeditasi itu dilakukan
ditempat-tempat sunyi, di gunung, di gua, di pedesaan, atau ditempat-tempat
yang terisolasi dari hubungan dengan manusia lain. Berbagai tempat sepi itu
dipilih karena di sanalah, menurut anggapan yang ghalib, orang bisa
mengkonsentrasikan pikiran, beribadah secara khusyuk, dan memiliki
gagasan-gagasan segar. Di wilayah seperti inilah dan di lokasi yang jauh dari
keramaian, sekali lagi berdasarkan keyakinan beberapa orang, keintiman dan
kedekatan dengan Tuhan bisa tercapai.[24]
Persoalan muncul ketika
pemilihan tempat yang “terasing” itu dihadapkan dengan peran manusia sebagai
makhluk sosial. Posisi ini menuntut mereka untuk selalu berkomunikasi dengan
sesamanya. Bahkan ada jenis komunitas masyarakat tertentu yang detik demi detik
dari kehidupannya merupakan proses komunikasi sosial. Komunikasi baginya adalah
profesi, pekerjaan, penghidupan, sesuatu yang mesti dilakukan untuk menyambung
eksistensinya. Pada situasi seperti ini, apakah “menyepi” menjadi kegiatan yang
perlu? Pertanyaan lain yang cukup penting adalah, apakah kadar kekhusyukan dan
ketaqwaan seseorang ditentukan oleh tempat dan situasi? Apakah kita tidak bisa
betapa di tempat yang ramai (tapa ngrame)?[25]
Suatu saat al-Jurayri
memberikan jawaban terhadap pertanyaan orang tentang ‘uzlah (seclusion).
Katanya, “Maksud dari ‘uzlah adalah kamu masuk dalam keramaian hiruk
pikuk manusia, sementara kamu tetap menjaga hatimu agar mereka semua tidak
menyerangmu dengan kehendak-kehendak buruk. Jaga dirimu dari perbuatan dosa, maka
hatimu akan terhubunga dengan Tuhan”. Dikatakan pula, “barangsiapa memilih
untuk mengasingkan diri (secara fisik) maka yang akan ia dapatkan hanyalah
pengasingan diri itu”.[26]
Ada satu penjelasan
yang cukup menarik tentang fungsi khalwat dan zawiyah tersebut. Pendapat ini
dikemukakan oleh Nurcholish Madjid yang dikutip oleh Ahmad Najib Burhani dalam “Tarekat
tanpa tarekat”. Menurutnya, secara spiritual pada saat-saat tertentu
manusia memang perlu melakukan disengagement, solitude, atau khalwat.
Mengapa? Manusia perlu melepaskan diri dari kehidupan sehari-hari supaya ia
mampu membuat jarak dengannya dan dapat melihat kehidupan dengan lebih benar.
Perintah khalwat dan ‘uzlah
menurut Cak Nur, dimaksudkan agar pada saat-saat tertentu kita berjarak dari
hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari, supaya kita bisa merekonstruksi keadaan
secara lebih jujur dan objektif. “seperti kalau kita ingin tahu rumah kita, ya
kita keluar dulu sebentar, lalu kita lihat dari luar”, ujarnya. Setelah keluar
sebentar, ia harus segera kembali lagi ke rumahnya untuk membangun yang lebih
baik dari yang telah dia lihat dari luar tersebut.[27]
Maka sebenarnya khalwat di zawiyah atau
ruang kecil dan tertutup itu adalah khalwat kecil. Khalwat yang
sebenar-benarnya adalah berada di tengah-tengah masyarakat, di tengah hiruk
pikuk dunia. Dalam adagium sufi, “The real halvet begins after halvet”.
Khalwat yang sebenar-benarnya itu baru dimulai setelah kita keluar dari
khalwat.
Bila seorang sufi
terjebak pada sesuatu yang bersifat material, seperti keyakinan bahwa zawiyah
itu haruslah berupa ruangan material, maka kesufiannya telah bisa dianggap
melenceng dari ajaran dasar tasawuf. Bila seseorang mampu menghilangkan
ketergantungan pada kekayaan harta benda namun kemudian menjadi tergantung pada
formalitas ajaran tasawuf, maka orang ini sulit untuk disebut sebagai sufi.
