Minggu, 09 September 2007

FEMINISME "Bayangan Hitam Dibelakang Islam"



Salah satu tokoh feminis mengatakan bahwa semua agama samawi (termasuk islam) bias gender karena semuanya turun dalam budaya yang patriarkis. Islam termasuk agama yang banyak dikritisi para pejuang feminis sebagai agama yang sarat akan pendiskriminasian perempuan. Mulai dari aspek kekeluargaan yang cenderung membatasi ruang gerak perempuan, terlalu mengedapankan sifat superioritas laki-laki sampai aspek sosial yang dianggap mengebiri kebebasan perempuan untuk ikut berpartisipasi aktiv sebagai salah satu element masyarakat. Bahkan ada yang berani masuk dalam aspek ta'abudi dengan mencoba mendobrak dogma-dogma yang dianggap "man oriented" yang telah menjadi ijma' para ulama'. Al hasil isu persamaan gender (gender equality) kata mereka tak pernah diapresiasi oleh islam.
Fenomena tersebut seakan membuat gerakan feminisme berada pada posisi berlawanan dengan islam. Apa yang mereka perjuangkan seolah ingin membebaskan perempuan dari penindasan islam. Feminisme bagaikan bayangan hitam di belakang islam yang siap menikam doktrin-doktrin lama yang bias gender dengan mengatasnamakan perjuangan demi kemajuan perempuan. Apakah benar semua hipotesa tersebut?
Kita tak perlu malu bila harus mengakui ada sebagian dogma islam yang bersumber dari tatanan yurisprudensi islam klasik yang kental dengan nuansa patriarkis. Kebanyakan hukum-hukum islam memang cenderung hanya memberikan sedikit ruang gerak kepada perempuan karena kondisi cultural pada saat itu memang menempatkan perempuan pada lingkungan kelas dua (sub ordinary) setelah laki-laki. Akan tetapi kita tentu yakin bahwa al-qur'an sebagai sumber utama (the basic source) agama islam sangat menghargai hak-hak perempuan dan menjunjung tinggi kehormatan perempuan. Hal ini terbukti dengan terjawabnya banyak isu-isu feminisme yang diarahkan kepada islam.
Bahkan bila kita teliti lebih dalam lagi sebenarnya kondisi cultural dan budaya lokallah yang sebenarnya menjadi aktor utama penyebab ketimpangan gender bukan agama (islam) atau ajaran-ajarannya. Hampir semua hipotesa dan tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada islam berhubungan erat dengan cultur dimana islam pertama kali muncul dan berkembang.
Turunnya islam dalam lingkuangan arab meniscayakan ajaran yang dibawanya menyimpan bias-bias cultural setempat. Seperti yang dikatakan salah satu pemikir arab bahwa wahyu tidak akan pernah bisa dipisahkan dengan keberadaan sosio cultural tempat ia diturunkan. Hal itu dikarenakan wahyu turun sebagai jawaban langsung dari problematika masyarakat pada saat itu sehingga wahyu tidak akan dapat di lepaskan dari unsur antropologis demografis satu masyarakat tertentu.
Begitu pula islam yang secara kebetulan turun pertama kali dalam lingkungan masyarakat arab yang patreiarkis. Sejarah mengatakan masyarakat arab yang cenderung lebih suka mempunyai keturunan laki-laki dari pada perempuan. Itulah yang menjadi alasan mengapa dulu masyarakat arab sering mengubur anak peremuannya hidup-hidup. Mereka tidak memberikan hak waris kepada perempuan dan membatasi ruang gerak perempuan hanya sebagai isteri yang wajib tunduk kepada apa yang dikatakan suaminya.
