A. Pendahuluan
Tasawuf merupakan salah satu dari ilmu
Islam yang paling menarik untuk dipelajari. Hal ini dikarenakan tasawuf
berbicara tentang hal-hal yang bersifat etik sehingga keberadaannya selalu
dibutuhkan oleh perkembangan zaman dan tidak akan pernah menjadi usang.
Terlebih
masyarakat modern saat ini dianggap sebagai masyarakat yang pada akhirnya akan
kembali pada satu pencarian nilai etika yang murni. menurut Deliar Noer salah
satu ciri dari masyarakat modern adalah terjadinya kepribadian yang terpecah atau split
personality. Kehidupan yang kering akibat terlalu disibukan dengan hal-hal yang
bersifat eksak dan materialistis menyebabkan masyarakat modern akhirnya
kehilangan pegangan dalam hal spiritualitasnya. Sehingga ketika beban masalah
menghinggapi mereka, hati dan perasaan mereka tidak dapat terpuaskan dengan
hal-hal yang sifatnya duniawi tersebut.
Akhirnya
tasawuf kembali dilirik sebagai sebuah alternatif etik dalam sosiologi
masyarakat. Dalam Islam tasawuf mengalami perjalanan dan perkembangan yang
sangat rumit dan menegangkan. Ada banyak hal yang menyertai perjalanan tasawuf
sebagai sebuah fenomena komunikasi kualitatif dengan Tuhannya juga peran
langsungnya dalam kebudayaan masyarakat terdahulu.
B. Tasawuf dalam Tinjauan Etimologis
Terdapat perbedaan yang sangat mendasar
yang terjadi diantara kalangan para pengkaji tasawuf sehubungan dengan asal
usul kata sufi, apakah merupakan sebuah kata baku (jamid) ataukah
merupakan kata jadian (musytaq). Kemudian kalaulah merupakan kata
jadian, kira-kira berasal dari kata apa? Permasalahan ini mungkin menarik untuk
dikaji karena persoalannya tidak hanya berhenti sampai disini saja, akan tetapi
terus berkembang pada permasalahan lain yang erat kaitannya dengan dengan
pembahasan seputar “orisinalitas tasawuf Islam”. hal ini dikarenakan setiap
penisbatan kata sufi kepada kata asalnya akan melahirkan teori dan kesimpulan
tentang “sumber-sumber dasar tasawuf yang ada dalam tradisi Islam”. mungkin
faktor inilah yang menjadikan para sejarawan Islam terdahulu sangat
berhati-hati ketika memasuki pembahasan ini. (Hijazi, 1998; 13)
Dalam
uraian ini akan mencoba memaparkan pendapat para pengkaji mengenai asal-usul
kata sufi beserta konsekuwensi-konsekuwensi teoritis yang akan terjadi.
Harun
Nasution seperti yang dikutip dalam buku panduan akidah akhlak Depag menyebutkan
lima istilah kata yang berkenaan dengan tasawuf dan asal kata sufi tersebut,
diantaranya : (Kamal, dkk, 2008; 23)
1.
Shafa yang berarti suci. Disebut shafa atau suci
karena kesucian batin kaum sufi dan kebersihan tindakan dan keihlasannya.
2.
Shaff yang berarti barisan. Karena kaum sufi
diidentikan dengan orang yang mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih,
ikhlas dan senantiasa memilih barisan yang paling depan dalam shalat berjamaah.
3.
Theosophi (sufiya) yang berasal dari kata yunani
yaitu theo yang berarti Tuhan dan Shopos yang berarti hikmah.
4.
Shuffah yang berarti serambi tempat duduk. Yaitu
serambi masjid nabawi di Madinah yang disediakan untuk orang-orang yang belum
mempunyai tempat tinggal dari kalangan Muhajirin di masa Rasulullah saw. Mereka biasa dipanggil ahli
shuffah (pemilik serambi) karena di serambi itulah mereka bernaung.
5.
Shuff atau bulu domba. Hal ini disebabkan kaum
sufi biasa menggunakan pakaian dari bulu domba yang kasar, sebagai lambang dari
kerendahan hati mereka, juga untuk menghindari sikap sombong di
hatinyadisamping untuk menenangkan jiwa serta meninggalkan usaha-usaha yang
bersifat duniawi.
