Minggu, 09 September 2007

Mengandaikan Usul Fikih Selingkuh




Melihat kedudukannya sebagai salah satu ilmu metodologi islam yang digunakan untuk membuat produk hukum maka sudah barang tentu usul fikih mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ilmu lainnya yang berhubungan dengan sumber mentah hukum islam (al-qur'an dan al-hadits).
Ilmu usul fikih diartikan tidak lain sebagai kumpulan metodologi fikih secara universal, cara pengambilan dalil, dan bagaimana kedudukan seorang yang mengambil dalil (baca: al-mustadil bih).[1] Hubungannya yang sinergis dengan nash meniscayakan usul fikih memuat satu kaidah-kaidah pendukung yang berhubungan dengan nash tersebut. Seperti ilmu lughoh, nahwu, dan ilmu kalam.[2]
Namun tidak seperti ilmu-ilmu tersebut, hubungan antara usul fikih dengan ilmu tasawuf dianggap sulit untuk diraba. Hipotesa tersebut berawal dari tampilan kasar dan bengis beberapa produk hukum islam baik yang secara tegas disebutkan oleh al-qur'an dan al-hadits maupun hukum-hukum yang keluar melalui proses istinbat oleh para ulama' klasik. Ilmu tasawuf yang merepresentasikan wajah humanis seakan tak terlihat menghiasi produk hukum islam. Hal itulah yang mengilhami sebagian orang untuk mengandaikan usul fikih selingkuh dengan tasawuf. Sampai pada klimaksnya memunculkan satu gagasan untuk mentajdid kembali usul fikih.
Perdebatan mengenai mungkin dan tidaknya melakukan tajdid terhadap usul fikih akhirnya menjadi salah satu topik yang hangat dalam pemikiran islam kontemporer hari ini. Bukan hanya karena topiknya yang terkesan progesiv dan dekonstruktif melainkan juga karena tajdid dianggap sebagai jalan yang bisa mengubah wajah islam secara umum.
Salah satu faktor yang menyebabkan usul fikih menjadi sasaran amandemen adalah faktor teologis. Konsekuensi teologis seorang muslim yang meyakini atas kebenaran mutlak al-qur'an dan hadits sohih serta ketidakmungkinan mengamandemen sumber utama tersebutlah yang pada akhirnya menggiring kita untuk menyalahkan usul fikih. Karena tidak mungkin mengamdemen sumber hukum maka cara lainnya adalah dengan mengamandemen metodologi yang digunakan untuk memproduksi hukum dari sumber tersebut.
Jika dilihat dari segi historisitas usul fikih, bisa kita pahami kemungkinan melakukan tajdid. Pertanyaannya adalah apakah ilmu usul fikih terbentuk atas dasar tuntutan zaman (ikhtiyari) sejak kemunculan nash primer islam, ataukah ia muncul sejak diprakarsai oleh karya monumentalnya imam besar syafii dengan al-risalahnya.
Jika kita sepakat dengan argumen yang pertama dalam artian awal kemunculan usul fikih merupakan tuntutan dari nash yang membutuhkan satu metodologi untuk menerjemahkan hukum-hukum yang dikandungnya, maka kemungkinan untuk mendekonstruksi usul fikih turats dan menggantinya dengan usul fikih yang baru sangat terbuka lebar. Karena usul fikih di sini di pahami sebagai sebuah metodologi interpretasi yang digunakan untuk menghubungkan hukum-hukum nash dengan zaman. Karena proses turunnya syariat berhubungan erat dengan pembentukan masyarakat, maka proses pemberlakuan syariat tersebut sangat tergantung dengan keberadaan masyarakat tersebut.[3] Oleh karena itu sangat mungkin sekali mengganti usul fikih jika dianggap usul fikih yang dulu sudah tidak dapat menjembatani antara nash dengan zaman kekinian.
Akan tetapi jika kita sepakat dengan argumen yang kedua, yang mengatakan bahwa usul fikih terbentuk dengan awal kemunculan karya imam syafii (al-risalah) maka kemungkinan untuk melakukan tajdid[4] sangat kecil sekali. Hal itu dikarenakan usul fikih dalam hal ini dipahami hanya sebagai kumpulan kaidah-kaidah atau aturan umum yang di gunakan untuk beristimbat. Kaidah-kaidah yang tersusun dari ilmu lugahah, nahwu, dan perpaduan dengan ilmu kalam tersebut tidak mungkin diubah begitu saja menurut selera orang tertentu.
Dilihat dari maknanya, kata tajdid itu sendiri sebenarnya masih mengandung ambiguitas makna. Apakah tajdid diartikan sebagai upaya menyempurnakan kekurangan-kekurangan turats usul fikih, melengkapi apa yang kurang darinya, dan merekonstruksi apa yang di anggap tidak sesuai lagi dengan semangat zaman ataukah yang diinginkan dengan tajdid adalah mengganti seluruh komponen turats klasik usul fikih kemudian menyusun kembali usul fikih baru dari nol (al-istibdal 'anhu).[5]
