Sabtu, 06 Juli 2013

Tiga Abad Pertama Tasawuf


A. Pendahuluan
            Tasawuf merupakan salah satu dari ilmu Islam yang paling menarik untuk dipelajari. Hal ini dikarenakan tasawuf berbicara tentang hal-hal yang bersifat etik sehingga keberadaannya selalu dibutuhkan oleh perkembangan zaman dan tidak akan pernah menjadi usang.
            Terlebih masyarakat modern saat ini dianggap sebagai masyarakat yang pada akhirnya akan kembali pada satu pencarian nilai etika yang murni. menurut Deliar Noer salah satu ciri dari masyarakat modern adalah terjadinya  kepribadian yang terpecah atau split personality. Kehidupan yang kering akibat terlalu disibukan dengan hal-hal yang bersifat eksak dan materialistis menyebabkan masyarakat modern akhirnya kehilangan pegangan dalam hal spiritualitasnya. Sehingga ketika beban masalah menghinggapi mereka, hati dan perasaan mereka tidak dapat terpuaskan dengan hal-hal yang sifatnya duniawi tersebut.
            Akhirnya tasawuf kembali dilirik sebagai sebuah alternatif etik dalam sosiologi masyarakat. Dalam Islam tasawuf mengalami perjalanan dan perkembangan yang sangat rumit dan menegangkan. Ada banyak hal yang menyertai perjalanan tasawuf sebagai sebuah fenomena komunikasi kualitatif dengan Tuhannya juga peran langsungnya dalam kebudayaan masyarakat terdahulu.

B. Tasawuf dalam Tinjauan Etimologis
            Terdapat perbedaan yang sangat mendasar yang terjadi diantara kalangan para pengkaji tasawuf sehubungan dengan asal usul kata sufi, apakah merupakan sebuah kata baku (jamid) ataukah merupakan kata jadian (musytaq). Kemudian kalaulah merupakan kata jadian, kira-kira berasal dari kata apa? Permasalahan ini mungkin menarik untuk dikaji karena persoalannya tidak hanya berhenti sampai disini saja, akan tetapi terus berkembang pada permasalahan lain yang erat kaitannya dengan dengan pembahasan seputar “orisinalitas tasawuf Islam”. hal ini dikarenakan setiap penisbatan kata sufi kepada kata asalnya akan melahirkan teori dan kesimpulan tentang “sumber-sumber dasar tasawuf yang ada dalam tradisi Islam”. mungkin faktor inilah yang menjadikan para sejarawan Islam terdahulu sangat berhati-hati ketika memasuki pembahasan ini. (Hijazi, 1998; 13)
            Dalam uraian ini akan mencoba memaparkan pendapat para pengkaji mengenai asal-usul kata sufi beserta konsekuwensi-konsekuwensi teoritis yang akan terjadi.
            Harun Nasution seperti yang dikutip dalam buku panduan akidah akhlak Depag menyebutkan lima istilah kata yang berkenaan dengan tasawuf dan asal kata sufi tersebut, diantaranya : (Kamal, dkk, 2008; 23)
1.            Shafa yang berarti suci. Disebut shafa atau suci karena kesucian batin kaum sufi dan kebersihan tindakan dan keihlasannya.
2.            Shaff yang berarti barisan. Karena kaum sufi diidentikan dengan orang yang mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, ikhlas dan senantiasa memilih barisan yang paling depan dalam shalat berjamaah.
3.            Theosophi (sufiya) yang berasal dari kata yunani yaitu theo yang berarti Tuhan dan Shopos yang berarti hikmah.
4.            Shuffah yang berarti serambi tempat duduk. Yaitu serambi masjid nabawi di Madinah yang disediakan untuk orang-orang yang belum mempunyai tempat tinggal dari kalangan Muhajirin di masa  Rasulullah saw. Mereka biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi) karena di serambi itulah mereka bernaung.
5.            Shuff atau bulu domba. Hal ini disebabkan kaum sufi biasa menggunakan pakaian dari bulu domba yang kasar, sebagai lambang dari kerendahan hati mereka, juga untuk menghindari sikap sombong di hatinyadisamping untuk menenangkan jiwa serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi.