Diantara
pendapat-pendapat diatas yang menarik untuk kita kaji lebih lanjut adalah
pendapat yang terakhir yang mengatakan bahwa asal kata sufi berasal dari kata
Shuf yang berarti potongan bulu domba. Karena pendapat ini melahirkan teori
yang berkaitan dengan keabsahan tasawuf dalam tradisi Islam.
Pendapat
ini sebetulnya didukung oleh banyak kalangan baik dari kalangan ilmuwan-ilmuwan
Islam maupun dari kalangan para
Orientalis meskipun mereka menggunakan logika yang berbeda ketika
memberikan jawaban dari sebuah pertanyaan “mengapa kaum sufi pada umumnya
menggunakan baju yang terbuat dari potongan bulu domba?”. Sebagai contoh Ibnu
Kholdun melihat kaum sufi berbuat demikian karena ingin membedakan cara
berpakaian mereka dari golongan-golongan agamawan lainnya yang pada umumnya
mengenakan pakaian-pakaian yang mewah. Berbeda dengan Ibnu Kholdun, Teodore
Noldeke mempunyai pendapat yang lebih jauh lagi. Menurut dia, kaum sufi pada
awal kemunculannya memilih shuf atau potongan bulu domba sebagai pakaian karena
ingin meniru para pendeta Kristen yang ada di sekeliling mereka dan tersebar di
negeri-negeri Islam pada waktu itu. Pendapat Noldeke ini kemudian banyak
diadopsi dan dikembangkan oleh orientalis-orientalis sesudahnya yang kemudian
melahirkan sebuah teori yang menggugat orisinalitas tasawuf Islam. adanya
bentuk kesamaan dalam segi berpakaian mengindikasikan bahwa asketisme (zuhud)
dalam Islam muncul atas pengaruh Kristen yang dibawa melalui pendeta-pendeta
yang tersebar di negeri-negeri Islam dan bukan murni lahir dari ajaran-ajaran
Islam. (Hijazi, 1998; 45)
Kalau
kita perhatikan kesimpulan diatas sebetulnya terjadi semacam lompatan logika
yang kurang disadari. Lompatan logika ini menjadi jelas ketika menyedari bahwa
sebetulnya kata tasawuf dan sufi sebagai sebuah istilah baru muncul sekitar
abad ke tiga. Sedangkan gerakan asketisme dalam Islam sudah ada dari semenjak
Islam lahir atau bahkan sebelumnya. Namun sejauh itu belum pernah digunakan
istilah tasawuf atau sufi sebagai nama dan julukan bagi gerakan asketisme ini
beserta para penganutnya sebelum abad ke tiga. Sebelumnya mereka lebih terkenal
dengan istilah seperti: al-hunafa (yang bersih), al-zuhhad (yang
berzuhud), al-tawwabun (yang bertaubat), al-bakkun (yang
menangis).
Seperti
halnya pendapat yang mengatakan bahwa asal kata sufi berasal dari bahasa yunani
theosophi atau dalam bahasa arabnya “sufiya”. Theosophi yang berarti
ilmu hikmah kemudian memberikan satu indikasi bahwa tasawuf Islam bermula dari
pengalaman-pengalaman para ahli hikmah kaum Yunani kuno yang terkenal dengan
filsafatnya. Akan tetapi hal inipun kemudian terbantahkan dengan alasan bahwa
eksodus ilmu-ilmu filsafat Yunani baru dimulai dari dinasti Abasiyah yang saat
itu sangat gemar menerjemahkan dan mempelajari buku-buku dari
kebudayaan-kebudayaan negeri lain. Sedangkan fenomena tasawuf sudah muncul
dalam Islam jauh hari sebelum masa dinasti Abasiyah.
C. Tasawuf dalam Tinjauan terminologis
Ada
kesulitan yang sangat mendalam dikalangan para pengkaji tasawufbahkan diantara
para ahli tasawuf itu sendiri, ketika mereka mencoba mendefinisikan tasawuf
dengan definisi yang mampu menggambarkan secara utuh dan menyeluruh mencakup
esensi dari tasawuf itu sendiri atau yang dikenal dalam istilah mantiqnya “al-Ta’rif
al-Jami’ wa al-Mani’”. Hal ini menjadi maklum ketika kita menyadari bahwa
tasawuf sangat erat kaitannya dengan keadaan-keadaan inderawi yang dihasilkan
melalui pengalaman spiritual yang selalu mengalami perkembangan dari masa ke
masa baik itu bersifat temporal maupun indifidual. (Hilmy, 1997; 40) Setiap
perkembangan dari masa ke masa yang terjadi pada setiap masa atau pada setiap
indivisu memiliki definisi-definisi tertentu bergantung dengan pengalamannya
masing-masing yang mereka alami ketika menjalani ritual suluk tersebut. Dari
isni maka tidak heran ketika definisi-definisi yang digunakan untuk mencoba
menggambarkan pengalaman spiritula itu mencapai hitungan yang sangat banyak.
