Selasa, 18 Juni 2013

Superioritas Tuhan atau Manusia [?]



Beberapa hari yang lalu selepas diskusi singkat tentang ilmu kalam di satu kelas, tiba-tiba ada beberapa orang yang mulai mengernyitkan kening. Dalam hal ini “galau” adalah ketika kita sedang asyik masyuq membicarakan sesuatu tapi terpaksa harus disudahi karena tak ada waktu lagi. Waktunya sudah habis, sudah terlalu sore, kasihan anak-anak juga suami atau istri di rumah. Akhirnya beberapa orang pulang dengan membawa oleh-oleh kegalauan berupa pertanyaan-pertanyaan yang sliwar-sliwer di pikiran. 

Esok harinya, mungkin karena tak sabar dan kelewat gemas, ada salah seorang menulis dalam group “tentang Qodar mu’allaq, kalau memang benar apakah berarti Allah menggantungkan irodah-Nya kepada af’alul ‘ibad?”. Mendapati pertanyaan itu, tentu saja saya sangat senang karena obrolan kemarin sore membawa kegelisahan sampai sekarang. 

Ada semacam anekdot tentang Jabariyah “kalaupun aku mencuri, membunuh, mabuk, dan berbuat kesalahan yang lain, kau tak boleh menghukumku karena sebenarnya apa yang kulakukan adalah buatan dari Tuhan. Tuhan yang menciptakan semua gerak-gerik aktifitas manusia, apa kau berani menyalahkan buatan Tuhan?”. Di tempat yang lain Qodariyah menjawab dengan anekdot yang tak kalah menarik “mana boleh kau menyalahkan Tuhan atas perbuatan dosa dan salah yang kau lakukan? Ini sama sekali tak ada hubungannya dengan Tuhan, yang kau lakukan adalah buatanmu sendiri bukan Tuhan”. 

Lalu bagaimana ini? Apakah Tuhan benar-benar maha “super” sehingga dialah yang menciptakan semua gerak-gerik manusia, yang baik juga termasuk yang buruk. Ataukah Tuhan cukup menciptakan manusianya saja lalu membebaskan manusia untuk menciptakan gerak-geriknya sendiri sehingga manusia bebas ikhtiyarnya?. Kalau yang pertama, lalu apa gunanya Tuhan memberikan taklif kepada manusia untuk manut kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? Apa gunanya Tuhan menyediakan reward (ganjaran, hadiah) berupa pahala dan syurga juga memberikan punishment (hukuman, siksa) berupa neraka kalau memang semua aktifas manusia sebenarnya adalah buatan Tuhan. Tapi kalau yang yang kedua, lalu dimana letak sifat “kuasa” dari Tuhan? Apakah itu tidak mengurangi “superioritas” Tuhan itu sendiri?. 

Qodho adalah “pengetahuan Tuhan tentang apa yang terjadi pada manusia dan apa yang menjadi gerak-geriknya. Baik dalam hal yang bersifat mukhoyyar maupun musayyar”. Pengetahuan Tuhan tentang apa yang akan saya lakukan (misalnya) dan kejadian apa yang akan menimpa saya baik di masa lampau maupun yang akan datang. Pengetahuan Tuhan ini yang dituliskan dalam sebuah kitab khusus yang hanya Tuhan yang tahu (lauh al-mahfudz) dinamakan dengan Qodho. Sedangkan Qodar adalah “terjadinya pengetahuan Tuhan tersebut pada manusia persis seperti yang diketahui oleh Tuhan sebelumnya”. Ketika Tuhan telah mengetahui bahwa saya akan mati di hari sabtu jam sekian pada tahun 2020 misalnya , maka pengetahuan itu dinamakan Qodho. Sedangkan ketika pada hari, jam, dan tahun tersebut saya benar-benar mati, maka terjadinya mati itulah nanti yang disebut dengan Qodar. 

Dari pengertian Qodho dan Qodar di atas kita akan mencoba menjawab kegelisahan yang selama ini ada di benak kita dengan menganalisa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan permasalahan tersebut. 

Pertanyaan pertama: apakah ada hubungan antara Qodho Tuhan dengan pikiran “Jabariyah” kita? Apakah kita boleh mengatakan “Tuhan telah menakdirkan (menuliskan) saya untuk berbuat seperti ini, jadi saya bukan orang yang bebas berkeinginan dan memilih untuk melakukan sesuatu, jadi yang saya lakukan ini bukanlah pilihan murni saya?”. 