            Diantara pendapat-pendapat diatas yang menarik untuk kita kaji lebih lanjut adalah pendapat yang terakhir yang mengatakan bahwa asal kata sufi berasal dari kata Shuf yang berarti potongan bulu domba. Karena pendapat ini melahirkan teori yang berkaitan dengan keabsahan tasawuf dalam tradisi Islam.
            Pendapat ini sebetulnya didukung oleh banyak kalangan baik dari kalangan ilmuwan-ilmuwan Islam maupun dari kalangan para  Orientalis meskipun mereka menggunakan logika yang berbeda ketika memberikan jawaban dari sebuah pertanyaan “mengapa kaum sufi pada umumnya menggunakan baju yang terbuat dari potongan bulu domba?”. Sebagai contoh Ibnu Kholdun melihat kaum sufi berbuat demikian karena ingin membedakan cara berpakaian mereka dari golongan-golongan agamawan lainnya yang pada umumnya mengenakan pakaian-pakaian yang mewah. Berbeda dengan Ibnu Kholdun, Teodore Noldeke mempunyai pendapat yang lebih jauh lagi. Menurut dia, kaum sufi pada awal kemunculannya memilih shuf atau potongan bulu domba sebagai pakaian karena ingin meniru para pendeta Kristen yang ada di sekeliling mereka dan tersebar di negeri-negeri Islam pada waktu itu. Pendapat Noldeke ini kemudian banyak diadopsi dan dikembangkan oleh orientalis-orientalis sesudahnya yang kemudian melahirkan sebuah teori yang menggugat orisinalitas tasawuf Islam. adanya bentuk kesamaan dalam segi berpakaian mengindikasikan bahwa asketisme (zuhud) dalam Islam muncul atas pengaruh Kristen yang dibawa melalui pendeta-pendeta yang tersebar di negeri-negeri Islam dan bukan murni lahir dari ajaran-ajaran Islam. (Hijazi, 1998; 45)
              Kalau kita perhatikan kesimpulan diatas sebetulnya terjadi semacam lompatan logika yang kurang disadari. Lompatan logika ini menjadi jelas ketika menyedari bahwa sebetulnya kata tasawuf dan sufi sebagai sebuah istilah baru muncul sekitar abad ke tiga. Sedangkan gerakan asketisme dalam Islam sudah ada dari semenjak Islam lahir atau bahkan sebelumnya. Namun sejauh itu belum pernah digunakan istilah tasawuf atau sufi sebagai nama dan julukan bagi gerakan asketisme ini beserta para penganutnya sebelum abad ke tiga. Sebelumnya mereka lebih terkenal dengan istilah seperti: al-hunafa (yang bersih), al-zuhhad (yang berzuhud), al-tawwabun (yang bertaubat), al-bakkun (yang menangis). 
            Seperti halnya pendapat yang mengatakan bahwa asal kata sufi berasal dari bahasa yunani theosophi atau dalam bahasa arabnya “sufiya”. Theosophi yang berarti ilmu hikmah kemudian memberikan satu indikasi bahwa tasawuf Islam bermula dari pengalaman-pengalaman para ahli hikmah kaum Yunani kuno yang terkenal dengan filsafatnya. Akan tetapi hal inipun kemudian terbantahkan dengan alasan bahwa eksodus ilmu-ilmu filsafat Yunani baru dimulai dari dinasti Abasiyah yang saat itu sangat gemar menerjemahkan dan mempelajari buku-buku dari kebudayaan-kebudayaan negeri lain. Sedangkan fenomena tasawuf sudah muncul dalam Islam jauh hari sebelum masa dinasti Abasiyah.

C. Tasawuf dalam Tinjauan terminologis
            Ada kesulitan yang sangat mendalam dikalangan para pengkaji tasawufbahkan diantara para ahli tasawuf itu sendiri, ketika mereka mencoba mendefinisikan tasawuf dengan definisi yang mampu menggambarkan secara utuh dan menyeluruh mencakup esensi dari tasawuf itu sendiri atau yang dikenal dalam istilah mantiqnya “al-Ta’rif al-Jami’ wa al-Mani’”. Hal ini menjadi maklum ketika kita menyadari bahwa tasawuf sangat erat kaitannya dengan keadaan-keadaan inderawi yang dihasilkan melalui pengalaman spiritual yang selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa baik itu bersifat temporal maupun indifidual. (Hilmy, 1997; 40) Setiap perkembangan dari masa ke masa yang terjadi pada setiap masa atau pada setiap indivisu memiliki definisi-definisi tertentu bergantung dengan pengalamannya masing-masing yang mereka alami ketika menjalani ritual suluk tersebut. Dari isni maka tidak heran ketika definisi-definisi yang digunakan untuk mencoba menggambarkan pengalaman spiritula itu mencapai hitungan yang sangat banyak.