Beberapa
definisi yang berkembang dan sering dijadikan acuan seperti definisi dari al-Junaid
al-Baghdadi bapak tasawuf moderat. Ia mendefinisikan tasawuf sebagai
keberadaan bersama Allah swt tanpa adanya penghubung. Baginya tasawuf berarti
membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariyah,
menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat kerohaniaan, berpegang pada
ilmu kebenaran, memberi nasihat pada umat, benar-benar menepati janji kepada
Allah swt dan mengikuti syariat Rasulullah saw.
Berbeda
dengan pengertian al-Junaid, seorang tokoh sufi Abu Yazid al-Bustami pencetus
teori fana’, baqo’, dan ittihad dalam tasawuf mengemukakan bahwa tasawuf dapat
disimpulkan melalui tiga aspek, yaitu kha’, ha’, dan jim. Kha’ maksudnya
takhalli berarti mengosongkan diri dari perangai yang tercela; ha maksudnya
adalah tahalli berarti menghiasi diri dengan akhlaq terpuji; dan jim maksudnya
tajalli berarti mengalami kenyataan ketuhanan.
Sementara
seorang ulama terkenal Ibnu Qoyyim al-Jauziyah menyimpulkan tasawuf ke dalam
satu definisi yang sangat simpel yaitu ilmu etika. Segala sesuatu yang mengatur
dan mengarahkan seseorang ke dalam satu etika yang baik maka ia termasuk ke
dalam tasawuf. (Ghanimy, 1991; 26)
Tasawuf
sebagai sebuah ilmu menurut Muhammad Amin al-Kurdy adalah suatu ilmu yang
dengannya dapat diketahui hal-hal yang terkait dengan kebaikan dan keburukan
jiwa, cara membersihkannya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan
suluk, melangkah meuju keridloan yang diperintahkan-Nya. Orang sufi menurut
al-Kurdy yaitu orang yang hatinya jernih, terhindar dari kehidupan buruk, dan
senantiasa terisi oleh nur ilahi sehingga kemurnian hatinya bagaikan emas.
Dari
urian di atas, ada kesimpulan umum yang menggambarkan bahwa tasawuf sangatlah
mempunyai nilai subjektifitas yang tinggi, karena tasawuf adalah sebuah pengalaman
spiritual yang selalu mengalami perkembangan. Tentunya sebuah pengalaman
sangatlah subjektif. Apa yang dialami oleh seseorang mungkin berbeda dengan apa
yang dialami oleh orang lain atau bahkan orang yang tidak mengalaminya. Ketika
hal-hal yang memliki nilai subjektifitas ini berusaha untuk diungkapkan, maka
ungkapan yang lahir akan memiliki keragaman sesuai dengan pengalamannya
masing-masing. Dengan demikian sangatlah masuk akal ketika tidak ditemukan satu
definisi yang mampu merangkul semua unsur-unsur tasawuf.sementara ini
definisi-definis yang ada hanya sebuah pengalaman-pengalaman terhadap sisi-sisi
tertentu dari unsur-unsur tasawuf yang berlandaskan pengalaman-pengalaman
subjektif.
D. Geneologi Tasawuf pada Abad Pertama dan
Kedua
Berbicara mengenai awal mula kemunculan
tasawuf dalam dunia Islam maka akan sangat relevan mengawalinya dengan ungkapan
dari Abu Hasan al-Busyanji “al-tasawwuf al-yaum ismun bila haqiqotin, wa qod
kana min qoblu haqiqotan bila ismin” yang artinya, tasawuf saat ini hanya tinggal
sebuah nama tanpa adanya hakikat yang jelas, sedangkan dahulu kala tasawuf
hanya merupakan sebuah hakikat tanpa adanya nama. (Ghanimy, 1991; 34)
Dalam
Islam tasawuf praksis sudah dimulai sejak diangkatnya Muhammad saw menjadi
seorang nabi bahkan jauh sebelum itu. Aktifitas-aktivitas Muhammad dalam
kehidupan kesehariaannya kemudian menjadi salah satu contoh dan gambaran
mengenai kehidupan bertasawuf. Salah satu sikap tasawuf yang kental dalam diri
Muhammad kala itu adalah sikap asketisme atau zuhud yang kemudian mengawali
berbagai macam aktivitas-aktivitas tasawuf lainnya.