- Penutup
Kesimpulan yang dapat
diambil dari paparan di atas adalah bahwa tarekat sebagai sebuah jalan untuk
menuju keintiman dengan Tuhan sangat wajar dan menemukan sambungannya di dalam
Islam. Akan tetapi keberadaan tarekat yang sejak awal kemunculannya selalu
mengalami perubahan pada akhirnya berbenturan dengan nilai-nilai masyarakat
moderen yang rasional dan objektik. Untuk itu perlu diadakan gerakan
rekonstruksi terhadap konsep tarekat konvensional sebagai langkah kritis terhadapanya.
Dengan tujuan agar jalan menuju Tuhan tidak terbatasi dengan
aktifitas-aktifitas ritualis yang formal dan kaku sehingga mengakibatkan
terjadinya penjerakan dengan zaman.
Daftar
Pustaka
Atjeh, Aboebakar, Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian
Tentang Mistik), Solo; Ramadhani, 1985
Badir’un, Faisol, al-Tasawuf al-Islamy al-Toriq
wa al-Rijal. Cairo; Dar al-Ma’arif, 1998
Burhani, Ahmad Najib, Tarekat Tanpa Tarekat,
Jakarta; Serambi Ilmu Semesta, 2002
Ghazali, Abu Hamid, Munqid min ad-Dhalal,
Cairo; Dar al-Nashr al-Nil, 1990
Hilmy, Muhammad Musthofa, al-Hayat al-Ruhaniyah
fi al-Islam, Cairo; Dar al-Ma’arif, 1997
Jamil, M. Muhsin, Tarekat Dan Dinamika Sosial
Politik; Tafsir Sosial Sufi Nusantara, Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005
Nicholson, Reynold A., alih bahasa oleh A.
Syihabulmillah, Gagasan Personalitas Dalam Sufisme, Yogyakarta; Pustaka Sufi, 2002
Taftazany, Abu Wafa Al- Ghanimy, , Madkhal ila
al-Tasawuf al-Islami, Cairo; Dar al-Tsaqofah li al- Nasyr wa al-Tauzi’, 1991
[1] Al-Qur’an al-Karim dan
terjemahnya, surat al-Maidah ayat 35
[2] Muhammad Ustman Abduh
al-Burhani, Tabri’at al-Dzimmah fî Nashhi al-Ummah, wa Tadzkirat Uli
al-Albab li al-Sair ila al-Shawab. Dicetak oleh Jam’iyah al-Thariqah
al-Burhamiyyah al-Dasuqiyyah al-Syadziliyyah, t.t., hlm. 272
[3] Sebagaimana firman Allah
Swt.“wakholaqnakum athwara”(dan
aku ciptakan kamu sekalian secara bertahap), “waminkum man yatawaffa
waminkum man yurid ila ardzali al-umur” (Sebagian dari kamu mati muda, dan
ada sebagian dari kamu yang dipanjangkan sampai usia senja).
[4] Muhammad Ustman Abduh
al-Burhani, Op. Cit., hal. 255.
[5] Mungkin tema ini hampir
sama ketika kita mempelajari definisi tasawuf. Tasawuf yang secara etimologi
mempunyai kemungkinan dari berbagai asal kata (musytaq) pun memiliki banyak
variasi definitif dalam terminologinya. Hal itu disebabkan karena pengalaman
hati sangat sulit diungkapkan dengan satu definisi yang sama. Semua menjadi
bergantung pada pengalaman yang dirasakan oleh tiap salik.
[6] Abubakar Atjeh, Pengantar
Ilmu Tarekat, CV Ramadhani, Solo, cet. Ke 3, 1985, hal 67.
[7] Ahmad Najib Burhani, Tarekat
tanpa Tarekat, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2002, hal. 101
[8] Ibid, hal. 69
[9] Annemerie Schimmel,
Mystical Dimensions of Islam, The Univensity of Carolina Press, 1978, hal. 5
[10] Ajaran kesatuan dengan
Tuhan sangat populer dalam dunia tasawuf Islam. Ada beberapa ulama dan tokoh
sufi terkenal yang mempunyai teori yang hampir sama. Seperti Ibnu Arabi dengan
teori wahdah al-wujudnya, Abu Yazid al-Bistami dengan teori Ittihad,
Fana, dan Baqonya, dan juga
al-Hallaj dengan teori Hululnya.
[11] M. Muhsin Jamil, M.A, Tarekat
dan Dinamika Sosial Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 47.
[12] Perlu dicatat bahwa
istilah tarekat dalam terminologi barat sering disebut dengan sufi order (organisasi
para sufi) dan juga disebut sufi brotherhood (persaudaraan para sufi).