            Beberapa definisi yang berkembang dan sering dijadikan acuan seperti definisi dari al-Junaid al-Baghdadi bapak tasawuf moderat. Ia mendefinisikan tasawuf sebagai keberadaan bersama Allah swt tanpa adanya penghubung. Baginya tasawuf berarti membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariyah, menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat kerohaniaan, berpegang pada ilmu kebenaran, memberi nasihat pada umat, benar-benar menepati janji kepada Allah swt dan mengikuti syariat Rasulullah saw.
            Berbeda dengan pengertian al-Junaid, seorang tokoh sufi Abu Yazid al-Bustami pencetus teori fana’, baqo’, dan ittihad dalam tasawuf mengemukakan bahwa tasawuf dapat disimpulkan melalui tiga aspek, yaitu kha’, ha’, dan jim. Kha’ maksudnya takhalli berarti mengosongkan diri dari perangai yang tercela; ha maksudnya adalah tahalli berarti menghiasi diri dengan akhlaq terpuji; dan jim maksudnya tajalli berarti mengalami kenyataan ketuhanan.
            Sementara seorang ulama terkenal Ibnu Qoyyim al-Jauziyah menyimpulkan tasawuf ke dalam satu definisi yang sangat simpel yaitu ilmu etika. Segala sesuatu yang mengatur dan mengarahkan seseorang ke dalam satu etika yang baik maka ia termasuk ke dalam tasawuf. (Ghanimy, 1991; 26)
            Tasawuf sebagai sebuah ilmu menurut Muhammad Amin al-Kurdy adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal-hal yang terkait dengan kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah meuju keridloan yang diperintahkan-Nya. Orang sufi menurut al-Kurdy yaitu orang yang hatinya jernih, terhindar dari kehidupan buruk, dan senantiasa terisi oleh nur ilahi sehingga kemurnian hatinya bagaikan emas.
            Dari urian di atas, ada kesimpulan umum yang menggambarkan bahwa tasawuf sangatlah mempunyai nilai subjektifitas yang tinggi, karena tasawuf adalah sebuah pengalaman spiritual yang selalu mengalami perkembangan. Tentunya sebuah pengalaman sangatlah subjektif. Apa yang dialami oleh seseorang mungkin berbeda dengan apa yang dialami oleh orang lain atau bahkan orang yang tidak mengalaminya. Ketika hal-hal yang memliki nilai subjektifitas ini berusaha untuk diungkapkan, maka ungkapan yang lahir akan memiliki keragaman sesuai dengan pengalamannya masing-masing. Dengan demikian sangatlah masuk akal ketika tidak ditemukan satu definisi yang mampu merangkul semua unsur-unsur tasawuf.sementara ini definisi-definis yang ada hanya sebuah pengalaman-pengalaman terhadap sisi-sisi tertentu dari unsur-unsur tasawuf yang berlandaskan pengalaman-pengalaman subjektif. 

D. Geneologi Tasawuf pada Abad Pertama dan Kedua
            Berbicara mengenai awal mula kemunculan tasawuf dalam dunia Islam maka akan sangat relevan mengawalinya dengan ungkapan dari Abu Hasan al-Busyanji “al-tasawwuf al-yaum ismun bila haqiqotin, wa qod kana min qoblu haqiqotan bila ismin”  yang artinya, tasawuf saat ini hanya tinggal sebuah nama tanpa adanya hakikat yang jelas, sedangkan dahulu kala tasawuf hanya merupakan sebuah hakikat tanpa adanya nama. (Ghanimy, 1991; 34)
            Dalam Islam tasawuf praksis sudah dimulai sejak diangkatnya Muhammad saw menjadi seorang nabi bahkan jauh sebelum itu. Aktifitas-aktivitas Muhammad dalam kehidupan kesehariaannya kemudian menjadi salah satu contoh dan gambaran mengenai kehidupan bertasawuf. Salah satu sikap tasawuf yang kental dalam diri Muhammad kala itu adalah sikap asketisme atau zuhud yang kemudian mengawali berbagai macam aktivitas-aktivitas tasawuf lainnya.