Dalam
salah satu tulisannya Goldziher berpendapat, bahwa ada dua hal yang menjadi
ciri has dari tasawuf Islam: pertama, sikap zuhud atau asketisme, konsep
ini lebih mendekati aliran ahlu sunnah walaupun ada pengaruh terhadap batasan
yang besar dari kalangan pendeta Kristen. Kedua, tasawuf dengan
pemahaman yang mendalam dan terhadap sesuatu dari ucapan dalam kema’rifatan,
tingkah laku, keberadaan, perasaan, ini dipengaruhi oleh kalangan Neo
Platonisme dan dari sisi lain oleh kalangan Hindu dan Budha.
Berbeda
dengan pendapat dari Goldziher, menurut DR. Sami ‘Afifi Hijazy kemunculan
tasawuf dalam Islam memang tidak serta merta berawal dari sebuah kesadaran yang
tersistematik dengan jelas, akan tetapi kemunculannya berikatan dan beriringan
dengan perkembangan Islam dari waktu ke waktu. Sedangkan pola kehidupan tasawuf
sudah dimulai sejak awal Islam dengan tokoh sentral yang menjadi sumber
sekaligus contoh hidup yaitu nabi Muhammad saw. (Hijazi, 1998; 32)
Zuhud
atau asketisme kemudian menjadi simbol dari perkembangan awal tasawuf pada abad
pertama dan kedua hijriyah. Sikap asketisme ini juga menjadi geneologi awal
yang dilakukan serentak oleh kalangan sahabat pada masa itu sebagai sebuah
perlawanan atas dominasi kehidupan duniawi yang semakin menjauhkan manusia dari
agama. Islam memahami zuhud bukanlah harus menjadi seorang pendeta yang
memutuskan hubungan dengan dunia sama sekali, akan tetapi pemahaman zuhud
adalah sesuai dengan nilai humanis yang terdapat dalam konsep kehidupan di
dunia, berinteraksi terhadapnya. Akan tetapi tidak menjadikannya sebuah tujuan
dalam hati dan tidak mengalihkan tujuannya dari ketaatan kepada Allah saw.
Dengan
demikian, Islam tidak memberikan syarat seorang zuhud haruslah fakir juga tidak
melarang untuk menjadi zuhud dan kaya. Kita bisa melihat Utsman bin ‘Affan
saudagar kaya yang hidupnya disifati dengan zuhud atas kepemilikannya, dia
membeli sumur-sumur minuman keras dari Yahudi kemudian menyediakan sepuluh
tentara tapi dia melarang umat Islam untuk meminumnya. Jadi zuhud dalam Islam
merupakan metode kehidupan yang mengurangi kesenangan dunia, merubah manjadi
lebih baik dan membebaskan manusia dari hawa nafsu atas semata-mata
keinginannya serta menurut kemampuanya pada waktu tertentu terhadap hawa nafsu yang
dianggap benar.
Prof.
Dr. Abu ‘Ala Afifi berpendapat, bahwasanya ada empat unsur yang mempengaruhi
perkembangan zuhud dan asketisme dalam Islam: Pertama, doktrin islam
sendiri, karena Islam memerintahkan sifat wara’, taqwa, meninggalkan dunia dan
kesenangannya, merendahkan keadaan dunia, mengagungkan akhirat, mengajak kepada
ibadah, tahajud dan puasa. Kedua, pengaruh jiwa manusia yang berbeda
akan aturan sosial dan politik yang berlaku. Permasalahan polotik mengenai
kepemimpinan Islam pada akhir masa Utsman bin Affan tidak hanya mempengaruhi
kehidupan politik saja. Konflik yang memuncak pada masa kekholifahan Ali bin
Abi Thalib pada akhirnya menimbulkan terjadinya kehilangan kepercayaan publik
pada masa-masa berikutnya. Munculnya aliran-aliran baru seperti Syiah,
Mu’tazilah, Murji’ah dan lain sebagainya kemudian menyebabkan banyak masyarakat
memilih jalan zuhud dan menyepi dari dingar bingar kehidupan dunia. Ketiga,
pendeta-pendeta kalangan Kristen. Dalam pendapatnya dia mengatakan bahwa
kawasan Arab terpengaruh pendeta-pendeta Kristen sebelum datangnya Islam dan
kemudian berpengaruh pada sikap asketisme di kalangan umat Islam. keempat,
pengaruh perbedaan ilmu fikih dan ilmu kalam. Ilmu fikih yang saat itu sangat
berkembang dan menguasai sebagian besar khsanah ilmu Islam kemudian terasa
sangat kering karena hanya berlandaskan melalui metodologi-metodologi yang
demonstratif saja, akan tetapi kemunculan kaum asketis kemudian mencuri
perhatian karena mereka menawarkan satu kehidupan baru yang bercorak esoterik
dan batiny. (Afifi, 1999; 26)
Pada
abad ini belum ditemukan bukti yang menunjukkan tasawuf sebagai sebuah disiplin
ilmu yang terkodifikasikan dengan rapi dan sistematis. Tasawuf masih sebatas
sebuah aktifitas praksis yang belum memiliki penamaan dan sistematika yang
jelas. Baru pada awal abad kedua tasawuf mulai tersistematika dan orang-orang
yang melakukan aktifitas asketisme tersebut mulai disebut dengan istilah ahli
sufi.