Seandainya yang diinginkan adalah menyempurnakan kekurangan yang ada dalam usul fikih turast, merekonstruksi apa yang dianggap tidak sesuai lagi dengan zaman, maka semangat dan keinginan itu sama sekali tidak layak untuk diperdebatkan karena memang sudah menjadi keharusannya. Bukankah keberadaan banyak mualif kitab usul fikih sejak yang pertama kali (al-Risalah) merupakan bukti bahwa setiap saat selalu terjadi penyempurnaan baru terhadap metodologi usul fikih sebelumnya. Hal itu sangat sesuai dengan hadits nabi "sesungguhnya Allah mengutus untuk umat setiap awal seratus tahun seorang yang memperbarui agamaNya"[6]
Dengan demikian makna tajdid yang sering menjadi perdebatan bukanlah makna yang pertama karena untuk makna yang pertama tidak akan mungkin terjadi perbedaan pendapat. Atau dengan kata lain semua orang pasti akan sepakat bahwa munculnya banyak pendapat dan aliran dalam usul fikih yang pada akhirnya mengakibatkan tidak putusnya karya dalam bidang usul fikih merupakan bukti bahwa usaha untuk menyempurnakan usul fikih terus dilakukan oleh para ulama'.[7] Berarti dapat kita simpulkan bahwa yang diinginkan dari makna tajdid adalah al-istibdal atau meninggalkan metodologi usul fikih lama kemudian menggantinya dengan metodologi yang baru. Kemudian pertanyaannya adalah apakah hal ini memungkinkan secara ilmiah dan apakah dapat diterima secara kode etik keislaman (?).
Membicarakan mungkin dan tidaknya mengganti usul fikih dengan yang baru berarti membahas kemungkinannya secara epistemologis usul fikih itu sendiri. Secara epistemologis usul fikih dapat dikelompokkan kedalam dua point inti yaitu dalil syar'i kulli (dilalah lafdhiyah) dan dalil syar'i juz'i (masadir al-ahkam).[8]
Dari point yang pertama kemungkinan untuk melakukan tajdid sangat sulit sekali. Hal itu dikarenakan dilalah lafdhiyah merupakan kumpulan kaidah-kaidah bahasa arab yang didalamnya terkandung banyak sekali derivasi-derivasi kaidah sebagai perangkat untuk memahami nash yang kebetulan berbahasa arab. Seperti dilalah mantuq, dilalah mafhum, kaidah umum khusus, kaidah mutlak muqoyyad, dan lain sebagainya. Kaidah-kaidah tersebut merupakan bagian dari kaidah bahasa arab yang sudah tersusun sejak masa arab klasik. Amat sulit sekali mencari ganti dari kaidah-kaidah tersebut sebagai perangkat lunak nash. Meskipun dalam hal ini masih sering terjadi perbedaan pendapat mengenai beberapa kaidah namun itu bukan berarti kaidah-kaidah khilafiyah tersebut tidak layak lagi untuk digunakan sebagai metodologi usul fikih. Seperti perbedaan pendapat antara batas minimal jama' apakah dua atau tiga, perbedaan pendapat mengenai dilalah lafadh 'umum apakah ia bersifat dhanni atau qot'i, atau perbedaan pendapt mengenai hukum perintah setelah larangan (al-amru ba'da al-nahyu) apakah hukumnya mubah atau kembali pada hukum awal sebelum terjadi larangan. Justeru dengan adanya khilafiyah inilah akan memungkinkan bagi seorang mujtahid untuk terus menyempurnakan dan mentarjih khilafiyah tersebut. Jadi yang mungkin untuk dilakukan perubahan adalah sedikit dari kaidah-kaidah bahasa diatas itupun dengan catatan dengan tidak membuang kaidah lainnya. Seperti ajakan untuk memasukkan satu kaidah baru yaitu al-ibrah bi al-maqosid. Itupun bukan terlihat sebagai kreativitas baru yang msutaqil dari usul fikih turats tetapi lebih pada pentarjihan antara kaidah lama al-ibrah bi umum al-lafdhi dan al-ibrah bi husus al-sabab.
