Minggu, 09 September 2007

Mendudukkan Akal


”.....Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya. (QS. 57:17).”
Ada satu cerita menarik dalam sebuah kelas. Ketika itu dalam satu jam pelajaran terjadi percakapan antara seorang guru dengan murid-muridnya. Sang guru mengawali dengan sebuah pertanyaan
Sang guru : apakah kalian melihat saya?
Murid-murid : ya
Sang guru : berarti saya ada (maujud)
Sang guru : apakah kalian melihat meja ini?
Murid-murid : ya
Sang guru : berarti meja ini ada (maujud)
Sang guru : apakah kalian melihat Allah?
Murid-murid : tidak
Sang guru : berarti Allah tidak ada (Goiru maujud)
Kemudian ada salah seorang murid berdiri dan bertanya kepada teman-temannya “apakah kalian melihat otak (akal) pak guru?”
Dan semua murid-murid menjawab dengan keras “tidak”
Seorang murid itu meneruskan “berarti bapak guru tidak punya otak (akal)”
Cerita tersebut setidaknya dapat memberikan sedikit gambaran bagaimana posisi akal manusia sesungguhnya. Betapa akal manusia sangat terbatas dan terkadang tidak dapat menjelaskan sesuatu yang diluar dugaan kita.
Akhir-akhir ini terjadi satu fenomena yang sebenarnya adalah pengulangan dari semangat-semangat kaum pendahulu mereka yaitu “mendewakan akal”. Entah mengapa mereka begitu merasa bangga saat banyak orang memberikan gelar kepadanya dengan sebutan “sang kritikus sejati”. Seperti biasa mereka mencoba mendiagnosa setiap permasalahan yang terjadi bahkan pada akhirnya memberikan satu problem solving dengan pendekatan super akal. Tentu saja tidak hanya berdasar pada ke”super”an akal mereka tetapi juga mempromosikan manhaj dan cara berfikir idola, qudwah mereka. Maka jadilah mereka tidak akan dikatakan sebagai seorang yang hanya berhobi menggumam tetapi seorang akademisi sejati yang berbicara dengan data dan maraji’ yang otentik.
Terlepas dari fenomena tersebut sebenarnya islam sendiri sangat menganjurkan umatnya untuk mendayagunakan akal dan pikiran mereka. Karena hanya dengan akal yang salim itulah manusia mempunyai keistimewaan dari makhluk Allah lainnya. Bahkan Allah membebaskan segala hukum bagi setiap hambanya yang tidak mempunyai akal. Sebagaimana kita ketahui bahwa taklif hanya dibebankan kepada menusia yang mempunyai akal yang salim (dzu ‘aqlin salim)
Banyak sekali ayat-ayat al-qur’an yang menganjurkan manusia untuk selalu bertadabbur, merenung, dan memikirkan ayat-ayat Allah. Setidaknya ada dua puluh ayat alqur’an yang menganjurkan kita menggunakan akal kita untuk berfikir. Diantara ayat tersebut adalah “...Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir (QS. 2:44).”, “...Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya. (QS. 2:242).”, “...Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. (QS. 30:24).”. Tentunya anjuran dan perintah tersebut tidak akan pernah terlaksana kecuali dengan memfungsikan akal kita. Maka sebenarnya bukanlah sebuah kesalahan mereka yang mencoba mengkaji kembali khasanah dan kekayaan budaya islam dengan pendekatan akal yang lebih rasionalis karena secara tidak langsung mereka telah melaksanakan perintah Allah dalam al-qur’an.
Namun yang harus difahami adalah bagaimana kita memposisikan akal kita saat mengkaji dan meneliti kembali khazanah dan kekayaan kebudayaan islam. Sangat ironis dan disayangkan sekali ketika akal dibiarkan independen, berdiri sendiri saat dihadapkan dengan teks-teks turats islam bahkan dengan alqur’an.
Kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini setidaknya membuktikan betapa semangat mengkaji islam dan memfungsikan akal yang sebenarnya merupakan hal yang sangat dianjurkan oleh islam telah disalah gunakan bahkan dijadikan alasan pembenaran atas kegiatan-kegiatan mereka yang ingin menghancurkan islam dari dalam. Deretan nama-nama orientalis kawakan seperti Noldeke-Blachere, Derrida, hingga para sarjana muslim yang mewarisi manhaj mereka seperti Nasr Hamid Abu Zaid dan Arkoun adalah contoh paling nyata dari fenomena ini.
Jangan anggap orang-orang seperti Nasr Hamid Abu Zaid dan para pengikutnya tidak faham agama islam. Mereka sangat faham seluk beluk islam bahkan mungkin saja mereka hafal al-qur’an mengalahkan kita. Akan tetapi kebanyakn dari mereka salah saat beranggapan bahwa islam dapat dibedah dan dianalisis denagn metode “rasio” yang super realistis. Padahal tidak semua yang ada di dunia ini dapat dipahami dengan akal manuasia karena keterbatasan akal tersebut.
Jadi sebenarnya yang salah bukanlah aktivitas akal itu sendiri melainkan pemahaman dan manhaj individu sang empunya akal ketika ia memposisikan akal diatas segalanya bahkan melambung tinggi mengalahkan posisi wahyu. Bayangkan jika akal dibiarkan sendiri mencari keberadaan Allah atau menguliti hal-hal ghoib seperti mu’jizat, surga, neraka dan lain sebagainya maka tidak akan ada orang yang percaya keberadaan Allah, tidak akan ada orang yang percaya dengan islam bahkan mungkin islam akan dikatakan sebagai agama yang tidak realistis, agamanya orang-orang primitif yang masih percaya pada tahayul. Kesemuanya itu terjadi karena akal mempunyai keterbatasan. Keterbatasan itulah yang terkadang mengharuskannya tunduk di bawah wahyu.
Terlepas dari berbagai pendapat tentang posisi akal dalam tatanan yurisprodensi islam, sudah selayaknya kita memandang secara kritis metode yang ditawarkan oleh para orientalis denagn manhaj ‘aqlinya. Akan tetapi sepertinya fenomena ini terlalu besar sehingga para pakar intelektual dan tak sedikit akademisi dalam dan luar negeri yang terlalu “heroik” mengkampanyekan manhaj orientalis itu. Mereka seakan takut dikatakan “ketinggalan trend” jika tidak setuju dengan ide-ide Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Derrida, Karl marxs dan para jamaahnya.
Intinya perkembangan pemikiran islam yang semakin menggeliat akhir-akhir ini haruslah kita syukuri. Karena hal itu menandakan tuduhan kaum luar bahwa islam adalah agama yang statis, dogmatis, dan tidak kreatif adalah salah besar. Namun dengan warna-warninya pemikiran yang berkembang bahkan banyak yang telah mengadopsi metode-metode luar islam sebaiknya kita lebih teliti dalam memandangnya. Allah telah mengingatkan kita agar tidak serampangan dalam mengambil satu pegangan seperti dalam firmanNya “wala takfu ma laisa laka bihi ‘ilm”. Budaya asal ambil dan asal ngikut tanpa anlisis yang kritis hanya akan membuat kita menjadi manusia yang pasif, tidak kreatif. Wallahu a’ lam.









0 comments:

Posting Komentar

 
;