Pada
masa ini selain dikatakan sebagai masa awal pembentukan geneologi tasawuf juga
merupakan masa keemasan atau masa terbaik dimana banyak ahli-ahli zuhud yang
pada akhirnya mengilhami tokoh-tokoh berikutnya dalam tasawuf. Seperti yang
juga disampaikan oleh nabi Muhammad saw : “khoirul quruni qorni tsumma
al-ladzina yalunahum, tsumma al-ladzina yalunahum” periode terbaik dalam
hal agama adalah pada masaku, kemudian masa orang-orang setelahku, kemudian
masa orang-orang setelahnya.
E. Kristalisasi Tasawuf pada Abad ke Tiga
Sangat sulit memang mencari pemisah zaman
antara aktivitas zuhud atau asketisme dengan ilmu tasawuf salam dunia Islam.
hal itu dikarenakan perkembangan pemikiran secara karakteristiknya tidak dapat
dibatasi oleh ketatnya perkembangan waktu. Akan tetapi dalam perubahan
pandangan yang nampak dalam penamaan aktivitas zuhud mendekati abad ketiga
hijriyah. Tidak ada perkataan zuhud lagi pada abad ini, namun yang dikenal
adalah tasawuf.
Pada
abad ketiga ini, awal mula tahap kodifikasi tasawuf sebagai sebuah disiplin
ilmu. Para pendahulu yang mengkodifikasikan ilmu ini diantaranya: al-Muhasibi
(w. 234 H), al-Kharaj (w. 277 H), al-Hakim al-Turmudzi (w. 285 H), al-Junaidi
(w. 297 H), mereka adalah para sufi abad ketiga Hijriyah. (Badir’un, 1998; 45)
Aktivitas
pengkodofikasian ilmu-ilmu syariat berpengaruh langsung pada pengkodifikasian
ilmu tasawuf. Seperti halnya yang diungkapkan Ibnu Kholdun dalamkaryanya:
“tatkala ilmu-ilmu ditulis dan dikodofikasikan, disaat inilah para fuqoha
menghasilkan karya-karya dalam bidang ilmu fiqih, usul fiqih, ilmu kalam, ilmu
tafsir, dan ilmu-ilmu yang lainnya. Begitu juga tokoh-tokoh dalam bidang
tasawuf menuliskan sesuai dengan masing-masing bagiannya. Diantaranya ada yang
menuliskan kitab tentang wara’, pengintrospeksian diri atas apa yang
harus dipertahankan dan yang ditingggalkan seperti yang dilakukan oleh Imam
al-Qusyairi ketika menulis sebuah risalah yang berisi tentang
pelajaran-pelajaran sabar, taubat, dan khouf, atau Imam Syuhrowardi yang
menulis kitab tasawufnya “’Awarif al-Ma’arif” ......kemudian jadilah
tasawuf sebagai sebuah disiplin ilmu yang terkodifikasikan setelah sebelumnya
hanya sebagai tata cara ibadah saja. (kholdun, 2000; 56)
Senada
dengan pendapat Ibnu Kholdun, Nicholson juga mengatakan bahwa tasawuf pada abad
ketiga dan keempat telah bermetamorfosis dari satu fenomena asketis yang
individualis menjadi satu fenomena ilmu pengetahuan yang terstruktur secara
ilmiyah maupun secara praksis. (Afifi, 1999; 76)
Menurut
Abu al-Wafa al-Ghonimi fenomena metamorfosa ini dibuktikan dengan mulai
berevolusinya konsep zuhud kemudian berkembang ke dalam konsep-konsep lain yang
mengarah pada kesalehan etika. Para ulama mulai mempelajari tentang sosiologi
masyarakat dan mencarikan formula tasawuf dengan ajaran-ajaran yang sesuai dengan
nilai kemanusiaannya. Akan tetapi dengan tetap tidak memisahkan tasawuf dari
tujuan awal yaitu menggapai hubungan yang berkualitas tinggi dengan Tuhan
berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits. Lalu mulailah mereka menyusun
maqomat-maqomat dalam tasawuf. (Ghanimy, 1991; 46) Salah satu pendapat mengenai
maqomat (jalan yang harus ditempuh seorang yang ingin melakukan suluk atau
aktivitas sufistik) ini dikemukakan oleh Abu Nasr al-Sarraj al-Tusy. Dia
menyusun sebuah jalan atau fase-fase yang harus dilewati seorang salik dalam
aktifitas sufistiknya, dimulai dari taubat, wara’, zuhud, fakir, sabar,
tawakal, lalu puncaknya adalah ridha.