            Dalam salah satu tulisannya Goldziher berpendapat, bahwa ada dua hal yang menjadi ciri has dari tasawuf Islam: pertama, sikap zuhud atau asketisme, konsep ini lebih mendekati aliran ahlu sunnah walaupun ada pengaruh terhadap batasan yang besar dari kalangan pendeta Kristen. Kedua, tasawuf dengan pemahaman yang mendalam dan terhadap sesuatu dari ucapan dalam kema’rifatan, tingkah laku, keberadaan, perasaan, ini dipengaruhi oleh kalangan Neo Platonisme dan dari sisi lain oleh kalangan Hindu dan Budha.
            Berbeda dengan pendapat dari Goldziher, menurut DR. Sami ‘Afifi Hijazy kemunculan tasawuf dalam Islam memang tidak serta merta berawal dari sebuah kesadaran yang tersistematik dengan jelas, akan tetapi kemunculannya berikatan dan beriringan dengan perkembangan Islam dari waktu ke waktu. Sedangkan pola kehidupan tasawuf sudah dimulai sejak awal Islam dengan tokoh sentral yang menjadi sumber sekaligus contoh hidup yaitu nabi Muhammad saw. (Hijazi, 1998; 32)
            Zuhud atau asketisme kemudian menjadi simbol dari perkembangan awal tasawuf pada abad pertama dan kedua hijriyah. Sikap asketisme ini juga menjadi geneologi awal yang dilakukan serentak oleh kalangan sahabat pada masa itu sebagai sebuah perlawanan atas dominasi kehidupan duniawi yang semakin menjauhkan manusia dari agama. Islam memahami zuhud bukanlah harus menjadi seorang pendeta yang memutuskan hubungan dengan dunia sama sekali, akan tetapi pemahaman zuhud adalah sesuai dengan nilai humanis yang terdapat dalam konsep kehidupan di dunia, berinteraksi terhadapnya. Akan tetapi tidak menjadikannya sebuah tujuan dalam hati dan tidak mengalihkan tujuannya dari ketaatan kepada Allah saw.
            Dengan demikian, Islam tidak memberikan syarat seorang zuhud haruslah fakir juga tidak melarang untuk menjadi zuhud dan kaya. Kita bisa melihat Utsman bin ‘Affan saudagar kaya yang hidupnya disifati dengan zuhud atas kepemilikannya, dia membeli sumur-sumur minuman keras dari Yahudi kemudian menyediakan sepuluh tentara tapi dia melarang umat Islam untuk meminumnya. Jadi zuhud dalam Islam merupakan metode kehidupan yang mengurangi kesenangan dunia, merubah manjadi lebih baik dan membebaskan manusia dari hawa nafsu atas semata-mata keinginannya serta menurut kemampuanya pada waktu tertentu terhadap hawa nafsu yang dianggap benar.