Lihat Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, Cambridge, 1998,
hal. 168. Akan tetapi menurut penulis istilah-istilah tersebut sebenarnya
tidaklah sama sekali identik. Istilah-istilah tersebut menunjuk kepada aspek
organisatoris dari sufisme, sedangkat tarekat walaupun berbentuk organisasi
namun sebenarnya adalah nama jalan sufi yang mendakwakan diri bisa menuntun
manusia menuju pertemuan (communion) dengan Tuhan. Karena pada
kenyataannya tarekat sebagai sebuah jalan tetap mampu sampai pada fungsi dan
tujuannya meski tanpa pengorganisasian yang rapi seperti pada awal-awal
kemunculannya.
[13] Nama lengkapnya adalah
Abu Al-Mughits al-Hasan ibn Manshur ibn Muhammad al-Baidlawi. Dikenal dengan
julukan al-Hallaj yang berarti penenun atau pengurai. Salah satu ajarannya yang
paling terkenal adalah tentang kesatuan agama-agama (wahdah al-adyan) dan
kesatuan entitas manusia dengan Tuhan (wahdah al-wujud).
[14] M. Muhsin Jamil, M.A, op.
cit, hal. 50.
[15] Ibid, hal. 52
[16] Dr. Ahmad Tafsir, Tarekat
dan Hubungannya dengan Tasawuf, Tasikmalaya, 1990, hal. 25
[17] Mengenai teori Parson,
dapat dilihat di K.J Veeger, Realitas Sosial, Gramedia, Jakarta, 1993,
hal. 192.
[18] Ahmad Najib Burhani, Tarekat
tanpa Tarekat, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2002, hal. 97.
[19] Abubakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, CV Ramadhani,
Solo, cet. Ke 3, 1985, hal 86.
[20] Ahmad Najib Burhani, op.
cit, hal. 53.
[21] Abubakar Atjeh, op. Cit,
hal 83. (dari analisa di atas, menurut penulis penolakan atas konsep
mursyid-murid bukan dilatarbelakangi sepenuhnya atas ketidakvalidan
konsep tersebut. Akan tetapi lebih kepada kekhawatiran akan adanya pemanfaatan
negatif kesempatan yang terbuka melalui konsep tersebut. Buktinya kita sulit mengingkari
ketika dihadapkan pada cerita Khidir (mursyid) dan Musa (murid) atau cerita
Israk Mi’raj antara Jibril (mursyid) dan Muhammad (murid). Untuk itu mungkin
menjadi penting merujuk kembali tentang teori-teori kewaliyan dan nubuwah dalam
tasawuf yang seakan-akan mendekatkan
kemampuan psikologis seorang sufi yang sudah sampai pada derajat wali kepada
derajat nubuwah seorang nabi).
[22] Ahmad Najib Burhani, Tarekat
tanpa Tarekat, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2002, hal. 43.
[23] Ibid, hal. 112.
(dalam kritik ini penulis menganggap bahwa yang dimaksudkan lebih pada merubah
tarekat dari sebuah ordo yang mempunyai
kekhasan menjadi sebuah budaya intelektual keilmuan yang melulu hanya dilihat
dengan kacamata teoritis saja. Padahal dalam banyak kesempatan para tokoh sufi
seperti al-Ghazali sendiri meyakini bahwa tasawuf bukan hanya sebuah ilmu yang
bersifat teoritis akan tetapi juga praktis. Sisi teoritis tasawuf mungkin akan
dapat diterapkan dengan menggunakan metode pembalikan ini, akan tetapi akan
sangat sulit dengan sisi praksisnya. Karena untuk sampai kepada Tuhan, dalam
batasan tertentu seorang murid tetap membutuhkan bimbingan dan guide dari
sang guru). Lih. Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidz min ad-Dhalal, Dar
al-Hadits, Cairo, 2005, hal. 24
[24] Abubakar Atjeh, Pengantar Ilmu Tarekat, CV Ramadhani,
Solo, cet. Ke 3, 1985, hal 136.
[25] M. Muhsin Jamil, M.A, Tarekat
dan Dinamika Sosial Politik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 26.
[26] Abubakar Atjeh, Op.Cit., hal 139.
[27] Ahmad Najib Burhani, Tarekat
tanpa Tarekat, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2002, hal. 93.
0 comments:
Posting Komentar