Sejak
abad ini sebutan-sebutan khusus untuk tasawuf mulai bermunculan. Terkadang
tasawuf disebut dengan ilmu batin (yang dimaksud dengan ilmu batin di sini
adalah ilmu yang memperbaiki keadaan batin seorang hamba dalam segi akhlaq dan
tidak ada kaitannya dengan aliran kebatinan dalam Syiah), ilmu hakekat, ilmu
waratsah, ilmu diroyah.
Pada
sisi lain kita, pertengahan abad ketiga sampai abad ke empat ini juga menjadi
satu awal munculnya madrasah-madrasah tasawuf yang didirikan oleh para ulama’
ahli sufi dengan corak dan cirinya masing-masing. Berawal dari banyaknya murid
yang mengkajai dan belajar tasawuf pada masing-masing ulama sampai akhirnya
terbentuk madrasah-madrsah yang menjadi tempat bertasawuf mereka. Masing-masing
madrasah mempunyai spesialisasi dengan teori dan suluk gurunya. Ada yang
terkenal dengan suluk ridhonya, ada yang terkenal dengan mahabbahnya dan lain
sebagainya.
F. Landasan Normatif Tasawuf, Sebuah
Perdebatan
Salah
satu fenomena yang menarik dalam perjalanan tasawuf Islam adalah terjadinya
klaim mengenai keterpengaruhan bahkan sumber dari tasawuf. Pendapat-pendapat
ini baru muncul ketika memasuki abad ke tiga dan selanjutnya, hal ini
dikarenakan terbentuknya geneologi tasawuf secara ilmiyah dan sistematis baru
terbentuk pada abad ke tiga. Seperti yang dikatakan oleh Dr. Ghilab bahwa
perkembangan tasawuf secara umum sebenarnya bisa kita petakan ke dalam dua fase.
Fase pertama, fase ‘amaly atau tasawuf praksis. Fase ini dikatakan oleh
Dr. Ghilab sebagai fase murni tasawuf Islam dimana tasawuf langsung dapat
dilihat secara nyata melalui kehidupan praksis Rosulullah saw dan para
sahabatnya. Ini juga berarti bahwa tasawuf Islam menurut Dr. Ghilab murni
bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits yang kemudian tercermin dari prilaku
nabi. Fase kedua, fase ‘amaly dan nadhory atau tasawuf praksis dan
sistematis. Pada fase inilah ulama-ualama tasawuf mulai berkembang pemikirannya
dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya saling keterpengaruhan dengan
kebudayaan-kebudayaan lainnya.
Pada
perkembangan selanjutnya terjadilah dakwaan-dakwaan yang mengatakan bahwa
landasan normatif tasawuf bukan murni dari Islam, akan tetapi berasal dari
keterpengaruhan dan bahkan penjiplakan atas kebudayaan dan ajaran lain diluar
Islam. Nicholson, Godziher, dan beberapa orientalis lainnya adalah beberapa
contoh yang menggugat keabsahan landasan normatif tasawuf Islam.