            Prof. Dr. Abu ‘Ala Afifi berpendapat, bahwasanya ada empat unsur yang mempengaruhi perkembangan zuhud dan asketisme dalam Islam: Pertama, doktrin islam sendiri, karena Islam memerintahkan sifat wara’, taqwa, meninggalkan dunia dan kesenangannya, merendahkan keadaan dunia, mengagungkan akhirat, mengajak kepada ibadah, tahajud dan puasa. Kedua, pengaruh jiwa manusia yang berbeda akan aturan sosial dan politik yang berlaku. Permasalahan polotik mengenai kepemimpinan Islam pada akhir masa Utsman bin Affan tidak hanya mempengaruhi kehidupan politik saja. Konflik yang memuncak pada masa kekholifahan Ali bin Abi Thalib pada akhirnya menimbulkan terjadinya kehilangan kepercayaan publik pada masa-masa berikutnya. Munculnya aliran-aliran baru seperti Syiah, Mu’tazilah, Murji’ah dan lain sebagainya kemudian menyebabkan banyak masyarakat memilih jalan zuhud dan menyepi dari dingar bingar kehidupan dunia. Ketiga, pendeta-pendeta kalangan Kristen. Dalam pendapatnya dia mengatakan bahwa kawasan Arab terpengaruh pendeta-pendeta Kristen sebelum datangnya Islam dan kemudian berpengaruh pada sikap asketisme di kalangan umat Islam. keempat, pengaruh perbedaan ilmu fikih dan ilmu kalam. Ilmu fikih yang saat itu sangat berkembang dan menguasai sebagian besar khsanah ilmu Islam kemudian terasa sangat kering karena hanya berlandaskan melalui metodologi-metodologi yang demonstratif saja, akan tetapi kemunculan kaum asketis kemudian mencuri perhatian karena mereka menawarkan satu kehidupan baru yang bercorak esoterik dan batiny. (Afifi, 1999; 26)
            Pada abad ini belum ditemukan bukti yang menunjukkan tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu yang terkodifikasikan dengan rapi dan sistematis. Tasawuf masih sebatas sebuah aktifitas praksis yang belum memiliki penamaan dan sistematika yang jelas. Baru pada awal abad kedua tasawuf mulai tersistematika dan orang-orang yang melakukan aktifitas asketisme tersebut mulai disebut dengan istilah ahli sufi.
            Pada masa ini selain dikatakan sebagai masa awal pembentukan geneologi tasawuf juga merupakan masa keemasan atau masa terbaik dimana banyak ahli-ahli zuhud yang pada akhirnya mengilhami tokoh-tokoh berikutnya dalam tasawuf. Seperti yang juga disampaikan oleh nabi Muhammad saw : “khoirul quruni qorni tsumma al-ladzina yalunahum, tsumma al-ladzina yalunahum” periode terbaik dalam hal agama adalah pada masaku, kemudian masa orang-orang setelahku, kemudian masa orang-orang setelahnya.

E. Kristalisasi Tasawuf pada Abad ke Tiga    
            Sangat sulit memang mencari pemisah zaman antara aktivitas zuhud atau asketisme dengan ilmu tasawuf salam dunia Islam. hal itu dikarenakan perkembangan pemikiran secara karakteristiknya tidak dapat dibatasi oleh ketatnya perkembangan waktu. Akan tetapi dalam perubahan pandangan yang nampak dalam penamaan aktivitas zuhud mendekati abad ketiga hijriyah. Tidak ada perkataan zuhud lagi pada abad ini, namun yang dikenal adalah tasawuf.
            Pada abad ketiga ini, awal mula tahap kodifikasi tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu. Para pendahulu yang mengkodifikasikan ilmu ini diantaranya: al-Muhasibi (w. 234 H), al-Kharaj (w. 277 H), al-Hakim al-Turmudzi (w. 285 H), al-Junaidi (w. 297 H), mereka adalah para sufi abad ketiga Hijriyah. (Badir’un, 1998; 45)
            Aktivitas pengkodofikasian ilmu-ilmu syariat berpengaruh langsung pada pengkodifikasian ilmu tasawuf. Seperti halnya yang diungkapkan Ibnu Kholdun dalamkaryanya: “tatkala ilmu-ilmu ditulis dan dikodofikasikan, disaat inilah para fuqoha menghasilkan karya-karya dalam bidang ilmu fiqih, usul fiqih, ilmu kalam, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu yang lainnya. Begitu juga tokoh-tokoh dalam bidang tasawuf menuliskan sesuai dengan masing-masing bagiannya. Diantaranya ada yang menuliskan kitab tentang wara’, pengintrospeksian diri atas apa yang harus dipertahankan dan yang ditingggalkan seperti yang dilakukan oleh Imam al-Qusyairi ketika menulis sebuah risalah yang berisi tentang pelajaran-pelajaran sabar, taubat, dan khouf, atau Imam Syuhrowardi yang menulis kitab tasawufnya “’Awarif al-Ma’arif” ......kemudian jadilah tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu yang terkodifikasikan setelah sebelumnya hanya sebagai tata cara ibadah saja. (kholdun, 2000; 56)
            Senada dengan pendapat Ibnu Kholdun, Nicholson juga mengatakan bahwa tasawuf pada abad ketiga dan keempat telah bermetamorfosis dari satu fenomena asketis yang individualis menjadi satu fenomena ilmu pengetahuan yang terstruktur secara ilmiyah maupun secara praksis. (Afifi, 1999; 76)
            Menurut Abu al-Wafa al-Ghonimi fenomena metamorfosa ini dibuktikan dengan mulai berevolusinya konsep zuhud kemudian berkembang ke dalam konsep-konsep lain yang mengarah pada kesalehan etika. Para ulama mulai mempelajari tentang sosiologi masyarakat dan mencarikan formula tasawuf dengan ajaran-ajaran yang sesuai dengan nilai kemanusiaannya. Akan tetapi dengan tetap tidak memisahkan tasawuf dari tujuan awal yaitu menggapai hubungan yang berkualitas tinggi dengan Tuhan berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Lalu mulailah mereka menyusun maqomat-maqomat dalam tasawuf. (Ghanimy, 1991; 46) Salah satu pendapat mengenai maqomat (jalan yang harus ditempuh seorang yang ingin melakukan suluk atau aktivitas sufistik) ini dikemukakan oleh Abu Nasr al-Sarraj al-Tusy. Dia menyusun sebuah jalan atau fase-fase yang harus dilewati seorang salik dalam aktifitas sufistiknya, dimulai dari taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar, tawakal, lalu puncaknya adalah ridha.