Secara riel kemungkinan untuk bermain lebih banyak justeru berada dalam point kedua yaitu mengenai dalil syar'i juz'i (masadir al-ahkam). Seperti yang kita ketahui bersama bahwa sumber hukum dalam islam terbagi menjadi dua yaitu sumber hukum inti (masadir al-ahkam al- asliyah) dan sumber hukum lanjutan (masadir al-ahkam al-tabi'iyah). Sumber hukum inti yang terdiri dari al-qur'an dan al-hadits tentunya adalah harga mati yang tidak akan mungkin diubah ataupun ditajdid. Akan tetapi sumber hukum lanjutan atau derivasi-derivasi hukum sangat mungkin diganti dan bahkan ditambah dengan konsep hukum baru. Bahkan disini terlihat sekan-akan hukum-hukum baru tersebut adalah kreativitas para mujtahid dalam rangka menjembatani distansiasi antara hukum inti dengan keadaan sosial sang mujtahid. Dari dialog antara nash dengan cultur tertentu maka lahirlah perangkat hukum-hukum baru seperti istihsan, istishlah, maslahah mursalah, 'urf , dan lain sebagainya. Dari sini tidak menutup kemungkinan terjadinya perangkat hukum baru sebagai akibat dialog nash dengan kondisi cultur, demografi dan tuntutan kemashlahatan yang terjadi pada masa ini. Namun lagi-lagi usaha menambahkan hukum baru tersebut tidak bisa dikatakn sebagai tajdid secara mustaqil karena pada hakikatnya ia hanya menambahkan atau menyempurnakan usul fikih lama.
Kesimpualn dari semua uraian di atas adalah, usul fikih sebagai bagian dari ilmu pengetahuan tetap menerima sebuah kritik dan perubahan dalam rangka menuju satu tatanan yang sempurna dan sesuai dengan semangat zaman. Karena salah satu ciri khusus dari ilmu pengetahuan (ma'rifah) adalah ia selalu menerima kritik dan memungkinkan untuk selalu diupdate dan sesuaikan dengan kebutuhan zaman. Sangat mungkin bila saat ini ada sebagian kaidah dari usul fikih yang harus direkonstruksi ulang agar tetap dapat bertahan sebagai metodologi nash yang mampu berdialog dengan lingkungannya.
Namun mengatakan bahwa usul fikih lama semuanya sudah tidak layak lagi dijadikan metodologi nash hanya karena adanya sebagian kaidah yang sudah tidak layak adalah hal yang ceroboh dan terlalu terburu-buru. Karena sebatas menuduh dan mendakwahkan tajdid usul fikih tanpa mempersiapkan satu metodologi baru yang siap uji hanya akan menjadikan semua itu sebatas wacana yang sunyi dari konsep dan praktek. Seperti mengajak selingkuh usul fikih dengan tasawuf dengan harapan nilai-nilai humanis tasawuf akan menyatu dengan usul fikih tanpa memberikan gambaran bentuk metodologinya. Setidaknya harus ada rancangan apa yang akan dijadikan dasar metodologi, dan segala kemungkinan-kemungkinannya haruslah jelas terlebih dahulu sebelum wacana tajdid benar-benar siap diteriakkan dengan lantang. Karena membuangnya tanpa menyiapkan ganti yang pas hanya akan membuat masalah tambah parah.
Sebagai solusi alternatif yang lebih aman kita kembalikan pada permasalahan awal. Sesuatu yang mengilhami euforia tajdid usul fikih. Tidak lain dan tidak bukan adalah dugaan bahwa usul fikih sebagai sebuah metodologi turut andil bagian atas keluarnya produk-produk hukum yang kurang humanis, serta kekhawatiran akan terus terulangnya produk-produk sejenis apabila tidak diadakan perubahan metodologi sebagai alat dalam menelurkan hukum. Tentunya tidak semua produk hukum yang dihasilkan lewat metodologi usul fikih lama kurang humanis. Dan tidak semua kaidah yang ada dalam usul fikih lama menjadi penyebabnya. Mungkin cara yang paling aman sambil menunggu konsep metodologi baru yang utuh, matang, dan siap uji maka kita bisa merenkonstruksi kaidah lama yang sudah tidak sesuai atau dengan menambahkan perangkat hukum atau kaidah baru sebagai pelengkap kaidah usul yang sudah ada saat ini. Hal itu mungkin akan lebih sejalan dengan kaidah usul "mempertahankan yang masih layak dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik" (al-muhafadhoh 'ala al-qodim al-solih wa al-ahdhu bi al- jadid al- aslah). [ ]


















[1] Al- mahsul, fahrudin al-razi. Jus 1 hal 94
[2] 'ilmu usul al-fikh wa 'alaqotuhu bi al-falsafah l-islamiyah, prof. Dr. Ali jum'ah hal 5
[3] Usul al-syariah, Muhammad Said 'asmawi hal 61
[4] Yang dimaksud dengan tajdid disini adalah mengganti usul fikih lama dengan usul fikih yang baru, bukan hanya menyempurnakan usul fikih yang telah ada.
[5] Muskilah tajdid usul fikih, Dr. Muhammad Said Ramadhan Buthi hal 156
[6] sohih wa dhoif fi sunan abi dawud, syeih al-bani juz 1 hal 291
[7] Muskilah tajdid usul fikih, Dr. Muhammad Said Ramadhan Buthi hal 158
[8] Ilmu usul al-fikih, Abdul Wahab Kholaf hal 13

0 comments:

Posting Komentar

 
;