Masignon
dalam kitab Dairoh al-Ma’arif al-Islamiyah seperti yang dikutip oleh
Hilmy Musthofa mengatakan, bahwa ada banyak pendapat yang mengatakan bahwa
tasawuf Islam merupakan barang bawaan yang berasal dari luar Islam. menurut
Mark tasawuf Islam berasal dari para pendeta Syam, atau dimungkinkan ia datang
dari kebudayaan Yunani modern, dan juga kebudayaan zoroester di Persia.
Sedangkan menurut Jones tasawuf Islam secara praksis terjadi keterpengaruhan
dari kebudayaan Hindu. Beberapa pendapat itu kemudian banyak yang dikaji oleh
para ulama Islam dan sebagian ada yang membenarkan keterpengaruhan tersebut.
(Hilmy, 1997; 60)
Diantara
contoh dari pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai berikut; Pertama,
pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf Islam berasal dari kebudayaan Hindu.
Pendapat ini berdalih bahwa terdapat kesamaan dalam beberapa ajaran dalam
kitab-kitab Hindu dengan tasawuf Islam baik secara praksis maupun secara
epistemologis. Sebagai contoh, teori fana’ mereka anggap sama dengan teori
nirwana dalam ajaran Hindu, kemudian teori hulul dan ittihad memiliki kemiripan
dengan teori reenkarnasi (al-tanasukh).
Pendapat
tersebut dibantah oleh Dr. Muhammad Musthofa Hilmy dalam kitabnya al-Hayat
al-Ruhiyat fi al-Islam. Musthofa Hilmy mengatakan bahwa kemiripan yang
terjadi antara tasawuf dengan beberapa ajaran dalam kitab Hindu tidak bisa kita
katakan sebagai sebuah kemiripan yang mempunyai satu sumber. Keduanya tentu
mempunyai dasar dan sumber normatif yang berbeda dan tidak berarti bahwa antara
satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya kemiripan tersebut menurut Musthofa Hilmy adalah karena
kebanyakan ajaran Hindu bertumpu pada etika batin, sama dengan tasawuf yang
juga bertumpu pada pengetahuan dan pengalaman yang sifatnya batiny. Faktor kebudayaan
dan lingkungan yang melatarbelakangi dan menuntut adanya ajaran-ajaran
tersebutlah yang menjadikan keduanya terjadi kemiripan. Menurutnya kemiripan
keduanya bukan terjadi atas dasar saling jiplak dan mengambil ajaran
masing-masing akan tetapi sebatas faktor pembentuk yang sama dalam kebudayaan
masing-masing sehingga akhirnya menimbulkan kesimpulan ajaran yang sama.
(Hilmy, 1997; 65)
Kedua,
pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf Islam berasal dari kebudayaan
filsafat Yunani. Pendapat ini berlandaskan pada satu dalil bahwa banyak ulama
tasawuf yang sempat mempelajari dan bertemu dengan tokoh-tokoh filsafat Yunani.
Tersebarnya filsafat Yunani dan dimulainya penerjemahan kitab-kitab luar pada
masa dinasti Abasiyah dianggap sebagai awal dimana para ulama mengambil dan
mempelajari filsafat Yunani. Seperti halnya para filsafat Islam seperti
al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu SIna mempunyai keterpengaruhan dengan filsafat
Aristoteles begitu juga mereka menganggap tasawuf juga memiliki keterpengaruhan
dengan filsafat Plato dan madrasahnya. Teori dalam filsafat emanasi (falsafatul
Isyroq) mempunyai hakikat yang hampir sama dengan ajaran-ajaran Islam. dari
situlah mereka menganggap bahwa pada masa dinasti Abasiyah tersebutlah tasawuf
Islam juga terpengaruh dengan filsafat Yunani.
Dr.
Musthofa Hilmy juga mencoba memjawab keraguan ini dengan mengatakan bahwa
kemiripan antara tasawuf Islam dengan filsafat emanasi bukan dalam kadar yang
besar. Adanya kemiripan antara keduanya hanya terjadi dan dilakukan oleh
beberapa ulama yang mempelajari filsafat Isyroq saja. Hal itu cukup meyakinkan
bahwa sumber asli antara keduanya tetaplah berbeda, filsafat Yunani berasal
murni dari sebuah pemikiran kebudayaan sedangkan tasawuf besumber pada
dalil-dalil al-Quran dan al-Hadits melalui perilaku-perilaku para ahli tasawuf.