            Sejak abad ini sebutan-sebutan khusus untuk tasawuf mulai bermunculan. Terkadang tasawuf disebut dengan ilmu batin (yang dimaksud dengan ilmu batin di sini adalah ilmu yang memperbaiki keadaan batin seorang hamba dalam segi akhlaq dan tidak ada kaitannya dengan aliran kebatinan dalam Syiah), ilmu hakekat, ilmu waratsah, ilmu diroyah.
            Pada sisi lain kita, pertengahan abad ketiga sampai abad ke empat ini juga menjadi satu awal munculnya madrasah-madrasah tasawuf yang didirikan oleh para ulama’ ahli sufi dengan corak dan cirinya masing-masing. Berawal dari banyaknya murid yang mengkajai dan belajar tasawuf pada masing-masing ulama sampai akhirnya terbentuk madrasah-madrsah yang menjadi tempat bertasawuf mereka. Masing-masing madrasah mempunyai spesialisasi dengan teori dan suluk gurunya. Ada yang terkenal dengan suluk ridhonya, ada yang terkenal dengan mahabbahnya dan lain sebagainya.

F. Landasan Normatif Tasawuf, Sebuah Perdebatan
            Salah satu fenomena yang menarik dalam perjalanan tasawuf Islam adalah terjadinya klaim mengenai keterpengaruhan bahkan sumber dari tasawuf. Pendapat-pendapat ini baru muncul ketika memasuki abad ke tiga dan selanjutnya, hal ini dikarenakan terbentuknya geneologi tasawuf secara ilmiyah dan sistematis baru terbentuk pada abad ke tiga. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Ghilab bahwa perkembangan tasawuf secara umum sebenarnya bisa kita petakan ke dalam dua fase. Fase pertama, fase ‘amaly atau tasawuf praksis. Fase ini dikatakan oleh Dr. Ghilab sebagai fase murni tasawuf Islam dimana tasawuf langsung dapat dilihat secara nyata melalui kehidupan praksis Rosulullah saw dan para sahabatnya. Ini juga berarti bahwa tasawuf Islam menurut Dr. Ghilab murni bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits yang kemudian tercermin dari prilaku nabi. Fase kedua, fase ‘amaly dan nadhory atau tasawuf praksis dan sistematis. Pada fase inilah ulama-ualama tasawuf mulai berkembang pemikirannya dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya saling keterpengaruhan dengan kebudayaan-kebudayaan lainnya.
            Pada perkembangan selanjutnya terjadilah dakwaan-dakwaan yang mengatakan bahwa landasan normatif tasawuf bukan murni dari Islam, akan tetapi berasal dari keterpengaruhan dan bahkan penjiplakan atas kebudayaan dan ajaran lain diluar Islam. Nicholson, Godziher, dan beberapa orientalis lainnya adalah beberapa contoh yang menggugat keabsahan landasan normatif tasawuf Islam.