Jawabannya adalah “tidak”. Tidak mungkin manusia menjadikan Qodho sebagai alasan dari apa yang telah dia lakukan, jadi pertanyaan tersebut tidak dapat dibenarkan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa Qodho adalah pengetahuan Tuhan tentang segala sesuatu yang akan terjadi di dunia. Pengetahuan Tuhan ini tidak dapat kita jadikan alasan atas perbuatan kita. Tuhan menciptakan manusia, kemudian menganugrahinya dengan akal dan hati, memberinya kekuatan untuk menentukan pilihan melalui akal dan hati tersebut. Lalu sebagai Tuhan sang Pencipta maka sudah seharusnya dia mengetahui apa yang akan terjadi dan menjadi pilihan manusia yang diciptakan-Nya. Tuhan sejak saat itu mengetahui kapan kita akan taat kepada-Nya, kapan kita akan melakukan maksiat dan lain sebagainya. Kemudian menuliskannya dalam Lauh al-Mahfudz. Lalu apakah pengetahuan Tuhan sejak awal atas apa yang akan terjadi pada kita dapat menunjukkan bahwa kita dipaksa oleh Tuhan untuk melakukan sesuatu? Apakah boleh kita menyalahkan Tuhan atas perbuatan buruk kita (yang kita lakukan dengan sadar dan atas pilihan kita sendiri) dengan alasan Tuhan sudah mengetahui perbuatan itu akan terjadi pada kita sejak awal mula?. 

Untuk lebih jelas lagi, mari kita analisis dengan menggunakan analogi kehidupan yang terjadi pada manusia secara langsung. Ada seorang guru di sebuah sekolah dia mempunyai satu murid. Dengan analisanya sang guru memperkirakan murid ini akan gagal mengerjakan soal tes. Karena sang guru sudah sangat hafal dengan kemampuan, dan sifat-sifat malas sang murid. Maka sejak dari awal sang guru sudah tahu bahwa si murid akan gagal mengerjakan soal tes tersebut. Kemudian pada akhirnya setelah mengerjakan soal, si murid benar-benar gagal mengerjakan soal tersebut. Lalu apakah si murid ini boleh mengatakan kepada gurunya “dikarenakan bapak guru sudah mengetahui dari awal bahwa saya adalah pemalas, dan saya akan gagal maka bapak gurulah yang menyebabkan saya malas dan saya gagal. Maka bapak tidak boleh menghukum kegagalan saya karena saya tidak punya pilihan lain selain malas dan gagal”. Seandainya si murid benar-benar mengatakan itu, maka saya yakin sang guru pasti akan memberikan hukuman tambahan. Begitu pula kita tidak boleh menyalahkan Tuhan atas apa yang kita lakukan dengan alasan bahwa Tuhan sejak awal sudah mengetahui dan menuliskan apa yang akan terjadi pada kita. 

Pertanyaan ke dua: “aktifitas (gerak-gerik) yang keluar dari manusia ketika solat atau ketika minum arak, siapakah yang menciptakan? Bukankan Tuhan yang menciptakan segala sesuatu? Jika jawabnya “Iya”, maka perbuatan solat seseorang yang menciptakan adalah Tuhan begitu juga perbuatan minum arak manusia Tuhan juga yang menciptakan. Kemudian persoalannya bagaiamana bisa Tuhan mengadili perbuatan yang sebenarnya Dia sendiri yang menciptakan?”. 

Mari kita analisa pertanyaan yang kedua ini. Tuhan memang yang menciptakan semua gerak aktifitas manusia. Maksudnya adalah bahwa ketika kita menulis, Tuhanlah yang menggerakkan tangan kita untuk bisa memegang pensil lalu menggerakkannya untuk menulis. Tuhan pula yang memberikan kekuatan pada otot tangan kita untuk bisa bergerak. Dari situ kita mengatakan bahwa aktifitas menulis kita adalah Tuhan yang membuat. Akan tetapi meskipun Tuhan yang menciptakan gerak aktifitas manusia tapi hal itu tidak berarti tuhan mewujudkannya dari keadaan tidak ada menjadi ada (la yusawi wiladatal fi’li aw la yusawi dhuhurul fi’li minal ‘adam ilal wujud). Harus ada penyebab, pendorong (dafi’) terjadinya gerak aktifitas tersebut. Dafi’ inilah yang nanti secara materiil kita sebut dengan perangkat akal dan hati tetapi secara non materiil kita sebut dengan istilah “keinginan” (raghbah, ‘azm, niyyah, maqsud). Keinginan seseorang (dari akal dan hatinya) untuk melakukan kebaikan, solat, puasa, dll. Keinginan seseorang untuk melakukan keburukan, mabuk, berjudi, dll. Keinginan atau raghbah tersebutlah yang menjadikan aktifitas gerak itu menjadi ada. 

