“cita-cita seperti apa lagi yang mau saya cari? Wong cita-cita terbesar
saya sudah ketutukan kok mas, ya ini... bisa memakai sarung dan mulang ngaji
anak-anak kecil begini”.
Begitulah jawaban salah seorang guru saya tentang cita-cita dan masa depan
dalam obrolan sore santai kala itu. Tentu saja ini bukan bandingan dari sebuah
pepatah “gantungkanlah cita-citamu setinggi langit” sehingga kalimat guru saya
itu menjadi mengandung makna bahwa kita harus membatasi cita-cita kita, tidak
perlu tinggi sampai melangit, memakai sarung dan mengajar di desapun cukup.
Bukan itu, akan tetapi makna yang ingin disampaikan oleh guru saya adalah bahwa
harus ada orang-orang yang dengan kebesaran posisi dan ilmunya rela kembali ke
desanya, memberikan intensitas perhatian yang lebih terhadap masa depan dengan
cara yang mungkin berbeda dengan yang lainnya.
Kemudian guru saya menamakan ini sebagai jurus “memotong generasi”. Artinya
adalah bahwa pembentukan masyarakat yang baik (takwin al-mujtama’ al-madani)
terkadang harus dilakukan dengan cara memotong, meninggalkan, membiarkan
generasi tua yang memang sudah kadung susah dibenahi lalu beralih dengan
mempersiapkan, menata, menyelamatkan generasi-generasi yang akan datang dengan
baik.
Saya teringat, suatu ketika ada salah seorang teman dari luar kota yang
berkunjung ke rumah. Selama beberapa hari menginap di rumah saya dia
benar-benar dibuat heran melihat keadaan desa saya yang kebetulan berada di
daerah yang lumayan terpencil dari kota. Aneh rasanya bagi dirinya melihat
masjid yang setiap kali datang waktu jamaah solat selalu dipenuhi dengan
orang-orang yang berduyun-duyun datang. Mulai dari orang-orang tua,
bapak-bapak, ibuk-ibuk sampai anak-anak kecil semuanya berjalan menenteng rukuh
dan sarung mereka menuju masjid. Kata temanku “ini tahun 2013 kok masih ada
orang yang berduyun-duyun jamaah ke mesjid”.
Menjelang sore dan malam hari ba’da maghrib teman saya kembali terheran. Bagaimana
bisa di zaman modern ini masih ada anak-anak kecil yang rame belajar mengaji di
mesjid dan TPQ. Apa mereka tidak tertarik dengan acara televisi?, apa mereka
tidak lebih tertarik dengan mainan mereka?.
Mungkin terkesan sedikit berlebihan, tapi bagi teman saya fakta empiris dan
fenomena yang dia lihat itu tentu sangat beralasan. Gempuran modernisasi dan
globalisasi di berbagai lini kehidupan tentu sudah banyak menyeret dan
menenggelamkan kehidupan islami di banyak daerah. Disadari ataupun tidak,
diakui ataupun tidak, kita bisa melihat fakta itu dengan sangat mudah hari ini.
Terlebih untuk ukuran daerah yang dekat dengan perkotaan, dimana akses
informasi dan tekhnologi begitu mudah didapatkan. Tipologi masyarakat perkotaan
yang biasanya tersibukkan dengan urusan personal masing-masing terkadang
menyebabkan mereka melalaikan budaya tradisional mereka sendiri. Semua orang
sibuk dengan urusan diri sendiri, mencari uang, membangun rumah, menguatkan
posisi, dan lain sebagainya sehingga ikatan dan ukhuwah dalam masyarakat
sedikit demi sedikit menjadi berkurang dan hilang. Tentu tidak semua daerah
perkotaan terjadi fenomena seperti itu, akan tetapi secara normal kebanyakan
faktor-faktor tersebut akan sangat mempengaruhi.
Maka dalam hal ini saya termasuk orang yang sangat beruntung dan bahagia
karena hidup dalam suasana yang masih sangat sejuk dan tenteram. Terlebih
ketika berbicara mengenai suasana keislaman dalam masyarakat. Bukan berarti di
desa saya tidak terjadi fenomena dekadensi sebagai pengaruh dari modernisasi
dan globalisasi seperti di atas. Akan tetapi bahwa budaya modern yang datang
bertubi-tubi itu masih bisa diimbangi dengan aktivitas dan suasana keislaman
yang masih lumayan kental.
Menyoal “memotong generasi”, beberapa hari yang lalu di kampung saya diadakan
khataman, wisuda dan pentas seni Taman Pendidikan al-Qur’an atau yang sering
kita sebut dengan TPQ. Kebetulan di setiap kampung di desa saya terdapat satu
TPQ yang didirikan oleh beberapa masyayikh.
15 tahun yang lalu, saya juga adalah anak kecil yang menjadi murid di TPQ
tersebut. Saya masih sangat ingat dulu pertama kali dikenalkan dan diajarkan
tentang huruf hijaiyah sampai sekarang saya bisa membaca al-Qur’an. Saya juga
masih ingat dulu saya diajarkan berbagai macam doa-doa harian, menghapal
surat-surat penting dalam al-Qur’an bahkan diajarkan nyanyian-nyanyian islami
lainnya.
Melihat keadaan zaman sekarang ini, tentu hal-hal seperti itu sangat
penting sebagai pondasi, dasar, dan pedoman anak-anak kecil ketika dewasa
nanti. Tidak aneh bukan jika anak-anak kecil sekarang lebih hapal nyanyian
dewasa yang jorok daripada bacaan doa-doa dan surat-surat penting di dalam
al-Qur’an. Tidak aneh pula jika anak-anak kecil sekarang lebih pandai
memikirkan soal percintaan karena lebih sering menonton sinetron-sinetron
dewasa daripada memikirkan kegiatan positif yang lain. Di sinilah jurus
“memotong generasi” ini harus kita gunakan melalui berbagai cara seperti dalam
TPQ tersebut.
Bayangkan betapa terharunya orang tua ketika melihat anak kecilnya yang
baru berumur 6-10 tahunan bisa menghapal berbagai macam surat dalam al-Qur’an.
Bisa membaca al-Quran dengan baik bahkan faham lengkap dengan tajwid dan bacaan
ghoribnya. Tidak jarang saya melihat bapak dan ibu mereka menangis terharu,
bahkan saking syukurnya mereka mensodaqohkan banyak hal untuk anaknya yang bisa
membaca al-Quran.
Bukan hanya itu, tapi dibalik kebanggaan dan syukur yang bisa kita temukan
dari raut wajah orang tua mereka kita juga bisa melihat betapa lugu dan
menyenangkannya dunia anak-anak. Mereka sangat menikmati dunia mereka dipenuhi
dengan bermain, bernyanyi, menghafal dan lain sebagainya.
0 comments:
Posting Komentar