            Masignon dalam kitab Dairoh al-Ma’arif al-Islamiyah seperti yang dikutip oleh Hilmy Musthofa mengatakan, bahwa ada banyak pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf Islam merupakan barang bawaan yang berasal dari luar Islam. menurut Mark tasawuf Islam berasal dari para pendeta Syam, atau dimungkinkan ia datang dari kebudayaan Yunani modern, dan juga kebudayaan zoroester di Persia. Sedangkan menurut Jones tasawuf Islam secara praksis terjadi keterpengaruhan dari kebudayaan Hindu. Beberapa pendapat itu kemudian banyak yang dikaji oleh para ulama Islam dan sebagian ada yang membenarkan keterpengaruhan tersebut. (Hilmy, 1997; 60)
            Diantara contoh dari pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut; Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf Islam berasal dari kebudayaan Hindu. Pendapat ini berdalih bahwa terdapat kesamaan dalam beberapa ajaran dalam kitab-kitab Hindu dengan tasawuf Islam baik secara praksis maupun secara epistemologis. Sebagai contoh, teori fana’ mereka anggap sama dengan teori nirwana dalam ajaran Hindu, kemudian teori hulul dan ittihad memiliki kemiripan dengan teori reenkarnasi (al-tanasukh).
            Pendapat tersebut dibantah oleh Dr. Muhammad Musthofa Hilmy dalam kitabnya al-Hayat al-Ruhiyat fi al-Islam. Musthofa Hilmy mengatakan bahwa kemiripan yang terjadi antara tasawuf dengan beberapa ajaran dalam kitab Hindu tidak bisa kita katakan sebagai sebuah kemiripan yang mempunyai satu sumber. Keduanya tentu mempunyai dasar dan sumber normatif yang berbeda dan tidak berarti bahwa antara satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kemiripan tersebut menurut Musthofa Hilmy adalah karena kebanyakan ajaran Hindu bertumpu pada etika batin, sama dengan tasawuf yang juga bertumpu pada pengetahuan dan pengalaman yang sifatnya batiny. Faktor kebudayaan dan lingkungan yang melatarbelakangi dan menuntut adanya ajaran-ajaran tersebutlah yang menjadikan keduanya terjadi kemiripan. Menurutnya kemiripan keduanya bukan terjadi atas dasar saling jiplak dan mengambil ajaran masing-masing akan tetapi sebatas faktor pembentuk yang sama dalam kebudayaan masing-masing sehingga akhirnya menimbulkan kesimpulan ajaran yang sama. (Hilmy, 1997; 65)
            Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf Islam berasal dari kebudayaan filsafat Yunani. Pendapat ini berlandaskan pada satu dalil bahwa banyak ulama tasawuf yang sempat mempelajari dan bertemu dengan tokoh-tokoh filsafat Yunani. Tersebarnya filsafat Yunani dan dimulainya penerjemahan kitab-kitab luar pada masa dinasti Abasiyah dianggap sebagai awal dimana para ulama mengambil dan mempelajari filsafat Yunani. Seperti halnya para filsafat Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu SIna mempunyai keterpengaruhan dengan filsafat Aristoteles begitu juga mereka menganggap tasawuf juga memiliki keterpengaruhan dengan filsafat Plato dan madrasahnya. Teori dalam filsafat emanasi (falsafatul Isyroq) mempunyai hakikat yang hampir sama dengan ajaran-ajaran Islam. dari situlah mereka menganggap bahwa pada masa dinasti Abasiyah tersebutlah tasawuf Islam juga terpengaruh dengan filsafat Yunani.
            Dr. Musthofa Hilmy juga mencoba memjawab keraguan ini dengan mengatakan bahwa kemiripan antara tasawuf Islam dengan filsafat emanasi bukan dalam kadar yang besar. Adanya kemiripan antara keduanya hanya terjadi dan dilakukan oleh beberapa ulama yang mempelajari filsafat Isyroq saja. Hal itu cukup meyakinkan bahwa sumber asli antara keduanya tetaplah berbeda, filsafat Yunani berasal murni dari sebuah pemikiran kebudayaan sedangkan tasawuf besumber pada dalil-dalil al-Quran dan al-Hadits melalui perilaku-perilaku para ahli tasawuf.
            Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa sumber dari ajaran-ajaran tasawuf dalam Islam berasal ajaran agama Nasrani. Mereka berlandaskan dalil bahwa kebudayaan yang ada pada masyarakat Arab sebelum Islam adalah kebudayaan jahiliyah dan satu-satunya kebudayaan yang paling dekat dengan Arab ketika itu adalah kebudayaan kaum Nasrani. Masyarakat Arab pun banyak yang sebelumnya menganut agama Nasrani sebelum akhirnya mereka berpindah ke agama Islam seperti Handholah al-Tho’i. Selain keterpengaruhan dari segi ajaran, diantara keduanya juga mempunyai kemiripan dalam segi praksisnya seperti halnya kaum sufi yang diidentikkan dengan pakaiannya yang lusuh dan berasal dari bulu domba. Hal itu mirip dengan pakaian-pakaian para pendeta terdahulu, kemudian juga aktifitas tahannuts atau bertapa. Aktivitas bertapa tersebut juga hampir sama dengan yang dilakukan oleh para pendeta terdahulu.
            Dr. Musthofa Hilmy menolak dengan keras pendapat ini. Beliau mengatakan bahwa teori-teori dan aktivitas sufu dalam Islam jelas tidak dapat dikatakan bersumber dari kaum Nasrani karena dalil-dalil tekstualnya jelas terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Teori seperti zuhud atau asketisme, wara, tahannuts, dan lain sebagainya bisa kita dapatnya justifikasinya dalam ajaran Islam sendiri. Hal itu dikarenakan contoh praksis yang diberikan oleh Rosulullah melalui perilaku kesehariannya jauh lebih detail dan jelas dari pada contoh yang diberikan al-Masih memalui kitabnya maupun para pendetanya. Jadi meskipun ada banyak orang Arab yang sebelumnya memeluk agama Nasrani hal itu tetap tidak dapat menyimpulkan bahwa tasawuf Islam diambil darinya. (Hilmy, 1997; 72)

G. Penutup
            Sebagai penutup, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tasawuf Islam sangat dinamis dan selalu mengalami perkembangan dalam setiap fasenya. Mulai dari tasawuf yang hanya bersifat praksis dan berupa fenomena individualistik saja berubah menjadi tasawuf normatif dan sekaligus praksis dan berubah menjadi fenomena publik. Hal ini dibuktikan dari yang awalnya tasawuf hanya dipraktekan dan dilakukan sebagai sebuah etika personal kemudian sekarang berubah menjadi satu ilmu dengan mdrasah-madrsahnya yang sangat beragam.
            Keterpengaruhan tasawuf dimungkinkan terjadi ketika tasawuf memasuki fase normatif. Akan tetapi tidak sampai merubah dan mengalihkan landasan normatif dari tasawuf tersebut. Hal itu dikarenakan segala sesuatu yang hidup dalam ruang dan waktu tidak akan mungkin bisa dipisahkan dari faktor-faktor eksternal yang ada di sekelilingnya. Sehingga terjadinya keterpengaruhan antara tasawuf dengan kebudayaan dan pemikiran lainnya sangat mungkin terjadi akan tetapi hanya dalam segi tema-tema normatifnya saja tanpa mengubah esesni dasar.       


Daftar Pustaka.

            Al- Ghanimy, Abu Wafa, at- Taftazany, Madkhal ila al-Tasawuf al-Islami, Cairo; Dar al-Tsaqofah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1991 
            Badir’un, Faisol, al-Tasawuf al-Islamy al-Toriq wa al-Rijal. Cairo; Dar al-Ma’arif, 1998
            Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulum al-Din, Cairo; Dar al-Nashr al-Nil, 1990
            Hijazi, Sami ‘Afifi, Dirosat fi al-Tasawuf wa al-Akhlak, Cairo; Penerbit al-Azhar, 1998
            Hilmy, Muhammad Musthofa, al-Hayat al-Ruhaniyah fi al-Islam, Cairo; Dar al-Ma’arif, 1997
            Hilal, Ibrahim, al-Tasawuf al-Islami baina al-Din wa al-Falsafah, Cairo; Dar al-Nahdhoh al-Arabbiyah, 1996
            Kholdun, Abdurrahman bin Muhammad, Mukaddimah ibn Kholdun, Cairo; Dar al-Tsaqofah, 2000

0 comments:

Posting Komentar

 
;