Lalu dimanakah peran Tuhan dalam aktifitas gerak tersebut? Peran Tuhan adalah memberikan inbi’ats kekuatan dalam tubuh manusia untuk bergerak sesuai dengan keinginan dan niat seseorang. Manusia oleh Tuhan diberikan kebebasan dan kekuatan untuk menentukan raghbah, keinginannya masing-masing, sedangkan Tuhan hanya menggerakkan tubuhnya sesuai dengan keinginan tersebut. Ketika manusia mempunyai keinginan, niat untuk melakukan kebaikan, dan keinginan itu semakin besar maka Tuhan memberikan kekuatan pada tubuhnya untuk mendukung gerak menuju kebaikan tersebut. Sebaliknya, ketika manusia mempunyai keinginan, niat untuk melakukan keburukan, dan semakin besar keinginan itu, maka Tuhan memberikan kekuatan pada tubuhnya untuk mendukung gerak menuju keburukan tersebut. 

Dan yang akan dihitung, diadili di hari kiamat nanti bukanlah aktifitas gerak manusia secara langsung akan tetapi raghbah, azm manusia, keinginan, dorongan, pilihan manusia yang menyebabkan terjadinya aktifitas tersebut secara langsung. Rahgah, azm, pilihan manusia inilah yang akan dijadikan patokan diberikannya pahala bagi manusia yang melakukan kebaikan dan juga patokan diberikannya hukuman bagi manusia yang melakukan keburukan. Maka bisa dikatakan yang menciptakan gerak keburukan (secara langsung) manusia adalah Tuhan, akan tetapi yang menciptakan keinginan, raghbah, azm untuk melakukan keburukan tersebut adalah manusia sendiri melalui akal dan hatinya. Maka kita tidak bida menyalahkan Tuhan lagi atas perbuatan buruk kita karena yang sebenarnya akan diadili adalah raghbah yang kita ciptakan sendiri secara sadar. Di sinilah mengapa pertanyaan yang kedua ini menjadi sangat salah dan kita telah menemukan jawabannya. 

Bahkan ketika kita merujuk kepada ayat-ayat dalam al-Qur’an kita akan menemukan bahwa yang dijadikan patokan pahala dan siksa bukanlah aktifitas manusia secara langsung (fi’li) akan tetapi niat, azm, raghbah, dan keinginan yang menyebabkan aktifitas itu terjadi (kasb). Ayat-ayat yang membicarakan mengenai hal ini selalu menggunakan kata kasb bukan menggunakan kata fi’li. Seperti pada banyak ayat yang diakhiri dengan kalimat “.....bi ma kuntum taksibun” atau ayat “laha ma kasabat wa ‘alaiha maktasabat” atau ayat “kullu nafsin bima kasabat raghinah” dan masih banyak ayat lainnya. 

Untuk lebih meyakinkan analisa tentang ini, mari kita buat analogi yang mudah dan sering terjadi pada kehidupan manusia. Ada kaidah bahwa yang akan mendapat hukuman dan menjadi patokan untuk memberikan hukuman adalah maksud, niat, dan keinginan seseorang bukan perbuatan seseorang secara langsung. Misalnya ada seseorang lelaki masuk ke dalam kamar seorang pasien dan berpura-pura ingin menjenguknya. Kemudian ketika si pasien sedang lengah, lelaki itu mengganti botol obat yang ada di samping pasien dengan botol lain yang berisi racun lalu lelaki itu keluar dari ruangan. Kemudian si pasien mengambil botol tersebut dan meminum isinya dengan menggunakan tangannya sendiri sampai akhirnya dia keracunan dan mati. Secara dhohir maka yang membunuh si pasien adalah pasien sendiri, karena dialah yang secara langsung menciptakan gerak tangannya untuk meminum racun dalam botol tersebut. Akan tetapi ketika polisi melakukan penyelidikan dan diketahui bahwa yang sebenarnya botol itu diganti oleh seorang lelaki yang menjenguknya tadi, maka keputusannya lelaki itulah yang kemudian diberikan hukuman dan dinyatakan bersalah. Aktifitas pembunuhan secara langsung memang pasien sendiri yang melakukan tapi yang menjadi dasar hukuman adalah niat, modus, yang berada di balik aktifitas yang terjadi itu. 

