Jumat, 05 Juli 2013

Jurus Memotong Generasi


“cita-cita seperti apa lagi yang mau saya cari? Wong cita-cita terbesar saya sudah ketutukan kok mas, ya ini... bisa memakai sarung dan mulang ngaji anak-anak kecil begini”.

Begitulah jawaban salah seorang guru saya tentang cita-cita dan masa depan dalam obrolan sore santai kala itu. Tentu saja ini bukan bandingan dari sebuah pepatah “gantungkanlah cita-citamu setinggi langit” sehingga kalimat guru saya itu menjadi mengandung makna bahwa kita harus membatasi cita-cita kita, tidak perlu tinggi sampai melangit, memakai sarung dan mengajar di desapun cukup. Bukan itu, akan tetapi makna yang ingin disampaikan oleh guru saya adalah bahwa harus ada orang-orang yang dengan kebesaran posisi dan ilmunya rela kembali ke desanya, memberikan intensitas perhatian yang lebih terhadap masa depan dengan cara yang mungkin berbeda dengan yang lainnya.

Kemudian guru saya menamakan ini sebagai jurus “memotong generasi”. Artinya adalah bahwa pembentukan masyarakat yang baik (takwin al-mujtama’ al-madani) terkadang harus dilakukan dengan cara memotong, meninggalkan, membiarkan generasi tua yang memang sudah kadung susah dibenahi lalu beralih dengan mempersiapkan, menata, menyelamatkan generasi-generasi yang akan datang dengan baik.

Saya teringat, suatu ketika ada salah seorang teman dari luar kota yang berkunjung ke rumah. Selama beberapa hari menginap di rumah saya dia benar-benar dibuat heran melihat keadaan desa saya yang kebetulan berada di daerah yang lumayan terpencil dari kota. Aneh rasanya bagi dirinya melihat masjid yang setiap kali datang waktu jamaah solat selalu dipenuhi dengan orang-orang yang berduyun-duyun datang. Mulai dari orang-orang tua, bapak-bapak, ibuk-ibuk sampai anak-anak kecil semuanya berjalan menenteng rukuh dan sarung mereka menuju masjid. Kata temanku “ini tahun 2013 kok masih ada orang yang berduyun-duyun jamaah ke mesjid”.

Menjelang sore dan malam hari ba’da maghrib teman saya kembali terheran. Bagaimana bisa di zaman modern ini masih ada anak-anak kecil yang rame belajar mengaji di mesjid dan TPQ. Apa mereka tidak tertarik dengan acara televisi?, apa mereka tidak lebih tertarik dengan mainan mereka?.

Mungkin terkesan sedikit berlebihan, tapi bagi teman saya fakta empiris dan fenomena yang dia lihat itu tentu sangat beralasan. Gempuran modernisasi dan globalisasi di berbagai lini kehidupan tentu sudah banyak menyeret dan menenggelamkan kehidupan islami di banyak daerah. Disadari ataupun tidak, diakui ataupun tidak, kita bisa melihat fakta itu dengan sangat mudah hari ini. Terlebih untuk ukuran daerah yang dekat dengan perkotaan, dimana akses informasi dan tekhnologi begitu mudah didapatkan. Tipologi masyarakat perkotaan yang biasanya tersibukkan dengan urusan personal masing-masing terkadang menyebabkan mereka melalaikan budaya tradisional mereka sendiri. Semua orang sibuk dengan urusan diri sendiri, mencari uang, membangun rumah, menguatkan posisi, dan lain sebagainya sehingga ikatan dan ukhuwah dalam masyarakat sedikit demi sedikit menjadi berkurang dan hilang. Tentu tidak semua daerah perkotaan terjadi fenomena seperti itu, akan tetapi secara normal kebanyakan faktor-faktor tersebut akan sangat mempengaruhi.

Maka dalam hal ini saya termasuk orang yang sangat beruntung dan bahagia karena hidup dalam suasana yang masih sangat sejuk dan tenteram. Terlebih ketika berbicara mengenai suasana keislaman dalam masyarakat. Bukan berarti di desa saya tidak terjadi fenomena dekadensi sebagai pengaruh dari modernisasi dan globalisasi seperti di atas. Akan tetapi bahwa budaya modern yang datang bertubi-tubi itu masih bisa diimbangi dengan aktivitas dan suasana keislaman yang masih lumayan kental.

Menyoal “memotong generasi”, beberapa hari yang lalu di kampung saya diadakan khataman, wisuda dan pentas seni Taman Pendidikan al-Qur’an atau yang sering kita sebut dengan TPQ. Kebetulan di setiap kampung di desa saya terdapat satu TPQ yang didirikan oleh beberapa masyayikh.   

15 tahun yang lalu, saya juga adalah anak kecil yang menjadi murid di TPQ tersebut. Saya masih sangat ingat dulu pertama kali dikenalkan dan diajarkan tentang huruf hijaiyah sampai sekarang saya bisa membaca al-Qur’an. Saya juga masih ingat dulu saya diajarkan berbagai macam doa-doa harian, menghapal surat-surat penting dalam al-Qur’an bahkan diajarkan nyanyian-nyanyian islami lainnya.

Melihat keadaan zaman sekarang ini, tentu hal-hal seperti itu sangat penting sebagai pondasi, dasar, dan pedoman anak-anak kecil ketika dewasa nanti. Tidak aneh bukan jika anak-anak kecil sekarang lebih hapal nyanyian dewasa yang jorok daripada bacaan doa-doa dan surat-surat penting di dalam al-Qur’an. Tidak aneh pula jika anak-anak kecil sekarang lebih pandai memikirkan soal percintaan karena lebih sering menonton sinetron-sinetron dewasa daripada memikirkan kegiatan positif yang lain. Di sinilah jurus “memotong generasi” ini harus kita gunakan melalui berbagai cara seperti dalam TPQ tersebut.

Bayangkan betapa terharunya orang tua ketika melihat anak kecilnya yang baru berumur 6-10 tahunan bisa menghapal berbagai macam surat dalam al-Qur’an. Bisa membaca al-Quran dengan baik bahkan faham lengkap dengan tajwid dan bacaan ghoribnya. Tidak jarang saya melihat bapak dan ibu mereka menangis terharu, bahkan saking syukurnya mereka mensodaqohkan banyak hal untuk anaknya yang bisa membaca al-Quran.

Bukan hanya itu, tapi dibalik kebanggaan dan syukur yang bisa kita temukan dari raut wajah orang tua mereka kita juga bisa melihat betapa lugu dan menyenangkannya dunia anak-anak. Mereka sangat menikmati dunia mereka dipenuhi dengan bermain, bernyanyi, menghafal dan lain sebagainya.


Saya kira jurus “memotong generasi” ini layak untuk dipertimbangkan alih-alih sebagai obat penentram hati ketika di banyak hal kita melihat generasi pemuda dan tua yang sudah kadung terdekadensi oleh globalisasi. Baiklah, kita “ayem”kan hati kita sejenak dan tak perlu terlalu resah ketika mendapati banyak hal buruk di sekeliling kita. Mari kita potong, kita sudahi, kita “cut”, kita tinggalkan saja mereka. Kemudian kita konsentrasikan tenaga dan fikiran kita, kita fokuskan perhatian kita pada anak-anak kecil yang masih polos. Anak-anak kecil yang masih kosong itulah sebenarnya yang bisa kita harapkan untuk memulihkan kondisi zaman. Kalau saja kita tak kuasa membenahi generasi sekarang yang sudah kadung tua dan keras, apa jadinya kalau kita juga tak mempersiapkan generasi muda dan kecil ini.

0 comments:

Posting Komentar

 
;