Ketiga,
pendapat yang mengatakan bahwa sumber dari ajaran-ajaran tasawuf dalam
Islam berasal ajaran agama Nasrani. Mereka berlandaskan dalil bahwa
kebudayaan yang ada pada masyarakat Arab sebelum Islam adalah kebudayaan
jahiliyah dan satu-satunya kebudayaan yang paling dekat dengan Arab ketika itu
adalah kebudayaan kaum Nasrani. Masyarakat Arab pun banyak yang sebelumnya
menganut agama Nasrani sebelum akhirnya mereka berpindah ke agama Islam seperti
Handholah al-Tho’i. Selain keterpengaruhan dari segi ajaran, diantara
keduanya juga mempunyai kemiripan dalam segi praksisnya seperti halnya kaum
sufi yang diidentikkan dengan pakaiannya yang lusuh dan berasal dari bulu
domba. Hal itu mirip dengan pakaian-pakaian para pendeta terdahulu, kemudian
juga aktifitas tahannuts atau bertapa. Aktivitas bertapa tersebut juga
hampir sama dengan yang dilakukan oleh para pendeta terdahulu.
Dr.
Musthofa Hilmy menolak dengan keras pendapat ini. Beliau mengatakan bahwa
teori-teori dan aktivitas sufu dalam Islam jelas tidak dapat dikatakan
bersumber dari kaum Nasrani karena dalil-dalil tekstualnya jelas terdapat dalam
al-Qur’an dan al-Hadits. Teori seperti zuhud atau asketisme, wara, tahannuts,
dan lain sebagainya bisa kita dapatnya justifikasinya dalam ajaran Islam
sendiri. Hal itu dikarenakan contoh praksis yang diberikan oleh Rosulullah
melalui perilaku kesehariannya jauh lebih detail dan jelas dari pada contoh
yang diberikan al-Masih memalui kitabnya maupun para pendetanya. Jadi meskipun
ada banyak orang Arab yang sebelumnya memeluk agama Nasrani hal itu tetap tidak
dapat menyimpulkan bahwa tasawuf Islam diambil darinya. (Hilmy, 1997; 72)
G. Penutup
Sebagai
penutup, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tasawuf Islam sangat dinamis dan
selalu mengalami perkembangan dalam setiap fasenya. Mulai dari tasawuf yang
hanya bersifat praksis dan berupa fenomena individualistik saja berubah menjadi
tasawuf normatif dan sekaligus praksis dan berubah menjadi fenomena publik. Hal
ini dibuktikan dari yang awalnya tasawuf hanya dipraktekan dan dilakukan
sebagai sebuah etika personal kemudian sekarang berubah menjadi satu ilmu
dengan mdrasah-madrsahnya yang sangat beragam.
Keterpengaruhan
tasawuf dimungkinkan terjadi ketika tasawuf memasuki fase normatif. Akan tetapi
tidak sampai merubah dan mengalihkan landasan normatif dari tasawuf tersebut.
Hal itu dikarenakan segala sesuatu yang hidup dalam ruang dan waktu tidak akan
mungkin bisa dipisahkan dari faktor-faktor eksternal yang ada di sekelilingnya.
Sehingga terjadinya keterpengaruhan antara tasawuf dengan kebudayaan dan
pemikiran lainnya sangat mungkin terjadi akan tetapi hanya dalam segi tema-tema
normatifnya saja tanpa mengubah esesni dasar.
Daftar Pustaka.
Al-
Ghanimy, Abu Wafa, at- Taftazany, Madkhal ila al-Tasawuf al-Islami,
Cairo; Dar al-Tsaqofah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1991
Badir’un,
Faisol, al-Tasawuf al-Islamy al-Toriq wa al-Rijal. Cairo; Dar
al-Ma’arif, 1998
Ghazali,
Abu Hamid, Ihya Ulum al-Din, Cairo; Dar al-Nashr al-Nil, 1990
Hijazi,
Sami ‘Afifi, Dirosat fi al-Tasawuf wa al-Akhlak, Cairo; Penerbit
al-Azhar, 1998
Hilmy,
Muhammad Musthofa, al-Hayat al-Ruhaniyah fi al-Islam, Cairo; Dar
al-Ma’arif, 1997
Hilal,
Ibrahim, al-Tasawuf al-Islami baina al-Din wa al-Falsafah, Cairo; Dar
al-Nahdhoh al-Arabbiyah, 1996
Kholdun,
Abdurrahman bin Muhammad, Mukaddimah ibn Kholdun, Cairo; Dar
al-Tsaqofah, 2000
0 comments:
Posting Komentar