Jadi, pertanyaan yang ke dua telah berhasil kita selesaikan dengan analisis di atas. Maka pertanyaan ke dua tersebut tidak layak lagi untuk dijadikan hujjah tentang permasalahan ini. Dan secara otomatis dalil Jabarian telah patah dengan analisa tersebut. Pertanyaan ke tiga: “jika memang yang akan diadili adalah iradah, raghbah, niyah, azm manusia, maka siapakah yang menciptakan iradah, raghbah, niyah, azm tersebut? Bukankah Tuhan pula yang menciptakan? Kalau begitu berarti manusia tetap tidak mempunyai kebebasan?”.  

Pertanyaan ke tiga ini terlihat sederhana tapi sangat menyecoh. Mari kita perhatikan dengan jeli. Iradah, raghbah, niyah, azm yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia itu bukan berarti Tuhan mengendalikannya secara penuh dan langsung. Tuhan hanya memberikan alat sebagai wadah iradah, raghbah, niyah, azm tersebut yaitu melalui akal dan hati. Kemudian melalui akal dan hati tersebut Tuhan memberikan kekuatan kepada manusia untuk menentukan pilihan, menentukan keinginan, tanpa ada campur tangan Tuhan. Tentu saja sejak awal Tuhan sudah mengetahui manusia ini akan mengambil keinginan yang bagaimana karena Tuhanlah yang menciptakannya dan Tuhanlah yang maha mengetahui. Tapi itu bukan berarti Tuhan terlibat secara langsung dalam penentuan keinginan manusia tersebut. 

Jadi, jika Tuhan sudah memberikan kita kekuatan untuk menentukan keinginan, mengambil keputusan dengan akalnya, bolehkah kita mengatakan bahwa kita bukan makhluk yang memiliki kebebasan? Kita adalah makhluk yang dipaksa dan dikendalikan penuh oleh Tuhan? Tentu saja tidak bisa kita mengatakan seperti itu. Itu sama saja dengan analogi seperti berikut. Ketika saya memberikan anda uang dan saya tahu bahwa anda akan membelanjakan uang itu untuk mabuk, maka anda mengatakan “saya tidak punya kebebasan untuk berkeinginan dan memilih. Karena uang ini pemberian orang lain dan yang memberikannya ternyata dari awal sudah tahu saya akan melakukan ini dengan uang ini”. Pengetahuan saya atas apa yang akan anda lakukan terhadap uang itu adalah hal lain, dan keputusan anda, pilihan anda untuk membelanjakan uang itu untuk mabuk adalah hal lain lagi. Maka secara tidak langsung uang itu sudah menjadi milik anda dan anda mempunyai kebebasan untuk membelanjakannya tanpa ada campur tangan saya. 

Dengan beberapa pertanyaan di atas dan beberapa analisa jawaban di atas kita bisa menyimpulkan bahwa Tuhan tetap maha “Super” maha kuasa, maha mengetahui, sekaligus maha mengatur semua yang terjadi di alam semesta ini. Dan salah satu tanda dari ke-maha kuasa-an Tuhan adalah dia menganugerahkan akal sehingga manusia dapat mengambil keputusan, membuat pilihan sendiri untuk melukakuan yang baik atau yang buruk. Sehingga suatu saat nanti Tuhan dapat meminta pertanggungjawaban dari keinginan dan cara mengatur keinginan setiap manusia. Sehingga menusia dapat selalu berpacu dan berlomba untuk menaklukkan hatinya dan akalnya agar tetap berada dalam jalan yang diridhoi Tuhan. Kemudian sebagai tanda ke-maha kuasa-an Tuhan yang lain adalah, bahwa setiap keinginan, keputusan, dan pilihan yang kita buat sendiri dengan akal dan hati kita itu sejak dari awal sudah diketahui dan dicatat oleh Tuhan dalam lauh al-mahfudz-Nya. Ini benar-benar tentang “superioritas” Tuhan, tapi bukan berarti manusia tak punya pilihan sama sekali. Wa Allahu A’la wa A’lam bi As-Shawab.

0 comments:

Posting Komentar

 
;