Kemudian masalah hijab, poligami, politik, hampir semua masalah yang berhubungan dengan hal tersebut berawal dari cultur arab. Hanya ada beberapa isu tentang feminisme yang langsung berhubungan dengan ajaran islam (al-qur'an, hadits). Artinya isu tersebut muncul murni sebagai auto kritik atas dogma islam. Seperti isu persaksian dalam hukum islam, khalifah atau pemimpin negara, dominasi pria dalam keluarga, dan deferensiasi tingkat intelektualitas laki-laki dan perempuan. Itupun muncul karena varian interpretasi yang dihasilakn oleh para mujtahid klasik. Artinya isu-isu tersebut juga muncul dari penafsiran ulama' kalsik tentang ayat alqur'an atau hadits tertentu. Oleh karena itu ijtihad ulama' klasik tentang isu-isu tersebut pastilah tidak dapat dipisahkan dari unsur-unsur subjektivitas sang mujtahid selain kondisi sosio cultural pada saat itu. Jadi seharusnya tidak ada alasan untuk mengalamatkan tuduhan-tuduhan bias gender tersebut langsung kepada islam.
Kesimpualnnya adalah bahwa isu-isu yang diangkat oleh kaum feminisme yang terkesan anti pati dengan islam seharusnya dapat diselesaikan dengan menggunakan interpretasi baru (contekstual centered interpretation). Yaitu dengan menggunakan perangkat-perangkat hukum islam yang bisa digunakan untuk berdialog dengan budaya saat ini. Selain sosialisasi tentang ajaran islam yang sampai saat ini masih sering kurang dipahami secara rampung oleh para tokoh feminisme pada khususnya dan oleh umat islam pada umumnya.
Yang menjadi sangat urgen dan PR besar buat para pejuang feminisme saat ini seharusnya adalah memperjuangkan hak-hak perempuan dalam tataran sosial, ekonomi dan akademis. Kondisi masyarakat saat ini yang masih sering menjadikan perempuan sebagai tumbal dari perjalanan kehidupan menjadikan perempuan sering kehilangan hak-haknya. Sehingga memperjuangkan egaliterianisme sosial, ekonomi dan akademis menjadi sangat mendesak dari pada harus memposisikan sebagai oposisi dari dogma-dogma agama yang sering kali salah mereka pahami.
Banyak terjadi di desa-desa perempuan kehilangan hak akademisnya hanya untuk mengalah pada saudara laki-lakinya. Masih sering kita jumpai perempuan dilarang masuk aktiv dalam dunia politik desa, ikut memutuskan sesuatu. Bahkan masih kental budaya yang menjadikan perempuan hanya sebagai konco wingking dari laki-laki dalam interaksi sosial masyarakat. Itulah yang seharusnya menjadi konsentrasi dari pejuang feminisme saat ini. Karena jika tenaga para pejuang feminisme dihabiskan untuk bertarung melawan dogma agama maka yang akan terjadi hanyalah pemaksaan hak perempuan kearah maskulinisasi. Akhirnya mereka akan cenderung melawan apa saja yang selama ini tidak menjadi kodrat seorang perempuan dengan mengatasnamakan keadilan. Dan menolak apa saja yang selama ini memang sudah menjadi kodrat seorang perempuan. Seperti yang pernah dilakukan tokoh feminis radikal dulu. Mereka mempertanyakan mengapa yang harus mengandung dan menyusui hanya perempuan? Sedang laki-laki hanya ambil enaknya saja. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu seakan bukan keluar sebagai keinginan memperjuangkan kemajuan perempuan tetapi lebih menggambarkan satu kekesalan dan kecemburuan terhadap kodrat dan sunatullah seorang laki-laki dan perempuan.
Seandainya para tokoh-tokoh islam rajin mempropagandakan ajaran islam yang sebenarnya kepada masyarakat dan tokoh-tokoh feminisme rajin memperjuangkan apa yang saat ini dianggap urgen untuk masa depan perempuan maka mimpi manis para tokoh feminis akan segera tercapai tanpa harus menunggu lama-lama karena bertarung dengan dogma agama. Wa Allahu A’lam [ ]









0 comments:

Posting Komentar

 
;